Hari Minggu pagi pertama setelah dua tahun berlalu, mulai hari ini penghuninya kembali berjumlah tiga orang. Hadirnya seorang Alesya memberi perubahan signifikan terhadap suasana pagi ini. Dyan yang berencana mau memasak nasi goreng baru tersadar kalau kemarin mereka tidak makan malam di rumah. Artinya, tidak ada nasi dingin yang mau diolah jadi nasi goreng. Sementara cadangan bahan makanan belum di stok ulang, karena memang rencananya hari ini adalah hari belanja dua mingguan sekali bersama Adit.
"Duh, aku lupa juga kemaren beli roti tawar. Terpaksa tunggu tukang roti lewat sekitar jam 7. Kita ngopi aja dulu ya Al?" Bujuk Dyan. Sahabatnya ini memang tidak pernah melewatkan waktu sarapan, tepatnya tidak ada dalam catatan rutinitas Alesya untuk melewatkan jam makan. Yang ada malah diluar jam makan wajib, diusahakan ada jam-jam makan sampingan. Prinsip hidup Alesya 'makan adalah hidup, untuk hidup perlu makan'. Tapi herannya, semua yang dia makan tidak pernah berhasil menambah lemak di tubuhnya. Kalau ditanya kenapa dia tidak pernah gemuk, jawabnya selalu "Karena metabolisme tubuhku baik dan terjaga".
Biasanya jam segini Alesya sudah mulai cemal-cemil. Sekarang masalahnya yang mau di cemil juga tidak ada. "Kalo ngopi perut kosong, gak enak Yan. Ngomong-ngomong Adit masih tidur ya? Kok belum keliatan?"
Baru saja dibicarakan, Adit terlihat menuruni tangga sambil menggosok-gosokkan handuk ke rambutnya yang masih setengah basah.
"Bunda! Kita bikin sarapan apa nih? Kok belum ada bau-baunya?"
"Bunda hari ini libur dulu ya bikin sarapan. Tante Al pengen sarapan diluar. Disini gak ada yang jual sarapan ya? Pengen makan sesuatu yang lembut dan hangat nih." Alesya langsung menjawab pertanyaan Adit.
Lembut dan hangat? Dyan mengingat-ingat dimana kira-kira tempat sarapan terdekat yang menyajikan makanan lembut dan hangat? Lalu dia ingat waktu itu Wendy pernah datang kerja sambil membawa bubur ayam dan cakwe.
"Ah! Bunda baru inget, bang. Waktu itu kak Wendy pernah bawa bubur ayam pagi-pagi. Katanya beli di warung cece Kim. Abang tau gak tempat cece Kim dimana?" Dyan yang jarang makan diluar kecuali saat diundang mama Glenn atau makan bersama Adit di mall saat mereka pergi belanja dua mingguan, sama sekali tidak tahu warung-warung yang menjual sarapan pagi di sekitar tempat tinggal mereka. Padahal kawasan pertokoan ini terkenal dengan ramainya tempat wisata kuliner. Lokasinya yang tidak terlalu jauh dari kawasan kampus, membuat bisnis kuliner dan laundry menjadi bisnis yang tidak pernah sepi pelanggan.
"Oh iya! Disana bubur ayamnya enak! Cece Kim itu kan memang warung kopi, Bun. Kalo pagi dia jual sarapan sampai jam 10. Trus sorenya buka lagi jual makan malam. Abang tau dong tempatnya. Kalo mau ke restoran mama Glenn kan kita lewat sana." Wajah Adit langsung antusias, beberapa kali dia pernah mampir untuk jajan cakwe disana bersama Glenn sebelum berangkat sekolah. Tapi karena Bundanya bukan orang yang suka coba-coba makanan diluar rumah, Adit tidak pernah mengajak Dyan untuk mampir cicip makanan disana.
"Aduh! Tante Al suka tuh bubur ayam. Pas bener, lembut dan hangat. Buruan yuk kesana, udah kruyukan perutnya nih." Alesya langsung menggandeng tangan Adit sambil mengusap-usap perutnya, kode keras kalau status perutnya sudah dalam kondisi kelaparan.
"Sebentar, Tan. Adit jemur handuk dulu." Lalu Adit berlari ke lantai 2.
"Kamu kok ga tau tempat sarapan, Yan? Ga pernah makan diluar, ya? Pelit banget sih?" Tuding Alesya sambil memicingkan mata kearah Dyan. Merasa heran, bagaimana mungkin sudah tinggal di kawasan ini bertahun-tahun tapi tidak tahu tempat-tempat makan.
"Kamu kan tau, Al. Aku memang males makan diluar. Kan gak tau kualitas kebersihannya gimana? Bahannya apa aja?" Dalih Dyan mendengar pertanyaan nyelekit Alesya. Dia mengakui salah satu alasannya jarang makan diluar adalah karena takut makanan yang dibeli kurang bersih atau bahannya mungkin bisa berbahaya untuk Adit.
Iya, berbahaya dalam arti sesungguhnya. Ada riwayat serangan alergi Adit waktu kecil yang sangat membekas di hati Dyan. Sejak saat itu dia sangat berhati-hati menjaga makanan anak satu-satunya. Solusi terbaik ya berusaha memberi makanan rumahan, makan masakan sendiri. Atau makan di tempat yang benar-benar terpercaya. Walau belakangan sejak Adit beranjak remaja, daya tahan tubuhnya sudah makin membaik dan reaksi alerginya sudah jauh berkurang saat ada kontak dengan alergen. Tetap saja, Dyan belum bisa sepenuhnya merubah kebiasaan makan diluar.
"Adit kan alergian, aku gak berani bawa dia makan sembarangan. Kamu lupa kejadian dulu?" Kata Dyan lagi, mengingatkan Alesya.
Yah, saat peristiwa yang mencemaskan itu terjadi, Alesya kebetulan sedang berkunjung ke kota ini. Adit mencicipi makanan yang ternyata mengandung udang. Wajah Adit mendadak bengkak, tubuhnya merah-merah, gatal dan bengkak di beberapa bagian. Namun yang paling mencemaskan adalah, Adit hampir mengalami gagal nafas. Karena reaksi alerginya membuat saluran pernafasannya jadi menyempit, nafasnya sesak dan berbunyi. Alesya cemas setengah mati, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit Alesya merasa dia bisa sewaktu-waktu kehilangan anaknya.
Setelah kejadian itulah, dimulai kebiasaan Dyan untuk sangat hati-hati menjaga makanan anaknya . Walau sisi positifnya adalah Dyan jadi terbiasa untuk masak makanan sendiri daripada beli. Tetap saja, alasan mendasarnya adalah karena kecemasan yang berlebihan.
"Iya, aku inget. Tapi kan Adit udah test alergi, Yan. Kita udah tau apa aja yang bikin dia kambuh. Gak usah kelewat paranoid gitu. Anakmu laki-laki. Mau dikurung dalem toples terus? Ntar dia gak bisa survive, kan dia gak bakal hidup sama kita terus."
"Aku cuma gak tega liat dia sakit, Al. Rasanya aku gagal jadi ibu." Kata Dyan pelan, takut kata-katanya terdengar oleh Adit. Sejak Mama pergi, Dyan bertekad untuk selalu berusaha tampil kuat di depan Adit. Berusaha tidak menunjukkan rasa cemas dan waswas di depan anaknya. Merasa kalau dia lemah, Adit jadi ikut lemah.
Alesya hanya diam mendengar kata-kata Dyan. Sahabat baiknya yang tidak ingin merepotkan orang-orang disekitarnya, yang selalu berusaha menjadi 'baik-baik saja' demi membahagiakan orang yang dia cintai. Sahabat yang sudah seperti adik yang punya kelebihan rela berkorban sampai melemahkan dirinya sendiri dari dalam. Sampai kapan dia harus begini? Melarang dirinya sendiri untuk menunjukkan kesedihan, kecemasan dan kelemahan.
Alesya lalu memeluk Dyan dan menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Setidaknya, di hadapan Alesya dia bisa menunjukkan kelemahannya tanpa takut dihakimi.
"Gak ada salahnya kalau kita sekali-sekali salah, Yan. Berapa kali aku udah bilang ke kamu, menjadi tidak sempurna itu yang membuat kita jadi manusia sempurna." Dyan membalas pelukan Alesya, mendengar kata-kata Alesya berhasil menariknya kembali dari lubang fikiran pesimisnya.
"Lagian kalo kamu gak tau sama warung-warung makanan disekitar sini, artinya kamu gak bergaul sama tetangga. Jangan pelit bagi-bagi rejeki, emang kamu aja yang jualan disini?" Kata Alesya lagi sambil melepas pelukannya dan mencubit pipi Dyan, membuat Dyan mengaduh kesakitan.
"Sakit!" Dyan mengusap pipinya yang memerah.
"Abis kamunya itu ya, gak inget umur. Udah tahun segini masih aja mellow kayak sepuluh tahun yang lalu. Liat tu anakmu udah segede gitu, kenapa masih aja mikirin kesalahan di masa lalu? Sekarang Adit jangkung, sehat dan ganteng. Pinter lagi. Artinya kan kamu udah jadi ibu yang berhasil. Kurang usaha apa lagi?"
"Iya... Sekali-sekali mellow kan gak papa. Mumpung ada kakak Alesya."
"Idih, kakak apaan. Sok muda kamu Yan." Alesya mendelik mendengar Dyan menggodanya dengan panggilan 'Kakak'.
Dyan langsung cekikikan mendengar protes Alesya. "Kan aku emang muda ½ tahun dari kamu, Al. Coba bayangin, waktu kamu udah MPASI aku baru lahir." Dan candaan mereka terus berlanjut, waktu seolah berputar kembali ke masa lalu saat mereka baru beranjak dewasa. Saat hidup hanya perkara memikirkan makan apa hari ini dan pergi ke sekolah.
Tanpa mereka sadari, Adit sejak tadi ikut mendengarkan perbincangan bunda dan tantenya dari pangkal tangga. Raut wajahnya berubah-ubah selama dia menyimak kata-kata mereka. Beragam perasaan sedang berkecamuk di dalam hatinya.
Adit menghela nafas.
"Bunda sudah jadi ibu terbaik buat Adit kok. Sekarang waktunya Adit jadi anak Bunda yang terbaik juga. Pokoknya Adit bakal cariin Bunda suami. Jadi Bunda juga ada yang jaga. Jadi Bunda gak harus ketakutan sendiri." Adit membatin sebelum dia menuruni tangga dengan suara langkah yang keras. Memberi kesempatan buat bunda dan tantenya untuk menyadari kehadirannya diatara mereka.
"Yuk, kita pergi sarapan sekarang Bunda! Tante!"