"Gak papa, Al. Tinggal disini aja ya. Disini dulu deh. Kan kita udah lama gak ketemu. Ntar kalau kamu bosen, boleh pindah ke rumah." Kataku sambil memeluk tangan Alesya.
"Eits! Peluk-peluk. Seneng banget ya aku temenin disini?"
"Iya, dong. Kan jadi gak sepi lagi kalo ada kamu Al."
"Makanya supaya gak sepi, cari suami."
Tanganku otomatis mencubit lengan Alesya. "Aw! Sakiiit!" Alesya terkejut menerima cubitanku tapi reaksinya yang langsung tertawa setelah berteriak kesakitan membuatku makin sebal.
"Apaan sih? Emangnya cari suami kayak beli baju? Bisa tinggal pilih yang kita suka gitu?"
Alesya malah melihatku dengan tatapan usil, "Sebetulnya itu gak mustahil juga kalo pilihannya ada. Comot satu aja." Katanya sambil cengengesan.
"Bisa aja ngomong cari suami. Lah, dirimu apa kabar? Kamu juga masih single fighter gitu, cari untuk kamu aja dulu. Baru nyuruh aku." Alesya memang belum menikah sampai sekarang. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya, tiap kali menjalin hubungan dekat selalu saja berakhir dalam hitungan bulan. Paling lama satu tahun. Alesya orangnya memang dominan, dalam persahabatan kita juga peran Alesya lebih mirip seperti kakak perempuan yang melindungi daripada sahabat seusia.
"Eits! Jangan salah ya. Gini-gini juga diriku sekarang bukan single lagi. Kamu aja yang belum tau." Alesya berkata sambil mengibaskan rambutnya. Aku terkejut mendengar berita ini, Alesya sudah tidak single lagi? Maksudnya?
"Kamu nikah tanpa ngabarin aku, Al?"
"Belum, tapi kemungkinan akan. Makanya aku pulang ke tanah air tercinta ini. Dalam rangka membahas rencana mulia ini." Siapa? Kapan? Kenapa sampai komunikasi terakhir Alesya tidak pernah cerita? Padahal biasanya baru naksir seseorang saja, dia pasti langsung memberi kabar. Terlepas dari prestasi putus cintanya yang sudah tidak bisa dihitung jumlahnya, Alesya adalah pribadi yang optimis. Walau sudah putus cinta berkali-kali, bagi Alesya itu artinya dia belum berhasil menemukan belahan jiwa yang sesungguhnya.
Tapi sekarang, tiba-tiba dia sudah menemukan calon pendamping hidup. Itu artinya dia sudah menemukan belahan jiwanya kan? "Aku merasa terkhianati nih, Al. Biasanya kamu selalu cerita tiap naksir orang. Kenapa sekarang ketemu soulmate dan udah sampe planning mau nikah, malah gak cerita ke aku?"
"Soalnya aku juga ga yakin awalnya. Aku pikir ini cuma sekedar usaha jadi anak berbakti kepada orang tua. Ternyata, memang jalannya sudah begini." Berbakti pada orang tua?
"Akhirnya pembicaraan rencana akan menikahnya juga baru dua hari yang lalu sebelum aku terbang kesini." Kata Alesya lagi, sambil melanjutkan makan kacang yang dibawanya dari dapur.
"Berbakti gimana maksudnya? Kamu dijodohin?" Pikirku, apalagi caranya berbakti pada orang tua kalau tidak dengan cara mengabulkan keinginan orang tua untuk menjodohkan anaknya yang sudah masuk usia sangat dewasa.
Alesya mengangguk, "Yaah, awalnya sih mama gak bilang dengan jelas soal perjodohan. Cuma waktu Mama tau aku mau pulang selesai proyek terakhir, Mama rupanya sudah susun rencana buat ngenalin aku ke anak temannya. Kamu inget kan waktu kita telpon-telponan pertama kali? Aku bilang mau bantuin mama selesain urusan perusahaannya dulu sebelum datang kesini? Nah! Masalah perusahaan sih cuma mediasinya, tujuan inti Mama sih biar aku kenalan sama anak temannya itu."
"Terus? Gimana sampe jadi niatan mau nikah? Waktunya singkat banget kan? Kamu baru sampe Indonesia beberapa hari juga kan?"
Alesya terkekeh, "Hehehe, iya kan? Emang kalau jodoh itu jalannya suka gak disangka-sangka. Namanya Evan, dia sebetulnya juga baru pulang karena ambil cuti tahunan. Dia ikut di pertemuan kita sebetulnya cuma menemani Mamanya. Jadi posisi kita sama, cuma mendampingi orang tua masing-masing. Ceritanya sih Mama-Mama berdua ini ada rencana bikin kerjasama usaha. Tapi terus minta masukkan dari kita berdua."
"Tapi kalian gak tau kalo pertemuannya cuma pura-pura?" Tanyaku penasaran.
"Pertemuannya betulan, memang Mama ada planning bikin usaha baru bareng mama Evan. Kebetulan kita sama-sama baru pulang, jadi kita gak curiga apa-apa. Setelah pertemuan, beliau berdua minta kita untuk survey beberapa lokasi yang rencananya buat dijadikan tempat usaha. Dan minta tolong kami untuk review beberapa lokasi itu, bantu pilih mana lokasi yang paling tepat."
"Jadi? Kalian jalan berdua?"
"Iya."
"Kapan jadi bicara nikah?" Tanyaku lagi.
"Hehehe, aneh ya kedengarannya? Emang aneh, Yan. Waktu kita jalan survey lokasi dan bahas plus minus masing-masing tempat sambil jalan, anehnya kita berdua nyaris punya fikiran yang sama. Singkatnya sih, beberapa hari jalan untuk urusan bantu kerjaan orang tua malah bikin kita jadi merasa dekat. Lucu ya?"
"Cuma beberapa hari? Gak pake naksir dulu? Atau kamunya waktu ketemu pertama dengan Evan, langsung terpesona?"
Alesya tersenyum, setelah diam sejenak dia pun berkata, "Pertama kali ketemu? Terpesona? Gak juga, cuma penilaianku buat dia positif aja. Sopan, pendengar yang baik, matanya bersahabat, dan selama kita jalan survey lokasi, kalau dia mengutarakan pendapat dia gak pernah menghakimi sesuatu atau seseorang. Orangnya selalu lihat sisi terbaik dulu sebelum menyampaikan sisi buruk dari setiap kondisi yang kita temui." Mata Alesya selama membicarakan Evan terlihat bercahaya.
"Orang yang cocok buat kamu banget, Al." Aku ikut merasakan kebahagiaan Alesya. Walau masih merasa terheran-heran, bagaimana bisa pertemuan singkat diantara mereka dengan mudahnya membuat mereka sepakat untuk merencanakan pernikahan.
"Tapi kan baru kenal sebentar, Al. Kelihatannya memang cocok, apa gak kelewat buru-buru?"
"Cinta memang aneh, Yan. Percaya deh, kalau kamu tanya aku yang dulu, pasti fikiranku sama kayak kamu sekarang. Baru kenal sebentar, pasti masih kelihatan yang sisi baiknya aja. Lama-lama juga pasti kelihatan jeleknya. Menikah kan bukan hal sepele. Tapi mungkin saat frekwensi kita memang sama, walaupun baru sebentar tapi setiap pertemuan selalu memberi rasa aman. Jadi kepercayaan untuk melangkah lebih jauh sepertinya datang begitu saja."
"Iya aneh. Ajaib."
Alesya hanya mengangkat alisnya, dia juga tidak membantah pendapatku. "Iya, memang ajaib." Katanya lagi.
Kutatap wajah Alesya, masih sulit untuk percaya. Banyak pertanyaan bermunculan di benakku. Terutama pertanyaan yang satu ini, "Siapa yang nembak duluan?"
"Nembak? Hmmm, ... dari pada 'nembak' lebih pasnya sih, Evan langsung bilang ke aku, kalo dia sekarang di usia yang gak mau mikir yang muluk-muluk. Cita-citanya cuma mau hidup yang 'cukup'. Dan dia bilang kalau dia merasa sejak kenal dengan aku dia merasa hidupnya lebih lengkap. Jadi dia tanya, aku bersedia gak untuk 'melengkapi' hidupnya?"
Melengkapi hidup? "Gombal bener ya kedengerannya? Kamu gak mual waktu dia bilang gitu, Al?" Tanyaku penasaran. Karena Alesya orangnya sangat tidak romantis dan sangat logis. Rasanya membayangkan ada orang yang menyampaikan kata-kata romantis ke Alesya, langsung terbayang wajah Alesya yang berkerut karena 'geli' mendengar kata-kata gombal begitu.
Tapi Alesya malah tertawa mendengar pertanyaanku dan kemudian menggelengkan kepalanya, "Gak, aku gak mual. Anehnya waktu kata-kata itu keluar dari mulut Evan, dengan suara Evan dan tatapan mata Evan, maknanya jadi lebih dalam. Kamu tau, Yan? Abis dia tanya begitu, aku malah nangis."
"Nangis? Kenapa?" Aku tambah heran mendengar cerita Alesya.
"Kenapa? Entahlah. Rasanya seperti habis lepas dari ikatan rantai yang sudah mengikat bertahun-tahun. Rasanya seperti ... 'lega'? Gitu deh."
"Trus?"
"Yah, Evan kasih waktu buat aku mengambil keputusan."
"Dan? Keputusannya?"
"Hmmm, tadi pagi waktu dia nganter ke bandara, aku bilang terima kasih ke dia. Terima kasih karena sudah minta aku untuk jadi bagian dari hidupnya. Aku juga mau dia jadi bagian hidupku dimasa depan." Aku meringis mendengar kata-kata Alesya. Melihat reaksi wajahku Alesya tertawa kecil.
"Hihihi, aku kalo kepikiran lagi omonganku tadi pagi, juga jadi geli sendiri. Tapi kalau sama Evan, gak ada kata-kata yang kedengaran gombal. Semua jadi terasa 'benar' aja." Kata Alesya lagi.
"Jadi? Abis kamu terima lamarannya, trus kamu tinggal kerja kesini? Tega betul kamu, Al."
"Kamu tau? Yang tega itu Evan. Aku yang langsung ninggalin dia, malah aku yang ngerasa mau balik lagi. Dia bilang gak papa aku pergi dulu, dia bilang nunggu beberapa minggu gak seberapa kalau dibanding lamanya waktu yang bakal kita jalani bersama nanti. Hahaha... Aku jadi aneh ya? Digombalin sekarang gak terasa mual lagi."
Ya Tuhan, aku jadi penasaran sama wujud laki-laki bernama Evan sekarang. Jangan-jangan dia mantan playboy. Bagaimana kalau nanti dia semena-mena meninggalkan Alesya yang sudah membuka hati lebar-lebar untuknya.
Aku ikut bahagia kalau Alesya bahagia, aku senang melihat matanya yang berkilauan tiap kali menyebut nama Evan. Tapi, apa mungkin untuk memutuskan sesuatu yang sangat serius seperti pernikahan dengan semudah itu?
Alesya sepertinya menyadari keraguanku dari wajahku yang tidak bisa menutupi perasaanku yang sesungguhnya.
"Kamu gak percaya ya, Yan?" Alesya tersenyum sambil bertanya. Aku hanya mengangkat bahu.
"Waktu kamu tidak lagi 'menghakimi' diri kamu dan orang lain, saat itu juga kamu bisa melihat jelas ketulusan perasaan orang. Kita bukannya percaya tanpa dasar, tapi kita jadi bisa lihat setiap kejadian terjadi karena ada alasannya."
Tidak menghakimi diri sendiri dan orang lain? "Apa aku orang yang suka menghakimi?"
"Ya, kamu itu orang yang suka diam-diam menghakimi diri sendiri. Padahal kamu pantas menerima yang lebih baik, tapi kamu bikin batas-batas kepantasan buat dirimu sendiri."
"Maksudnya?" Aku tidak sepenuhnya mengerti maksud perkataan Alesya barusan.
"Maksudnya, mulai buka hati dan diri. Kamu masih muda, baru 35 tahun. Punya anak bukan berarti gak ada orang yang mau jadiin kamu istri. Jadi jangan takut kalau ada yang mau jadi suami kamu, Yan."
Ah! Lagi-lagi pembicaraannya ke arah itu. Kenapa semua orang mendadak minta aku untuk bersuami?