Suara piring dan gelas berbenturan, orang-orang ramai berbincang, aroma bubur ayam, cakwe, teh, kopi, coklat dan roti bakar memenuhi ruangan sampai tercium ke jalan depan warung kopi Cece Kim.
Pagi Minggu suasananya memang selalu lebih ramai dibandingkan hari biasa. Alesya, Dyan dan Adit pun terpaksa menunggu sepuluh menit diluar warung sampai akhirnya bisa dapat giliran duduk di kursi. Banyak pengunjung yang datang bersama keluarga. Menu sarapan yang bisa dimakan mulai dari anak-anak sampai orang lanjut usia jadi penyebab ramainya tempat makan ini.
Apalagi Cece Kim yang dapur sajinya ada di depan warung, membuat atraksi para karyawan warung meracik bubur ayam, menggoreng cakwe, membakar roti pesanan juga jadi tontonan menarik buat pengunjung. Membuat mereka mengantri dengan sukarela karena bisa melihat tontonan menarik yang bikin mulut tanpa sadar jadi banjir air liur.
Setelah dapat meja di bagian dalam, Alesya langsung melihat susunan menu yang tertera di dinding. Tidak banyak menu yang tersedia, hanya bubur ayam, cakwe dan roti bakar srikaya. Minumannya pun hanya ada 3 jenis. Teh, kopi dan coklat, semua dalam kondisi hangat dan variannya adalah dicampur dengan susu kental manis atau campur gula dan atau tawar tanpa tambahan apa-apa.
"Gimana cara pesannya, Dit?" Tanya Alesya, tingkat kelaparannya meningkat drastis sejak mereka berhasil masuk dan mendapatkan meja.
"Mau pesan apa?" Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Alesya. Seorang gadis muda dengan bandana sudah berdiri di sisi meja memegang buku kecil dan pena, siap mencatat pesanan mereka.
"Dyan, kamu mau apa? Adit, mau yang mana? Kalau aku bubur ayam dan cakwe. Minumnya teh manis hangat." Alesya segera menyebutkan pesanannya dan dengan sigap dicatat oleh karyawan cece Kim. Sementara Adit masih kebingungan mau makan apa.
"Aku bubur ayam dan teh manis hangat aja," Dyan menyebutkan pesanannya. "Abang mau apa?"
"Adit sering diajak Glenn beli cakwe disini, Bun. Adit mau cakwe. Minumnya coklat susu." Akhirnya Adit memilih menu sarapannya. Wajah Alesya langsung berubah, heran kenapa mereka berdua terdengar agak sungkan? Cakwe saja dan coklat susu? Untuk anak seumuran Adit itu kan terlalu sedikit?
"Oya, tambah roti bakarnya juga ya satu." Kata Alesya lagi. "Adit gak suka bubur ayam? Ga ada udangnya kan? Pesan bubur ayam ya? Kok sarapannya sedikit?" Belum sempat Adit menjawab, Alesya langsung menambahkan seporsi bubur ayam lagi dalam pesanan. Dan dalam sekejap pesanan sampai di dapur saji.
"Tante Al aja makannya bubur ayam plus cakwe plus roti bakar. Masa Adit yang dalam masa pertumbuhan makannya lebih sedikit? Ga boleh sungkan gitu ya. Tante Al ini sama kayak Bunda Adit juga. Tante Al ikutan loh besarin Adit." Alesya melafalkan perasaannya nyaris dalam satu nafas ke Adit. Mendengar Alesya yang setengah mengomel dan setengah membujuk, reaksi Adit hanyalah tertawa dan menganggukkan kepala.
"Kamu juga, Yan. Jangan gitu dong. Baru juga empat taun gak aku datengin, kamu udah kayak sama orang lain aja ke aku. Nanti aku gak enak nih mau kost gratis di tempatmu." Kata Alesya lagi.
Dyan tertawa mendengar kata-kata sahabatnya itu, diakuinya memang sejak kemarin belum sepenuhnya sinkron dengan hadirnya Alesya lagi dalam dalam kehidupannya. Semua masih seperti mimpi, sejak Alesya merantau ke luar negeri selama empat tahun. Setelah almarhum Mama, wanita berambut pixie cut di sampingnya ini adalah orang yang paling kenal dirinya. Tidak heran kalau sahabatnya bisa merasakan perbedaan sikapnya. Bagi Alesya, Dyan itu seperti buku tanpa sampul.
Pesanan terhidang tidak butuh waktu yang lama. Alesya meminum teh manis hangatnya sebelum mulai mengaduk rata bubur ayamnya. Sementara Dyan, melakukan hal sebaliknya, dia tidak suka makan bubur yang diaduk.
Sarapan yang menghangatkan perut. Alesya menghabiskan bubur ayamnya dalam waktu singkat. Baru saja dia mau memotong roti bakar, terasa getaran dari kantong cardigannya. Siapa yang menelpon ke ponselnya pagi-pagi begini? Setelah membaca nama yang muncul di screen, mulutnya tersenyum miring.
Swipe. Rejected.
"Siapa? Kok gak diangkat?" Tanya Dyan.
"Om aku. Paling soal kerjaan. Aku text aja deh." Jawab Alesya sambil membuka messenger dan menulis pesan singkat ke penelpon yang ditolak tadi.
"Siapa tau penting, Al. Soalnya nelpon hari Minggu kalo soal kerjaan biasanya kan urgent."
"Ah, gak lah. Kemaren aku janji mo mampir kesana sih, tapi abis sarapan. Ga papa, santai aja. Lanjut aja sarapannya." Kata Alesya sambil meletakkan ponselnya di meja. Melanjutkan kembali niatnya untuk makan roti bakar.
"Mampir? Kamu punya Om disini?" Dyan tidak pernah tahu kalau Alesya punya keluarga di kota ini.
"Iya, Om juga baru pindah. Dia minta aku ke tempatnya pagi ini." Jawab Alesya sambil menyuap roti bakarnya dan menikmati setiap kunyahannya. "Selai srikayanya enak nih, homemade kayaknya." Dan Alesya memasukkan sepotong roti lagi ke mulutnya.
'Drrrt!' Kembali terdengar getar ponsel Alesya.
Dyan melihat notifikasi di layar ponsel Alesya, pesan baru dari kontak yang diberi nama 'Om'. Sambil menunjuk ke arah ponsel Alesya, Dyan memberi kode kalau ada pesan masuk. Alesya meraih ponselnya tanpa buru-buru, membaca pesannya lalu membalasnya lagi.
Tiba-tiba Alesya merangkul bahu Adit, "Dit! Liat sini." Alesya mengambil beberapa selfie bersama Adit. Alesya tersenyum melihat hasil foto-foto yang baru diambilnya. Dyan yang baru saja menghabiskan bubur ayamnya juga tidak luput dari ajakan selfie.
"Apaan sih, Al? Mendadak foto-foto?" Dyan merasa agak rikuh, selfie di tengah keramaian.
"Cuma dokumentasi. Bukti kalau udah pernah makan disini, bareng kamu dan Adit. Kamu kan udah tau kebiasaanku." Jelas Alesya sambil mengambil beberapa foto lagi, kali ini adalah meja mereka dengan kondisi mangkuk dan piring yang isinya hampir habis dimakan. Lalu Alesya juga mengarahkan kamera ponselnya ke sekitar warung kopi. Mengabadikan momen keramaian hari Minggu.
'Drrrrt'. Lagi-lagi ponself Alesya bergetar. Kali ini bukan pesan lagi tapi panggilan masuk. Masih dari orang yang sama. Akhirnya Alesya memutuskan untuk menjawab saja.
"Ya, ya. Bentar lagi ya, Om. Kita disini masih sarapan. Mau dibungkusin gak? Disini ada bubur ayam."
Setelah diam sejenak mendengarkan lawan bicaranya menjawab, lalu Alesya berkata, "OK, paling telat sejam lagi ya Om." Dan dia memutus panggilan.
"Aku habis sarapan langsung berangkat aja ya. Biar urusannya cepet selesai ini." Kata Alesya.
Dyan mengangguk, memberi tatapan penuh pengertian ke Alesya. Sepertinya kali ini dia punya projek besar. Sampai hari Minggu aja masih dihubungi soal pekerjaan.
"Ya, gak papa. Kebetulan aku dan Adit mau ke supermarket. Belanja rutin dua mingguan. Sayang banget kamu ga bisa ikutan, Al."
==
Dan mereka pun berpisah setelah selesai sarapan. Alesya memesan ojeg online untuk pergi menemui Om-nya sambil membawa bungkusan sarapan. Sementara Dyan dan Adit naik taxi online menuju salah satu mal di kota P.
Sampai di Crown City hotel, Alesya langsung menuju lift ke lantai 5. Di depan kamar 504, dia mengetuk pintu. Saat pintu terbuka, Alesya langsung masuk ke dalam sambil mengacungkan kantong plastik berisi sebungkus bubur ayam dan cakwe.
"Gak sabaran banget sih, Om. Kan aku udah janji mo datang jam 9. Belum jam 8 aja udah nelpon-nelpon. Sengaja ya? Mau video call ya? Kebelet ya?" Tanya Alesya bertubi-tubi.
Pria di depannya dengan wajah datar membuka dengan tenang tutup mangkuk bubur ayam, menaburkan toping diatasnya, lalu mengambil sepotong cakwe dan menggigitnya. Sambil mengunyah pria yang di panggil 'Om' ini dengan santai menjawab, "Sekedar mengadu nasib. Siapa tau bisa liat teaser."
"Sekarang jangan kepedean dulu, ntar malah bikin takut. Disangka stalker darimana sok kenal sok dekat." Kata Alesya sambil mencomot sepotong cakwe. "Btw, kenapa pesen bubur ayam sih? Emang di hotel gak dikasi sarapan?"
"Cuma pengen cicip bubur ayam kesukaan calon istri dan calon anak." Jawab si 'Om' dengan tenang. Alesya menepuk dahinya mendengar jawaban dari pria yang sedang menikmati sarapan.
"Shameless! Ga tau malu banget sih, Jen?" Alesya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Itu namanya optimis, lagian aku ga bisa dibilang stalker. Kita itu bermula dari 'virtual best friend', sekarang aku mau upgrade jadi hubungan yang lebih nyata." Jawabnya sambil tersenyum ke arah Alesya.
"Terserah deh. Yang penting jangan sampe bikin sahabatku kecewa. Ponakanmu ini percaya kalo Om Dion Malik bin Zayn memenuhi syarat. Jadi jangan sampe salah langkah." Alesya kembali mencomot sepotong cakwe.
"Aku juga percaya kalo ponakanku ini bisa jadi sekutu yang baik." Kata Dion sambil mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan semangkuk bubur ayam yang belum disentuhnya.
Setelah mengambil beberapa foto, Dion memilih salah satu untuk di share ke akun instagramnya. Sambil tersenyum penuh arti dia menulis caption dan mengunggahnya.
[Will be one of my beloved dish.]