"Isabel, lain kali jangan tiba-tiba lepas dari pegangan Daddy atau Momily lagi ya." Emily benar-benar tidak habis fikir, keponakan tersayangnya ini bukan baru pertama kali bepergian ke kota lain. Tapi baru kali ini terjadi, dia tiba-tiba lepas dari pegangan dan hilang dari pandangan.
David mengelus-elus rambut ikal Isabel, sebelah tangannya memegang erat pinggang gadis kecil yang sekarang ada dalam gendongannya. Baru kali ini dia merasa ketakutan hebat, mengetahui anaknya tiba-tiba tidak lagi ada di dekatnya. Beberapa kali diciumnya rambut Isabel, berusaha menenangkan putri kecilnya.
"Kenapa Abel tadi pergi sendiri?" tanya David dengan lembut. Isabel mengangkat wajahnya dan menatap David dengan mata bersalah. "Abel liat kak Adit tadi. Abel panggil-panggil, tapi kak Adit gak dengar. Abel tadi kejar kak Adit."
Mendengar cerita Isabel, wajah Adit langsung terlihat merasa bersalah. "Ah, maafin kak Adit. Kak Adit ga denger tadi Abel panggil. Maaf ya, Abel."
Mendengar suara Adit, baru David tersadar kalau penolong anaknya masih ada di hadapannya. Namun saat dia mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Adit, dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Entah kenapa, wajahnya terlihat sangat familiar. Ada perasaan asing yang muncul di hatinya membuat David hanya terpana menatap wajah Adit beberapa saat.
Suara Emily yang kemudian menyadarkannya, "Gak papa Adit. Syukurlah Abel akhirnya ketemu Adit kan? Sekarang udah ga papa. Terima kasih ya Adit sudah bantu menenangkan Abel."
"Ya tante. Maaf Adit tadi betul-betul ga dengar." Adit berkata dengan nada bersalah, membayangkan kalau Isabel tidak sempat bertemu dengannya, entah kesedihan apa yang akan terjadi.
"Jadi ini yang dicari-cari Abel? Namanya Adit ya? Terima kasih ya, Dit. Om David gak tau kalau Abel punya teman di kota ini." David mengulurkan tangannya dan kembali menepuk-nepuk bahu Adit. Ditatapnya wajah Adit lekat, kembali perasaan yang membuat dadanya seperti diremas ini muncul kembali, entah kenapa.
"Pak David Jansen?"
"Ya? Eh! Pak Dion Malik?" Sekali lagi David merasa terkejut bisa bertemu dengan Dion disini.
"Kebetulan sekali kita bisa ketemu disini ya, pak David." Kata Dion sambil tersenyum, kedua pria ini kemudian bersalaman.
"Ya, saya kebetulan baru saja sampai. Dari bandara kita mampir kesini. Pak Dion kapan datangnya?"
"Saya juga baru sampai kemarin siang. Barusan saya makan siang bersama keluarga." Jawab Dion sambil merangkulkan tangannya ke bahu Adit. Hmmm, 'keluarga'? Mendengar kata 'keluarga', Adit langsung menoleh ke arah Dion. Berfikir apakah ini bentuk basa-basi orang dewasa?
"Ah, jadi pak Dion sedang bersama Adit?" Tanpa ragu Dion langsung mengangguk kepala. Senyum kebanggaan muncul di wajahnya.
"Terima kasih banyak bantuannya pak Dion. Untung saja anak saya segera ditemukan. Maaf kami sudah mengganggu acara keluarganya. Silahkan kalau mau dilanjutkan." Kata David sambil kembali menyalami Dion.
"Adit, terima kasih banyak ya. Kalau boleh tante Emil minta nomor Hpnya dong. Jadi kapan-kapan Abel bisa ngobrol sama Adit lagi. Tante Emil lupa terus minta nomor Adit ke bundanya." Kata Emily seraya menyodorkan ponselnya, meminta Adit menuliskan nomor telpon selularnya. Tanpa ragu Adit langsung menghubungi nomornya lewat ponsel Emily.
"Adit udah miscall nomor Adit, tante. Nanti tante save ya?" katanya sambil mengembalikan ponsel Emily. "Abel, kapan-kapan kita ketemu lagi ya?" Kata Adit sambil tersenyum ke arah Isabel, tanpa disangka-sangka gadis kecil itu langsung mengulurkan kedua tangannya. Badannya dicondongnkan ke arah Adit. Seperti ingin memeluk. David terlihat agak terkejut melihat tingkah putri kecilnya ini. Sejak kapan anak ini bisa akrab dengan orang lain seperti dengan anggota keluarganya?
Tanpa ragu, Adit pun menyambut kedua tangan Isabel. Mengatupkan kedua tangan kecil itu dan meletakkannya di pipinya. "Sampai ketemu lagi ya, dek."
"Sampai ketemu di resort hari Rabu ini, pak Dion." Kata David lagi. Lalu mereka saling melambaikan tangan dan berjalan ke arah yang berbeda. Adit dan Dion menuju eskalator ke lantai dasar, sementara David, Emily dan Isabel berjalan kearah lift.
"Abang." Mendengar suara bundanya, Adit baru tersadar. Kalau tadi dia sempat menelpon bundanya supaya menyusul keatas.
"Bunda! Tadi tante Emil kebetulan langsung lihat Abel lagi digendong sama abang. Jadi tadi kita langsung ketemu, abang kira bunda langsung telpon tante Emil dan gak jadi keatas." Adit berkata sambil merangkul bundanya.
Dion juga baru sadar, sebelum orangtua Isabel datang tadi, Dyan sudah terlihat berjalan kearah mereka. Kenapa dia tidak jadi menghampiri mereka ya? Tiba-tiba ada perasaan mengganjal di hati Dion, namun dengan cepat ditepisnya.
"Ya, bunda tadi memang baru mau menghubungi tante Emil. Tapi bunda lihat tante Emil sudah datang. Waktu bunda mau jalan kearah abang, bunda gak sengaja ketemu dengan pelanggan butik yang rencana mau jemput baju anaknya hari ini. Bunda terpaksa jelasin dulu kalau kita tutup. Bunda lihat dari jauh sepertinya om Dion juga sudah bisa bantu abang. Jadi bunda selesain urusan bunda dulu dengan pelanggan kita. Maaf ya, nak."
Dion menyimak perkataan Dyan, berusaha memahami alasan masuk akal yang dipaparkannya. Tapi masih ada sedikit rasa penasaran tentang kebenarannya. Walau demikian, saat ini dirinya bukan pihak yang berhak mempertanyakan tindakan Dyan. Kembali dia mengingat pesan Alesya, jangan terlalu gegabah untuk mendekati Dyan kalau tidak ingin dia buru-buru menutup diri.
Setelah mereka berkumpul lagi di restoran, Dyan memutuskan untuk langsung pulang bersama Adit. Alesya dan Dion melanjutkan rencana belanja kebutuhan Dion di rumah baru. Mereka berpisah di lobby mal, setelah melepas Dyan dan Adit masuk ke dalam taxi, baru Alesya dan Dion melanjutkan kegiatan belanja mereka.
===
Sementara di dalam mobil yang dikendarai Emily menuju rumah kontrakannya, David mengusap-usap kepala Isabel yang kini tertidur di pangkuannya.
"Abel kenal anak tadi dimana? Abel dan Mami kan baru datang kemarin. Tapi kelihatannya Abel dan dia akrab sekali?" Tiba-tiba suara David memecah keheningan.
"Adit itu anak mbak Dyan, pemilik butik tempat aku pesan baju ulang tahun Abel. Dari bandara kemaren aku bawa Mami dan Abel langsung kesana, mas. Biar cepet ketemu desainnya sekalian ukur badan Abel. Dia ketemu Adit disana." Emily menceritakan pertemuan Isabel dengan Adit kemarin secara detail. David mendengarkan tanpa menyela, tatapannya tidak lepas dari wajah Isabel yang sedang nyenyak.
"Aku juga heran, kok ya Abel langsung lengket gitu? Biasanya walau gampang kenalan, tapi Abel gak sembarangan nempel-nempel ke orang baru. Ini kok kemaren itu dia langsung gak mau lepas dari Adit."
"Hmmm,...." David hanya menggumam mendengar cerita adik perempuannya ini. Merasakan hal yang serupa, karena selama ini Isabel sudah tumbuh besar di banyak tempat. Bepergian ke berbagai daerah bersamanya. Walau masih sangat muda, perkembangan mental Isabel lebih cepat dibanding anak-anak seusianya. Mami selalu menekankan Isabel untuk tidak gampang percaya dan dekat dengan orang baru, karena tidak semua orang yang terlihat baik bisa dipercaya.
"Mas David...?" Emily tiba-tiba memanggilnya lagi, membuyarkan lamunannya.
"Ya?"
"Kata Mami,...mmmm....Adit itu kalo diliat-liat, kok mirip banget ya sama mas waktu kecil?"
"Mirip aku? Apa iya?"
"Aku tadinya gak ngeh. Tapi pas aku liat-liat, kayaknya emang agak mirip sama kamu, mas. Lucu ya?"
"Bukannya pak Dion tadi itu bapaknya?" David mengenal Dion sejak pertama kali dia terjun menjalankan usaha keluarga. Karena saat grand launching cabang resort hotel di kota B, dulu David juga ikut dalam kontraktor yang bekerjasama dengan humas pemasaran. Beberapa kali hotel bekerja sama dengan perusahaan tempat dia bekerja.
Sejauh ingatannya, terakhir kali dia bertemu dengan Dion 5 tahun lalu di pesta pernikahannya, sambil memberi ucapan selama kepadanya, Dion sempat melontarkan permintaan supaya bisa segera dapat jodoh dengan nada bercanda.
Jadi, Adit yang sudah remaja bukan anaknya kan?
David menggeleng-gelengkan kepalanya, sejak kapan dia jadi memikirkan tentang sejarah keluarga lain yang sama sekali tidak ada hubungan dengannya?
"Setau aku sih, mbak Dyan single mom. Kemaren itu waktu ketemu, Mami sama mbak Dyan juga ngobrolnya bisa langsung akrab gitu, mas. Sampe mbak Dyan cerita sejarah lahirnya Adit. Mungkin memang dasar orangnya ramah ya, ibu dan anak sama-sama gampang akrab."
"Single mom?" Lalu, hubungan apa antara Dion dan Adit? David tanpa sadar masih saja memikirkan hal ini.
"Hmm, ya mas. Single mom."
"Suaminya meninggal?"
Emily mengernyitkan alisnya, merasa heran karena mas-nya terus memperpanjang bahasan mengenai Adit.
"Menurut mbak Dyan, dia juga gak tau kalo ayah anaknya masih hidup atau sudah meninggal."
"Jadi, mereka cerai?"
"Gak mas. Mereka gak pernah menikah. Dan mbak Dyan bilang dia gak pernah tau siapa yang sudah bikin dia hamil..."
Seketika jantung David terasa seperti diremas sekali lagi.