Chereads / Second Chance, First Love / Chapter 19 - Akhirnya sampai disini

Chapter 19 - Akhirnya sampai disini

{**Mulai dari chapter ini kedepannya, cerita dituturkan dari sudut pandang penulis. Pada saat ada bagian yang akan bercerita dari sudut pandang salah satu karakter, maka akan disebutkan di awal chapter. }

Terdengar suara air dari dalam kamar mandi di sebelah tangga, setelah memutuskan untuk mulai 'kost' di ruko, Alesya langsung memindahkan tas bawaannya ke lantai 2 dan langsung mandi sebelum beristirahat. Wendy dan Rose juga sudah selesai menutup butik, mereka berdua baru saja pulang beberapa saat yang lalu. Sesuai instruksi dari Dyan, butik tutup lebih cepat hari ini.

Dyan langsung membereskan kamar yang biasa digunakan Adit sebagai 'studio'. Selain perangkat komputer, microphone dan kamera, di sisi meja juga ada sebuat lampu LED dan reflektor yang sering dipakai Adit untuk membuat video konten channel sosial medianya. Di salah satu sisi terdapat tempat tidur ukuran single, karena terkadang saat sedang sibuk membuat video, Adit lebih suka tidur di kamar ini daripada di kamarnya. Sementara ini Dyan memutuskan untuk menjadikan studio ini sebagai kamar Alesya, setelah sebelumnya meminta izin pada anaknya untuk meminjam studio sebagai kamar tamu.

Sebetulnya Dyan ingin Alesya tidur di kamarnya saja. Mengulang masa-masa perkuliahan lagi, jadi 'room mate'. Tapi Alesya menolak, dengan alasan dia butuh 'privacy' karena baru punya pasangan serius dan tiba-tiba LDR[1], jadi bakalan butuh banyak waktu berduaan via telepon. "Huh! Show off!" Komentar Dyan, yang ditanggapi Alesya dengan santai, "Makanya sis, buruan cari pasangan juga." Cih! Lagi-lagi topiknya menuju kesana. Seolah-olah cari jodoh segampang beli fast food.

Selesai mengganti sprei dan sarung bantal, Dyan mengeluarkan vacuum cleaner untuk membersihkan lantai kamar. Suara mesin penyedot debu lumayan keras, sampai-sampai dia tidak mendengar langkah Alesya yang masuk ke dalam kamar sambil membawa ponselnya yang sedang berbunyi.

"Yan!" Panggil Alesya agak keras, sambil menepuk bahunya dari belakang. "Ah!" Dyan spontan berteriak kaget. Sambil mengurut dadanya, Dyan langsung menekan tombol 'off' di mesin penyedot debu dengan ujung jari kaki.

"Ngagetin aja! Udah selesai mandi?" Dyan masih belum terbiasa dengan situasi ada tambahan penghuni lain di ruko ini, dia memang sejenak lupa kalau sekarang ada Alesya saat sedang membersihkan kamar tadi. Perasaannya masih seperti bebersih rumah seperti sehari-hari, sendirian sebelum Adit pulang.

Alesya menyerahkan ponsel yang dari tadi dipegangnya, "Ini nih. Kayaknya udah bunyi dari tadi, soalnya ada banyak missed call tuh. Coba cek, jangan-jangan si Adit."

Dyan langsung menyambut ponselnya dan memeriksa notifikasi yang masuk, ada 4 panggilan tak terjawab dan 3 pesan baru. Salah satunya memang panggilan dari Adit tapi sisanya panggilan dari....Diondarte!? Detak jantung Dyan yang baru saja kembali normal tiba-tiba berdegub kencang lagi. Sejak bertukar nomor ponsel beberapa minggu yang lalu, interaksi diantara mereka masih sebatas berkirim pesan. Tidak satupun –baik itu Dyan atau Diondarte yang berinisiatif untuk menelpon.

"Adit yang telpon?" tanya Alesya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Hm,..iya. Adit yang telpon." Dyan menjawab sambil melihat pesan baru yang masuk. Adit rupanya mengirim pesan kalau dia akan langsung ke rumah Glenn setelah kelasnya selesai di DigiStudio. Glenn mengajak Adit untuk makan malam di restorannya lagi, dan minta Adit untuk mengundang Bundanya juga tante Alesya yang baru datang dari ibukota untuk ikut makan malam di resto.

"Adit bilang, kita diundang makan malam di restoran mama Glenn. Itu temannya yang tadi jemput sebelum berangkat les. Restorannya gak jauh dari sini. Adit pulang les permisi mau langsung kesana. Katanya kita nyusul aja, Al."

"Nyusul kesana? Adit minta dijemput?"

"Yah sekalian jemput, Glenn juga ngajakkin makan di restoran mamanya."

"Ditraktir? Wah, boleh juga. OK deh. Bilang aja ke Adit, kita kesana abis magrib. Enak-enak ya makanan disana?" Alesya kelihatan sangat antusias menyambut tawaran makan, tidak pernah ada 'doa penolak rejeki' saat penawaran menggiurkan seperti ini datang. Itu prinsip Alesya sejak dulu. Siapapun yang kenal Alesya, pasti tidak menyangka kalau dia berasal dari keluarga yang bisa dianggap sangat berada. Sifatnya yang hobi ditraktir tanpa segan membuat teman-teman saat kuliah menganggap Alesya sederajat dengan mereka yang selalu kembang kempis menjelang akhir bulan menunggu kiriman uang.

"Traktir sih, tapi aku gak enak ah kalo gratis. Glenn itu Papanya udah meninggal. Restoran itu sumber mata pencarian Mamanya. Aku jadi gak tega. Walau mereka sering ngajak makan disana, aku selalu usahain bayar. Setidaknya nyelipin uang jajan buat Glenn." Dyan faham sekali situasi mama Glenn, karena dia juga berada di keadaan yang serupa. Orang tua tunggal yang membesarkan seorang anak laki-laki remaja sendiri. Bukan hal yang mudah.

Alesya pun langsung memahami jalan pikiran sahabatnya ini, yang juga adalah orang tua tunggal. Sejenak Alesya teringat kembali kenangan 15 tahun yang lalu, saat Dyan akhirnya memutuskan untuk menerima anak dalam kandungannya dengan ikhlas, lalu bertekad membesarkannya sendirian. Terlepas dari bagaimana cara anak itu hadir, Dyan percaya anak yang dititipkan dalam rahimnya itu tidak bersalah. Dukungan dari Mama dan kakak lelakinya juga menguatkan tekad Dyan yang akhirnya mengambil jalan untuk tidak menikah, supaya anak yang lahir nanti bisa menerima 100% cinta dari ibunya.

Alesya tahu betul alasan kenapa sahabatnya ini tidak ingin menikah, Dyan tidak ingin anaknya nanti hanya dianggap beban oleh orang yang mengambil peran Ayah tanpa memiliki ikatan biologis. Dyan juga takut dirinya hanya menjadi beban bagi keluarga suaminya karena statusnya yang sudah memiliki anak diluar pernikahan.

Walaupun pertemuan terakhir mereka sudah empat tahun yang lalu, tapi tidak ada rasa canggung diantara mereka saat bertemu kembali. 'Mungkin ini yang dinamakan soulmate', batin Alesya.

Sementara itu Dyan masih menatap layar ponselnya, dalam benaknya masih tersangkut pertanyaan kenapa Diondarte menghubunginya via panggilan telepon? Bahkan sampai tiga panggilan tidak terjawab. Ada sesuatu yang pentingkah? Tapi Dyan tidak menemukan satu pun pesan text darinya. Padahal umumnya, kalau panggilan telepon tidak terjawab orang cenderung untuk mencari cara lain seperti mengirim pesan text. Tapi setelah 3 missed calls, Diondarte tidak mengirim pesan apa-apa.

"Kenapa bengong? Nanti aja liat HP-nya, sekarang kamu mandi dulu, sudah hampir magrib." Suara Alesya membuyarkan lamunan Dyan. Segera dia meletakkan ponselnya kembali di meja ruang keluarga lalu masuk ke kamarnya untuk mandi.

Tapi mendadak dia keluar lagi dari kamar untuk mengambil ponselnya. Sambil berjalan balik ke kamar, Dyan mempertimbangkan apakah pantas kalau dia yang mengirim pesan duluan ke Diondarte, bertanya kenapa dia menghubunginya sampai 3 kali? Atau tunggu saja sampai dia mengirim pesan? Dyan heran kenapa dia jadi penasaran seperti sekarang?

[Ding!]

Suara notifikasi pesan masuk! Dyan terkejut karena mendadak ponsel yang dipegangnya bergetar, nyaris saja ponsel terlepas dari tangannya. Sebelum otaknya sempat memproses keadaan, jarinya sudah lebih dulu menyentuh layar ponsel dan memeriksa pesan yang baru saja masuk. Debar jantung yang masih berantakan karena kaget, malah berdetak semakin cepat setelah membaca pesan itu. Dyan merasa debaran jantungnya menggema sampai ke telinganya.

Sebaris pesan singkat ini telah membuat seluruh tubuhnya terasa panas, dan membangkitkan perasaan yang asing bagi Dyan.

[Hai! Aku akhirnya sampai disini juga, Dy. Sampai ketemu ya ^^.]

Pesan itu dari Diondarte.