Ponsel di tangan Dion berbunyi, ada panggilan masuk. Nama 'Chandra' muncul di layarnya. Dion langsung menerima panggilan itu. Sebelum sempat berkata apa-apa, terdengar suara penelpon dari ujung sana.
[Hei! Udah sampe mana? Aku udah nungguin setengah jam nih. Gak nyasar kan, bro?]
"Kayaknya bentar lagi sampe. Aku gak tau sampe daerah mana nih. Mudah-mudahan gak nyasar, aku udah otw pake taxi. Tadi nungguin Alesya dulu sebelum berangkat, makanya agak lama."
"Apa?! Kenapa jadi nyalahin aku?" Alesya merasa tidak bisa menerima dijadikan alasan keterlambatan. Langsung Alesya bicara agak keras di sebelah Dion, "Pak Chandra, yang bikin telat tu karena bapak Dion ini pake acara pesan bubur ayam segala. Padahal ada jatah sarapan hotel."
[Pesan bubur ayam? Kamu minta dibeliin sarapan, bro? Hahaha, kenapa gak bilang? Dekat tempat tinggal kamu ini ada tempat sarapan yang enak nih. Ntar aku antar kesana deh.]
"Ok, Chan. Sorry kita telat."
Tiba-tiba dari depan terdengar suara supir taxi memberitahu kalau mereka sudah hampir sampai di tujuan. Alesya yang sedang melihat ke luar jendela terlihat kaget, "Apa? Kita ke daerah sini?" seru Alesya dengan suara tertahan.
"Chan, kita udah hampir sampe."
[Ok! Aku turun dulu. Tunggu ya.]
Dan panggilan berakhir.
Dion menyerahkan selembar 'uang biru' kepada supir taxi dan menolak untuk menerima kembaliannya. "Kembaliannya buat beli kopi, Pak. Makasi ya, Pak." Kata Dion sambil tersenyum dan segera turun dari taxi. Alesya yang sudah turun dari tadi, berdiri di depan sebuah bangunan ruko. Matahari sudah mulai tinggi, membuatnya memutuskan untuk membuka cardigan dan melilitkannya di pinggang.
"Kalian udah disini." Alesya mendengar suara di belakangnya, dan mendapati seorang pria sedang berjalan setengah berlari ke arahnya. Dia keluar dari ruko di belakang Alesya.
"Pak Chandra." Tegur Alesya memanggil nama pria berumur 40-an yang baru saja berdiri di depannya dengan senyuman.
"Alah! Kalo bukan di jam kerja panggilan biasa aja, Al. Gak pake 'Pak' segala. Aku kan belum tua-tua amat." Kata Chandra dengan nada bercanda.
"Panggil Kang Chandra? Serius? Makin jauh jodoh ntar." Kata Alesya sambil mencibirkan bibirnya.
"Loh! Jodohku baru datang nih. Udah berdiri disini, jauh-jauh dateng dari luar negri." Kata Chandra tersenyum, entah kapan tangannya sudah mengusap-usap rambut Alesya.
"Huh! Maaf ya, pak Chandra. Lowongan tutup, lamaran datang terlambat. Saya sudah punya calon imam." Kata Alesya sambil mendengus, tapi membiarkan Chandra mengusap rambutnya.
"Kamu? Serius?" Tangan Chandra mendadak terhenti. Wajahnya menunjukkan rasa tidak percaya.
Chandra adalah salah satu sahabat dekat Dion. Mereka kenal sejak jaman kuliah, Chandra salah satu senior Dion yang terlambat lulus karena lebih senang kerja sambilan daripada kuliah.
Saking akrabnya Dion dan Chandra, orang-orang sampai mencurigai hubungan mereka berdua. Apalagi sampai bertahun-tahun kemudian mereka berdua tetap melajang. Untung saja mereka tidak bekerja di satu perusahaan. Dion yang memutuskan mengadu nasib di luar negri dan membawa Alesya bersamanya, berpisah dengan Chandra yang merintis bisnisnya sendiri di tanah air.
"Chan, si Alesya udah di 'claim' Evan. Kamu kelamaan sih. Cari yang lain aja." Kata Dion yang baru saja menghampiri mereka. Mendengar nama 'Evan', mata Chandra makin terbelalak dan mulutnya terbuka.
"Si Evan? Anak itu? Bukannya dia udah punya pacar?" Chandra melihat ke arah Alesya, mengingatkan wanita di hadapannya ini akan fakta terakhir yang dia ketahui.
Evan memang bukan orang asing buat mereka. Karena Evan adalah anak dari sahabat orangtua Alesya. Mereka sudah sering bertemu dalam berbagai kesempatan sejak dulu. Hanya karena Evan memang sejak dulu, tiap kali bertemu dengan Alesya dan Dion selalu saja dalam status memiliki pasangan, tidak sedikitpun Alesya punya fikiran akan punya hubungan yang lebih jauh daripada sekedar berteman dengan 'anak teman mama'.
"Yakin sama Evan? Nanti kalo gak jadi, aku masih nunggu ya Al." Kata Chandra lagi. Dion dan Alesya memberi reaksi yang sama, mereka berdua menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar pernyataan kekanakan si pria dewasa yang berdiri di depan mereka. Chandra memang susah ditebak kapan serius dan kapan bercandanya. Dari dulu memang dia suka menggoda Alesya, tapi tidak pernah ada tindak lanjut. Tidak penah jelas apa dia memang suka Alesya secara romantis atau cuma menggoda adik eh keponakan sahabatnya.
"Nih! Udah ada tandanya. Selesai proyek yang disini saya nikah, kang! Udah deh kang. Cari calon istri yang serius dong." Alesya mengangkat tangan kirinya dan menggoyangkan jari-jarinya di depan Chandra. Memamerkan cincin di jari manisnya.
Mata Chandra kembali terbelalak, tangannya menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. Kalau begini terus, waktu untuk melihat kamar kost bakal terus tertunda. Dion langsung mendorong dua orang yang sejak tadi sibuk saling tarik ulur soal jodoh ini.
"Udah! Sekarang waktunya cek kamar. Ayo Chan, tolong antar ke kamar. Aku harus liat apa aja yang harus dibeli."
"Ah! Jahat kamu, Bro. Aku kan lagi patah hati nih. Jodohku baru diambil orang." Kata Chandra dengan wajah seolah-olah sedih. "Ya, ya. Hukum alamnya, siapa cepat dia dapat. Ayo, mana kamarnya?" Dion tetap tidak perduli.
Mereka bertiga masuk ke dalam ruko yang ternyata adalah sebuah kantor. Melewati ruang bagian depan yang berfungsi sebagai lobi kecil, terdapat front desk. Mereka melewati pintu di sisi kiri meja. Sebuah ruangan dengan interior yang terbuka, minim sekat. Memperlihatkan dengan jelas tiap meja kerja yang disusun seolah mengelilingi sebuah meja bulat di bagian tengah. Ada beberapa sofa di balik dinding sekat yang memisahkan lobi dan ruang bagian dalam. Dan terlihat rel layar proyektor di dinding paling belakang, tepat di tengah.
Chandra langsung mengarahkan Dion dan Alesya untuk berjalan ke pintu di sisi kiri, yang ternyata adalah ruangan lain dengan beberapa sofa dengan pantry di sudut kanan ruangan.
Tangga menuju lantai 2 ada beberapa meter di depan pintu. Chandra memberi tanda untuk mengikutinya naik keatas.
"Ruang tinggal dibagian atas. Kamu bakal tinggal diatas, bro." Kata Chandra sambil mengeluarkan kunci dari dalam kantongnya.
Di ujung tangga ada ruang kosong selebar bangunan ruko berjarak 2m kearah dinding tertutup dengan sebuah pintu. Di dinding kanan juga ada pintu lain dengan rak sepatu di sisinya.
"Kamu gak tinggal sendiri disini. Kamarmu yang di depan ini ya. Sebelah kanan itu pintu ke ruang lantai 2 gedung sebelah. Beberapa karyawan kantor juga tinggal disini. Mereka tinggal di sebelah. Sebetulnya dua unit ruko ini berhubungan di lantai 2. Hanya lantai 1 gedung sebelah disewa orang lain." Chandra menjelaskan sambil membuka kunci pintu kamar.
"Dibawah kantor apa, kang?" Tanya Alesya. "Apa gak merepotkan kalo om lewat-lewat diantara orang kerja tiap mau pulang pergi?"
"Itu kantor kamu." Jawab Chandra sambil menoleh ke arah Alesya sambil tersenyum.
"Kantorku??" Alesya terkejut. "Bukannya aku gak perlu ngantor ya? Aku kan cuma perencanaan, bisa kerja dari rumah kan?" Protes Alesya.
"Sebaiknya ngantor ya, Al. Jadi nanti selain di lembaga pendidikan beberapa jam, kita lanjutin proyek beberapa proyek online advertising kita di kantor bawah." Kemudian Chandra membuka pintu kamar.
"Silahkan masuk. Selamat menempati kamar baru ya, bro."
Ternyata kamar di lantai 2 besarnya sama dengan lantai 1. Tepatnya bukan kamar tapi ruang apartemen satu kamar. Karena ada bagian yang jadi ruang duduk dengan 3 buah sofa dan sebuah meja. Juga ada TV dan di depan sofa. Di sisi kanan pintu sudah ada pantry dan meja multifungsi sebagai meja makan yang dibagian bawahnya adalah kabinet, lemari penyimpanan peralatan masak. Lengkap dengan kulkas kecil dan kompor induksi 2 tungku.
"Kalo gini sih, aku juga bisa numpang tinggal disini Om. Gede banget ruangannya." Kata Alesya sambil jalan berkeliling memeriksa bagian pantry. Chandra lalu membuka satu pintu lagi, yang ternyata adalah kamar tidur. Tempat tidur ukuran single, lemari dan meja. Interiornya bernuansa abu-abu seperti sengaja diperuntukkan buat penghuni pria.
"Kenapa tempat tidurnya cuma satu? Kamu tidur dimana, Chan?" Tanya Dion. Ruangan sebesar ini, kenapa hanya ada satu tempat tidur? Tidak mungkin Chandra akan tidur di sofa kan?
"Oh, sorry bro. Aku tidur di rumah sama Mama. Hehehe. Waktu buka cabang disini aku sengaja cari tempat tinggal di komplek perumahan, soalnya Mama aku ajak pindah. Kasihan kalo Mama tinggal di kota B sendirian."
"Jadi aku disini sendirian?" Dion bertanya dengan nada agak terkejut.
"Iya gak sendirian banget sih. Di sebelah kan ada karyawan kantor. Anak-anak kayaknya lagi pada keluar hari Minggu gini." Lalu Chandra tersenyum usil, "Kenapa? Kamu takut sendirian?"
"Tsk! Bukan takut, aku mikirin gimana ngurus ruangan sebesar ini sendirian. Repot bersih-bersihnya."
"Oh! Tenang aja. Ntar OB bisa sekalian bantu bersih-bersih lantai 2 kalo kamu ijinin. Yah, maksudnya sih aku sekalian titip jagain kantor juga. Siapa lagi kalo bukan kamu kan? Hahaha." Chandra tertawa sambil merangkul bahu Dion.
"Kedepannya aku bakal sibuk. Selain bantuin proyek kamu, misi utamaku gak bisa di abaikan." Dion membalas merangkul bahu Chandra sambil tersenyum penuh kemenangan.
"Jahat ya kalian berdua. Tega ninggalin aku sendiri di dunia jomblo. Kamu harus bantu aku juga buat dapetin jodoh, bro. Nanti kita nikah massal aja biar hemat. Gimana?" Memang Chandra pengusaha sejati, bahkan menikah pun masih memikirkan untung rugi finansial.
"Cari calon dulu, Chan. Kalo kelamaan, aku sama Alesya gak bisa nungguin." Dion menepuk-nepuk bahu Chandra. Yah, setia kawan ada batasnya. Untuk urusan masa depan masuk dalam pengecualian. Toh, rumahtangga dijalaninya masing-masing.
Tiba-tiba Alesya muncul dari balik pintu, "Om, kayaknya cuma belanja kebutuhan harian nih. Kita ke mal sekarang yuk. Siapa tau ketemu sama calon istrimu."
Dion melihat jam di layar ponselnya, jam 12:15. "Ok, mereka bilang makan siang dimana?"
Chandra tiba-tiba menarik tangan Dion, "Eh! Aku ikut dong. Pergi makan siang kan?"
Mendengar permintaan Chandra, langsung Alesya melompat ke arah Dion dan memukul pelan tangan Chandra.
"Maaf, gak bisa. Pak Chandra bisa mengacaukan misi. Lain kali aja kita makan siang bareng ya?" Dan Alesya pun mendorong Dion keluar kamar dan mereka berdua langsung berjalan cepat meninggalkan Chandra.
"Hei! Tunggu! Ini kuncinya." Chandra cepat mengikuti mereka turun ke lantai 1.