"Bunda!" Panggil Adit dari depan restoran sambil melambaikan tangannya. Dyan langsung mempercepat langkahnya ke arah Adit. Alesya yang digandeng Dyan sejak menyebrang di simpang tadi, terpaksa ikut berjalan cepat.
"Sudah lama ya, Bang? Kok nungguin di luar?" Dyan melepas gandengannya dengan Alesya dan langsung meraih tangan Adit. Alis Alesya langsung berkerut, karena keberadaannya langsung terasa nihil begitu Dyan bertemu anak semata wayangnya ini.
"Maaf ya Dit. Tadi tante Al sibuk motret. Suasananya seru banget sepanjang jalan kesini. Lama ya?" Alesya ikut menggandeng tangan Adit. Mendadak Adit kelihatan seperti sedang diperebutkan oleh dua wanita dewasa. Alesya yang tidak mau kalah langsung menarik tangan Adit masuk ke dalam restoran.
"Meja kita dimana?" Tanya Alesya setelah sampai di dalam restoran yang suasana di dalamnya lebih mirip cafe daripada restoran.
"Karena malam ini pengunjungnya rame, Adit pilih lantai 2 aja.
Meja yang biasa di lantai 1, kalau malam Minggu gini banyak tamu lain yang suka duduk disitu. Gak papa kita ngalah aja ya, tante?" Karena dari tadi meja di sudut kanan dekat jendela selalu berisi tamu, Adit dan Glenn memutuskan untuk makan di lantai 2 saja.
Sebelum mereka naik ke lantai 2, seorang wanita berusia 40-an datang menghampiri mereka. Dyan langsung tersenyum dan berjalan kearahnya, "Kak Mira, makasi ya. Diajakkin makan terus nih. Padahal baru berapa hari yang lalu kita kesini." Dyan memberi ciuman pipi.
"Loh! Kan gak papa sering-sering. Kita kan tetangga. Katanya ada tamu kan? Ini ya tamunya?" Mama Glenn langsung tersenyum ke arah Alesya dan mengulurkan tangannya. "Saya Mira. Mamanya Glenn."
"Alesya, temennya Dyan sejak kuliah. Aku panggil kak Mira juga ya?" Sahut Alesya seraya bersalaman. "Kak Mira panggil aku 'AL' aja. Biar sama kayak Dyan."
"Oke deh, selamat datang ya Al. Ayo kita ke atas. Tadi anak-anak sudah pesan makanan duluan. Mereka sudah bantu bawa makanannya keatas juga." Mama Glenn langsung menemani mereka ke lantai-2.
Setelah berbincang sebentar sebelum makan, Mama Glenn permisi untuk turun kebawah karena masih harus ke dapur menerima pesanan makanan dari pengunjung.
"Maaf ya, saya tinggal dulu. Kasihan anak-anak di dapur. Silahkan dinikmati makanannya ya." Kata Mira sebelum permisi kembali ke lantai 1.
"Makasih Kak, keliatannya enak-enak banget ini. Aku bakal sering mampir nih selama tinggal disini." Kata Alesya sambil tersenyum lebar.
==
Makan malam kali ini terasa istimewa buat Dyan. Juga buat Adit. Kehadiran seorang Alesya seperti sebuah subsitusi dari seorang anggota keluarga yang selama ini mereka rindukan. Tanpa disadari baik itu Dyan ataupun Adit, kepergian Mama memang jadi kehilangan terbesar. Ditambah dengan Mahesa yang sudah berkeluarga dan tidak tinggal serumah.
Glenn yang juga kelihatan menikmati suasana makan malam kali ini. Alesya memang orang yang supel, walau baru pertama kali bertemu dengan Glenn tapi sudah bisa membuat anak itu akrab dengannya. Apalagi tante Alesya yang penampilannya masih trendy ini pun ternyata suka main game online. Maka Glenn pun seperti ditarik lekat dengan magnet ke tante Alesya, mereka saling menunjukkan game yang dimainkan di ponselnya.
Adit yang tidak terlalu tertarik dengan game online pun jadi berebut perhatian dengan Alesya, karena tante berumur 35 tahun yang kerjanya di bidang motion graphic ini mengerti sekali dengan hobi Adit yang juga tertarik dengan pembuatan video konten. Singkatnya malam ini Alesya jadi pelengkap paket kebagiaan keluarga kecil dadakan ini.
Dyan merelakan sahabatnya ini di monopoli anak-anak. Sambil sesekali menanggapi percakapan mereka, suasana seperti ini tidak sering terjadi. Dyan sudah cukup merasa bahagia dengan hanya memperhatikan mereka.
Layar ponsel Alesya yang sejak tadi jadi pusat perhatian anak-anak mendadak berkedip menunjukkan nama seseorang.
"Eh, bentar ya. Tante terima telpon dulu." Kata Alesya sambil menggeser tombol 'terima'.
"Halo." Bangkit dari kursinya, Alesya menjawab panggilan telepon sambil berjalan ke arah balkon. Kebetulan meja di balkon baru saja kosong. Dyan memperhatikan Alesya yang berbincang dengan wajah yang berseri, senyumnya tidak pernah hilang selama panggilan berlangsung. Dyan bisa menebak, pasti yang menghubungi sekarang adalah si calon suami yang baru melamar tadi pagi.
Sudut bibir Dyan ikut tertarik keatas tanpa sadar, seolah senyum Alesya menular ke bibirnya. Melihat kebahagiaan di wajah sahabatnya ikut memberinya rasa bahagia, walau dalam jenis yang berbeda.
"Bunda?" Dyan merasa tangan Adit menyentuh tangannya.
"Ya, bang." Dyan menjawab sambil membalas genggaman tangan Adit.
"Tadi Adit udah daftarin Bunda ya. Bunda harus masuk kelasnya ya. Adit udah ambil jadwal kelas hari Minggu aja. Sekali aja seminggu, Bun. Tapi 3 jam. Kita bisa bareng tiap hari Minggu. Kelas Adit kan Sabtu-Minggu." Kali ini Adit bukan sedang membujuk Bunda-nya lagi untuk mau ikut workshop, tapi sudah mengambil keputusan. Dyan terdiam sejenak, dia baru menyadari setelah beberapa detik berlalu, apa yang disampaikan anaknya.
"Maksudnya? Bunda sudah resmi registrasi kelas yang Abang pilihin? Abang udah bayar? Bayar pake apa, nak?" Dyan bingung, karena kelas workshop di tempat Adit belajar biayanya tidak murah. Dia juga belum pernah menyatakan setuju untuk ikut kelas. Bagaimana bisa Adit mengambil keputusan sepenting ini sendiri? Tanpa menunggu persetujuannya?
"Iya, udah Adit registrasi nama Bunda. Kelasnya cuma 4x pertemuan kok. Adit ambil kelas basic buat Bunda. Kata bagian registrasi mending Bunda ambil kelas basic dulu, nanti baru ambil yang lanjutan kalo Bunda suka. Jadi ini kelasnya gak yang mahal kok Bunda."
"Trus, abang udah bayar? Pake apa?" Dyan merasa belum pernah memberi uang pendaftaran ke Adit.
"Tenang aja, Bunda. Kalau cuma untuk kelas basic ini, uang tabungan Adit ada. Anggap aja Bunda pinjem dulu. Hehehehe. Ntar aja Bunda balikin kapan-kapan." Jawab Adit, senyumnya lebar dan wajahnya terlihat bangga karena merasa sudah bisa menuntaskan sebuah tugas orang dewasa.
"Asik dong kalo Bunda ikut sama kita ke studio. Kita bisa kumpul makan bareng tiap hari Minggu." Glenn ikut menimpali.
"Eh, ntar kita bisa rekam proses Bunda belajar digital drawing loh, Dit. Buat bahan konten channel kita." Tiba-tiba Glenn melempar ide yang langsung disambut oleh Adit dengan persetujuan 100%. Maka dua remaja ini pun langsung sibuk merencanakan desain video konten terbaru mereka, meninggalkan Dyan yang masih belum sepenuhnya satu frekwensi dengan perbincangan mereka barusan.
Ah, akhirnya Dyan hanya bisa tertawa kecil setelah menyadari keadaan saat ini. Rasanya seperti kembali ke suatu masa dulu, waktu hidup terasa penuh dengan kesempatan dan berbagai rencana serta mimpi datang seperti butiran hujan setiap hari.
Betapa dinamisnya hari ini, terutama malam ini. Entah sudah berapa lama sejak dia mengalami perbincangan kreatif yang seru bersama orang-orang yang dekat dengannya. Sekelebat rasa perih pun ikut hadir diantara rasa hangat yang menguasai seiring memori masa lalu berputar kembali dalam benaknya.
Dyan mendengar suara Alesya mendekat masih sambil berbincang di telpon dan sesampainya di meja Alesya berkata, "Yan, calon pak suami mau video call liat ibu kost aku dan anak-anakku, boleh ga?"
Dyan mengangguk sambil memberi kode 'OK' dengan jarinya, tidak ada salahnya berkenalan kalau memang laki-laki itu serius mau menikahi Alesya. Cepat atau lambat mereka juga akan bertemu.
"Kenalin ini Dyan, mulai hari ini aku tinggal di rumahnya", kata Alesya seraya mengarahkan layar ponselnya ke depan wajah Alesya. Tampak wajah seorang pria berusia 30-an mengenakan kacamata sedang tersenyum disana. Dyan memperkenalkan namanya lagi, "Saya Dyan, teman Alesya dari jaman kuliah."
"Salam kenal Dyan. Saya Evan, titip Alesya ya. Kalau nakal jangan segan dimarahi." Katanya sambil tertawa menampakkan deretan giginya yang rapi.
Alesya wajahnya langsung cemberut mendengar kata-kata Evan, lalu menjulurkan lidahnya. Dyan tertawa kecil melihat tingkah temannya, mendadak Alesya bertingkah manja begini jadi pemandangan lucu buat Dyan. Bagi Dyan sahabatnya ini lebih seperti seorang pendekar wanita yang selalu pasang badan melindungi dirinya tiap kali dia menghadapi masalah.
Lalu Alesya beranjak memindahkan arah layar ponsel mendekat ke kursi Adit dan Glenn. "Evan, ini anak-anakku. Yang ini Adit, yang ini Glenn. Ganteng-ganteng ya?" Evan tampak melambaikan tangan kearah mereka.
"Wah, udah gede-gede semua. Om Evan titip tante Alesya ya." Jawab Evan sambil tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil Evan di sisi lain. Evan memberi kode kepada orang tersebut untuk menunggu sebentar. Mode Video Call lantas berubah menjadi panggilan suara lagi, Alesya langsung meletakkan ponselnya di telinga. Setelah menganggukkan kepala sambil mengiyakan kata-kata Evan, akhirnya perbincangan berakhir.
"Evan masih mau ketemu calon investor. Dia titip salam buat semua." Kata Alesya sambil duduk lagi di kursinya tadi.
"Glenn, Adit, kita makannya kan udah ya? Kayaknya malam ini tante Al pengen pulang dulu deh. Capek juga soalnya dari pagi tante Al sebelum kesini masih sibuk selesain kerjaan. Adit mau ikut pulang atau tinggal?" Tanya Alesya.
"Adit pulang juga deh tante."
"Makasih banyak ya Glenn, makan malamnya enak banget." Alesya mengancungkan dua jempolnya ke arah Glenn.
"Jangan bosen makan disini ya tante. Mama pasti juga seneng kalo tante sering kesini." Glenn tersenyum kepada Alesya, lalu berkata lagi, "Lain kali kita mabar[1] ya, Tan." Tawaran Glenn disambut dengan tawa oleh Alesya, "Ok, kalo tante lagi ga sibuk kita mabar."
Dyan hanya mengernyitkan dahinya mendengar pembicaraan ajaib dengan istilah asing yang tidak dipahaminya. Adit hanya tersenyum melihat Bundanya yang kelihatan terasing dengan obrolan barusan.
"Ayo Bunda, kita pulang." Ajak Adit sambil meraih tangan Dyan. Mereka berempat pun jalan menuruni tangga menuju lantai 1, sementara tanpa Dyan sadari telponnya sedang berbunyi di dalam tasnya.
1 missed call. Diondarte.