"Hei! Kalian mau makan dimana? Kok buru-buru? Emang tau tempat makan disini?" Chandra akhirnya bisa menyusul pasangan om dan keponakan yang berencana segera pergi dari hadapannya.
"Mau kesini," Alesya mengarahkan layar ponselnya ke depan wajah Chandra. Menunjukkan sebuah titik lokasi di Google Map. Posisi mal yang dibagikan Adit sejam yang lalu. Alesya sudah membuka aplikasi taxi online untuk mengantar mereka kesana, dengan harapan masih bisa 'seolah-olah tidak sengaja' bertemu dengan Dyan dan Adit, lalu makan siang bersama.
"Ah! Ke mal itu ya? Gak usah pake taxi online deh. Biar aku antar aja. Itu mobilku disana. Ayo..." Chandra menunjuk sebuah mini van hitam yang parkir di seberang jalan. "Ngapain bayar taxi, aku kan ada mobil." Bujuk Chandra yang merasa dua sahabatnya ini terlalu kejam kepadanya. Padahal mereka berdua baru saja datang ke kota ini, dan dia sudah memberi akomodasi yang layak, serta menyediakan pekerjaan sebagai alasan untuk menetap, tapi sekarang malah meninggalkannya sendiri. Mereka sama sekali belum sempat duduk dan makan bersama. Boro-boro cerita tentang waktu yang telah berlalu selama mereka terpisah.
"Maaf ya pak Chandra. Kalau kita bertiga kesana, nanti rencananya bisa berantakan." Tolak Alesya, tetap melanjutkan pesanan taxi online. Dion mengangguk setuju dengan perkataan Alesya sambil melihat jam tangannya.
"Rencana apa?" Tanya Chandra dengan wajah bingung campur kecewa.
"Rencana ketemu calon istri," jawab Dion sambil tersenyum penuh arti. Taxi online sudah berhenti di hadapan mereka, tanpa pikir panjang Dion dan Alesya langsung naik ke taxi, meninggalkan Chandra sendiri.
[Bye kang Chandra! Setelah ini pasti kita berdua akan menagih janji traktir makan siangnya.]
Senyum miring tercipta di bibir Chandra, setelah membaca pesan singkat Alesya di ponselnya.
===
Suasana mal siang ini terlihat lebih ramai daripada biasanya. Banyak gerombolan remaja berkumpul di berbagai sudut mal. Yang jadi alasan keramaian ini karena ada lomba Kpop dance cover di hall lantai dua. Tempat-tempat makan di lantai dasar pun ikut ramai. Mulai dari restoran fast food sampai restoran lokal. Dipenuhi calon penonton acara lomba yang menunggu acara dimulai.
Memang sudah jadi kebiasaan Dyan dan Adit untuk menghabiskan waktu berdua tiap kali mereka pergi belanja dua mingguan. Terutama setelah Adit jadi siswa SMA, waktu mereka bersama sehari-hari jadi makin sedikit. Karena waktu Adit di sekolah makin lama. Dyan jadi tidak ingin kehilangan kesempatan momen dua mingguan ini.
"Kita makan dimana ya, bang? Tempat kita biasa duduk, rame semua. Kita ada troli belanjaan juga." Dyan mengamati beberapa restoran yang biasa mereka datangi.
"Bun, yang di sudut sana dekat pintu ke parkiran belakang kayaknya gak terlalu rame. Kesana aja yuk." Adit menunjuk ke sudut kanan mereka. Memang disana pengunjungnya tidak terlalu ramai. Mungkin karena posisinya yang jauh dari eskalator dan lift, membuat restoran itu kurang diminati para remaja yang sedang menunggu waktu acara.
Dyan langsung menyetujui usulan Adit, mereka berjalan ke arah restoran yang belum pernah mereka datangi sebelumnya. 'Semoga menu yang ada gak mengecewakan', harap Dyan dalam hati.
Beruntung sekali mereka bisa mendapat meja yang posisinya dekat dengan pintu keluar. Karena ada di sudut depan, ada lebih banyak space untuk meletakkan troli belanjaan mereka.
"Bunda, ada chicken katsu. Keliatannya enak, abang mau pesan. Ah, ada tempura sayuran juga." Adit langsung menulis jenis pesanannya di kertas yang sudah disediakan.
"Bunda mau yang mana?"
Dyan mengamati menu, mencari jenis makanan mengandung nasi yang mengenyangkan. Kalau belum makan nasi, sebagai orang Indonesia itu namanya 'belum makan'.
"Bunda mau nasi kare aja, bang. Yang chicken kare deh." Dyan menunjuk foto kare yang terlihat cantik menyelerakan.
"Ok." Adit pun menuliskan pesanan bundanya. "Abang tambahin fruit salad. Bunda mau minum apa? Abang iced lemon tea. Bunda?"
"Bunda air mineral aja dulu. Lagi gak mau minum yang manis-manis."
"Ok, air mineral." Adit melengkapi lembar pesanan waktu ponselnya tiba-tiba berdering. Nama 'tante Al' muncul di layar, tanpa pikir panjang Adit langsung menjawab panggilan itu.
"Halo tante, Al." Jawab Adit.
[Adit dimana? Udah pulang?]
"Belum tante. Kita jadinya makan siang dulu. Baru dapet kursi, sekarang lagi bikin pesanan. Kenapa tan?"
[Wah! Kebetulan tante juga belum makan. Kerjaan tante udah selesai. Tante susul kesana ya? Masih bisa kan?]
"Kalau tante bisa sampe sini dalam waktu setengah jam, kita masih disini. Tapi kalo lama, tante langsung ke rumah aja deh."
[Setengah jam? Kayaknya sih 10 menit lagi tante sampe situ.]
"Oya? Kalo gitu kita tunggu. Nanti Adit kirim nama restorannya ya, tan."
Percakapan Adit dan Alesya berlangsung seru, tapi Dyan tidak sepenuhnya menyimak percakapan mereka. Karena saat ponsel Adit berdering tadi, ponselnya juga bergetar. Beberapa pesan masuk, pesan dari.....Diondarte?
[Hey! Lagi sibuk gak?]. Pesan pertama.
[Kamu udah makan siang? Aku lagi cari tempat makan. Ada rekomendasi?] Pesan kedua.
[Aku lagi di jalan sama temen. Katanya kita otw Swarnadwipa Grand Mall, soalnya disana banyak pilihan tempat makan.] Pesan ketiga.
Sampai di pesan terakhir, Dyan mendadak terpaku. Swarnadwipa Grand Mall? Itu artinya Diondarte sedang dalam perjalan ke mal yang sama dengan tempatnya sekarang makan siang bersama anaknya.
Dyan merasa jantungnya berdebar lebih cepat, cepat atau lambat pasti dia akan bertemu dengan sahabat virtualnya itu. Karena sekarang mereka ada di kota yang sama.
Sebesar rasa penasarannya untuk bisa bertemu dengan seseorang yang selama 4 tahun terakhir bisa jadi teman ngobrol yang tidak membosankan, teman yang jadi akrab karena saling menyukai ide dan nilai-nilai yang dianut, teman yang jadi dekat karena saling mengagumi kreatifitas satu sama lain. Teman yang tanpa mengenal wujud tapi saling memahami pemikiran masing-masing.
Sebesar itu pula Dyan merasa takut untuk bertemu, perasaan percaya selama ini mulai diselaputi keraguan karena prasangka yang muncul. Bagaimana kalau nanti sahabatnya ternyata terkejut karena dia punya anak diluar pernikahan? Bagaimana kalau ternyata setelah mereka bertemu, ternyata tidak bisa saling ngobrol santai karena status dirinya yang seorang ibu dirasa tidak sekasta dengan seorang 'lajang' sukses yang berkarir di luar negeri? Bagaimana kalau ternyata teman virtualnya adalah orang yang jauh lebih muda? Bagaimana kalau temannya merasa terganggu dengan hadirnya Adit di tengah-tengah mereka?
Dyan tidak pernah menyesali kehadiran Adit di dalam hidupnya. Namun seringkali ada saat-saat dimana racun negatifitas dari orang-orang sekitarnya yang sering membahas statusnya sebagai wanita yang 'kurang mulia' karena punya anak diluar nikah, berhasil membuatnya goyah.
Malaikat dalam dirinya berbisik, 'Yah, apapun yang terjadi nanti berarti itu yang terbaik untuk aku dan Adit. Kalau dia tidak bisa berteman dengan ibu tunggal dan tidak suka Adit, berarti pilihannya tetap Adit. Teman bisa dicari. Tapi anakku adalah bagian dari diriku.'
Akhirnya Dyan memutuskan untuk membalas pesan Diondarte.
[Kebetulan banget. Aku lagi di mal yang sama. Sekarang lagi makan siang berdua anakku. Tempat makan banyak pilihan kok disini, cuma sekarang rata-rata penuh.]
Dalam beberapa detik setelah pesan dikirim, Dyan mendapat balasan dari Diondarte.
[Eh, aku udah sampe depan. Lagi antri di gate, keliatannya memang lagi rame ya pengunjungnya? Gimana kalo aku ikut makan di tempat kamu aja? Masih ada meja kosong disana?]
'Yah, memang sudah ditakdirkan untuk bertemu sekarang. Whatever happen...' Dyan pun membalas pesan Diondarte.
[Kebetulan aku dapet meja yang 4 kursi, kita juga lagi nungguin 1 teman lagi. Aku dan anakku duduk di meja dekat pintu masuk.]
Pesan terkirim. Dan dalam 3 detik, pesan baru masuk lagi.
[OK, Dy. Sampe ketemu ya ☺]
Dyan menghela nafasnya. Setelah 4 tahun akhirnya dia menyebut tentang 'anak', hatinya mendadak terasa lebih lega. Apalagi setelah dua kali dia menyebut soal anak di pesan tadi, Diondarte sepertinya tidak memberi komentar apa-apa. Dan dia selalu mendapat balasan cepat dari pesan yang dikirimnya.
"Bunda?" Adit memegang tangan Dyan. Alisnya sedikit berkerut melihat kearahnya.
"Ya? Kenapa nak?"
"Bunda kenapa? Kok keliatannya gak nyaman? Bunda capek?"
'Ah, anakku sayang. Yang selalu penuh perhatian, bagaimana bisa diri ini menihilkan keberadaanmu?' Dyan tersenyum dan meletakkan tangannya diatas tangan Adit.
"Gak papa, Bunda cuma laper. Oya, ngobrol apa sama tante Al?"
"Tante Al katanya mau kesini. Abang udah kirim lokasi kita. Sebentar lagi tante Al dateng."
"Mmm, bang? Sepertinya ada teman Bunda yang juga mau ikut gabung dengan kita. Abang ga papa?" Dyan merasa Adit harus tahu kalau ada orang lain yang juga akan hadir, selain Alesya.
"Teman bunda? Siapa?"
"Sebetulnya bunda juga belum pernah ketemu. Dia teman bunda di instagram. Selama ini dia di luar negeri. Sekarang dia pindah kesini, karena pekerjaan."
"Ooooh, teman di IG. Wah! Seru dong, Bun. Akhirnya bisa ketemu betulan."
"Ya, bunda juga penasaran mau ketemu." Jawab Dyan lagi, walau selain senang jauh di lubuk hati terdalam Dyan masih merasa sedikit cemas.
Tiba-tiba Adit berdiri dari kursinya, badannya condong ke arah dinding kaca di samping meja. Setelah meyakinkan pandangan matanya, Adit langsung melambaikan tangannya kearah luar.
"Tante Al udah sampe, bun." Kata Adit. Dyan langsung melihat kearah yang ditunjuk Adit. Tampak Alesya sedang berjalan cepat, bisa dikatakan setengah berlari. Tapi siapa itu yang berjalan disamping Alesya? Seorang pria jangkung memakai celana denim dan berkemeja biru muda.
Alesya tampak tidak sabar melihat pria itu berjalan lebih lambat, dengan wajah agak kesal Alesya menggandeng tangan pria itu. Menariknya untuk lebih cepat berjalan kearah Dyan dan Adit duduk.
"Alhamdulillah, bisa ikut makan bareng. Untung kerjaan kita cepat selesai." Kata Alesya yang akhirnya sudah ada dihadapan mereka.
"Dan ini adalah?" Tanya Dyan pada Alesya.
"Oh, iya. Sorry lupa ngenalin. Dyan, kenalkan ini Om aku. Yang tadi pesan bubur ayam."
"Om, ini Dyan. Sahabat aku. Aku mulai kemaren kost di rumahnya."
Om? Tapi pria di depannya ini terlihat sebaya dengan mereka berdua. Rasanya aneh kalau dia adalah om Alesya. Atau mungkin bukan 'Om' dalam arti paman?
Dyan berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangan memperkenalkan diri ke pria muda di hadapannya.
"Saya Dyan. Semoga betah tinggal disini ya,...Om?" Akhirnya Dyan memutuskan untuk ikut memanggilnya dengan gelar 'Om' untuk menghormati statusnya sebagai paman dari sahabatnya.
Pria itu tersenyum, lalu menyambut tangan Dyan untuk berjabat tangan.
"Senang bertemu dengan kamu, Dyan. Aku Dion."
Dion?