Chereads / Second Chance, First Love / Chapter 17 - Pertemuan pertama (3)

Chapter 17 - Pertemuan pertama (3)

"Apa kabar sayang?"

"Alesya?!" Berapa kali hari ini aku harus terkejut? Kali ini Alesya –sahabatku yang terbaik, tiba-tiba muncul di hadapanku. Bukankah dia sedang di ibukota? Bahkan semalam dia masih mengirim foto makan malamnya di sebuah restoran seafood yang sering kami datangi waktu jaman kuliah dulu.

"Kapan datang? Kapan sampai? Kenapa gak ngabarin?!"

"Woow woow, satu-satu dong tanyanya. Gimana kalo kita masuk dulu. Aku kan baru sampe. Haus nih." Kata Alesya sambil melepaskan pelukannya dan meraih sebuah koper yang disembunyikannya di balik dinding, juga sebuah tas kertas yang sangat familiar.

"Loh! Itu kan tas kertas butik kita? Kamu dapet darimana?" Tanyaku sambil meraih tas kertas di tangannya.

"Tunggu dulu, bu Dyan. Sabar. Aku mau minum dulu. Ada teh es manis gak?" Alesya mengabaikan tanganku dan berjalan masuk kedalam ruko. Namun kembali langkahnya terhenti, karena Adit tiba-tiba muncul menghalangi jalan masuk. Adit sepertinya penasaran mendengar suara kami berdua yang berbicara dalam nada tinggi.

"Ini...Adit?!" Suara Alesya keluar dalam nada lebih tinggi 2 not dari sebelumnya.

"Ya? Ini..." Adit sepertnya lupa dengan Alesya. Terakhir kali Alesya datang ke kota ini adalah 10 tahun yang lalu. Saat itu Adit masih berumur 4 tahun. Alesya datang sebentar karena mau berpamitan dengan Mama dan aku karena dia diterima kerja di luar negeri, sejak saat itu Alesya tidak pernah lagi mengunjungi kami. Karena setiap kali cuti pasti dihabiskannya bersama keluarganya di ibukota atau pergi ke Australia mengunjungi kakek dan neneknya.

"Ah! Adit udah segede gini!!" Alesya memeluk Adit erat, membuat Adit kebingungan harus bereaksi seperti apa. Aku hanya geleng-geleng kepala.

"Sudah dulu pelukannya. Adit kaget tuh. Kita masuk dulu semua. Diluar panas nih." Kataku sambil mendorong mereka semua masuk ke ruang duduk.

Alesya masuk kedalam sambil masih menggandeng Adit di tangan kanan dan menyeret koper serta tas kertas di tangan kiri. Adit hanya mengikutinya dengan wajah yang kebingungan. Berusaha mengingat siapa perempuan yang menggandengnya ini.

"Duduk dulu, Al. Aku bikinin tehnya sebentar."

"Ah! Dyan! Aku bercanda tau! Air putih aja yang dingin. Tadi di pesawat udah cukup minum yang manis-manis."

"Bener ya? Gak nyesel kan?"

Satu dekade bukan sebentar, secara fisik memang kita tidak pernah bertemu. Tapi dengan Alesya, komunikasi via telpon yang entah berapa bulan sekali dan biasanya baru akan terjadi saat dia curhat soal putus dari pacarnya atau kesal tak tertahan dengan projek yang sedang dia jalani. Berkirim pesan lewat ponsel atau lewat media sosial pun tidak bisa dibilang rutin. Tapi dia selalu ada saat aku butuh tempat cerita dan aku selalu ada saat Alesya butuh tempat menumpahkan uneg-uneg.

Begitu wujud persahabatan kami. Tidak bersama secara fisik tidak membuat kami kehilangan kabar satu sama lain tapi juga tidak ada tuntutan harus selalu absen untuk berkirim kabar.

"Udah kelas berapa nih Adit sekarang? Kok udah segede ini?" Alesya menatap Adit dengan wajah tidak percaya, dia mengusap-usap kepala Adit. Dan Adit terlihat bingung berusaha mengingat siapa tante yang duduk di sampingnya ini.

"Adit kelas 1 SMA,.....tante?" Keraguan masih terdengar di suara Adit. Ternyata dia belum ingat juga. Aku tertawa mendengar anakku yang kelabakan bingung mau memanggil Alesya dengan panggilan apa.

"Adit lupa sama tante Alesya?!"

"Tante Alesya?"

"Iya! Udah inget kan?"

"Mmmmm.....belum." Adit menggaruk kepalanya sambil tersenyum miring.

Aku tertawa melihat interaksi mereka berdua. Aku menghampiri mereka dan meletakkan segelas air dingin yang baru kuambil ke tangan Alesya.

"Minum dulu. Itu mulutnya kelamaan dibuka. Bisa kering lidahnya." Kataku sambil mengarahkan tangan Alesya yang sedang memegang gelas ke arah mulutnya.

"Ini tante Alesya, teman kuliah Bunda. Abang lupa ya? Tante Alesya dulu selalu datang pas Abang ulang tahun. Terakhir waktu Abang ulang tahun ke-4, waktu itu tante Alesya sekalian permisi mau berangkat kerja di luar negri." Jelasku ke Adit. Kasihan melihat wajahnya yang kebingungan sejak tadi.

Alesya tiba-tiba memeluk Adit sambil mengusap-usap punggungnya. "Aaah, tante sedih. Adit kan udah seperti anak tante sendiri. Malah tante ikut kasih nama Adit. Waktu Adit baru lahir tante datang. Tante ikut ganti popok, pernah mandiin Adit, pernah main sama Adit. Kok Adit lupa?"

"Udah Al. Kasian tu anaknya jadi bingung."

Tapi Al tidak mau melepaskan pelukannya. Adit cuma bisa pasrah. Pelukannya baru lepas setelah ada suara bel tiba-tiba terdengar bersamaan dengan suara Glenn yang berteriak memanggil nama Adit.

Adit segera membukakan pintu dan mengajak Glenn masuk kedalam. "Tapi ini sudah jam berapa Dit? Kelasnya mulai jam 3 loh."

"Masuk dulu, permisi sama Bunda."

"Oh! Ada Bunda ya di belakang?" Tanpa pikir panjang Glenn segera membuka sepatunya dan langsung masuk ke dalam rumah. Glenn baru akan menghampiriku tapi langkahnya tiba-tiba terhenti.

"Eh, sedang ada tamu ya, Bunda?" Glenn menganggukkan kepala ke arah Alesya.

"Iya, sini nak. Ini tante Alesya, teman Bunda." Segera Glenn menghampiri kami dan mencium tanganku. Alesya ikut mengulurkan tangannya ke arah Glenn, walau sempat kelihatan ragu akhirnya Glenn mencium tangan Alesya juga.

Adit memelukku, "Bun, Abang ke digistudio dulu ya. Kelasnya hampir mulai." Lalu dia juga mencium tangan Alesya. "Sampe nanti ya, tante. Adit berangkat."

Aku mengantar mereka sampai ke pintu dan melihat anak-anak itu berjalan cepat menuju Digistudio yang jaraknya hanya 2 blok dari ruko ini.

Setelah menutup pintu, aku kembali duduk di sebelah Alesya dan memukul bahunya. "Kenapa datang tanpa pesan? Aku kan gak ada persiapan."

Alesya hanya terkekeh, "Persiapan apa? Emangnya kamu nungguin suami pulang dari luar kota?"

Aku baru mau protes dengan candaannya tapi Alesya dengan cepat meraih tas kertas yang dibawanya tadi dan meletakkannya di pangkuanku.

"Ini aku bawain buat kamu."

"Oleh-oleh?" Tanyaku dengan wajah berseri-seri.

"Liat aja." Katanya sambil bangkit dari sofa dan berjalan ke dapur. Kubuku tas kertas itu dan terkejut melihat isinya.

"Ini kan dress yang mau dikirim mbak Viny. Kok ada sama kamu?"

"Aku tadi dari bandara langsung ke rumah, mau ketemu mbak Viny dan kak Mahesa dulu rencananya. Sekalian makan siang ehehehe. Baru kesini untuk ngagetin kamu, Yan. Berhasil kan?"

"Oooh, jadi kamu pikir disini gak ada makanan. Makanya ke rumah cari makan?"

"Siapa tau kan? Dirimu kan sibuk, Yan. Aku takut sampe sini makan mie instan karena kamu belum masak."

"Mie instan juga makanan." Kataku sambil tertawa. "Trus kamu ketemu karyawanku dimana? Kok tadi bisa datang bareng?"

"Oh, ketemu di depan butik pas aku baru turun dari taxi. Aku liat dia juga baru turun dari motor, aku panggil aja. Tanya butiknya bu Dyan dimana. Trus kita bersekongkol seketika deh."

Tiba-tiba Wendy –orang yang jadi topik pembicaraan muncul dari balik pintu butik, "Bu, mamanya Kesya dateng. Mau jemput dressnya."

Wah, datang lebih cepat dari janjinya. Aku segera bangkit dan membawa tas kertas tadi. "Al, duduk dulu. Aku ada tamu sebentar. Liat-liat aja, kalau ketemu makanan ambil aja." Kataku sambil berjalan ke arah butik.

===

Untung pemesan dress segera pulang setelah menerima barangnya. Karena tidak ada lagi yang janji untuk datang hari ini, aku permisi kepada Rose dan Wendy untuk ke lantai 2 dengan Alesya.

"Nanti kalau ada pelanggan yang mau ketemu ibu, gak usah jemput keatas. Telpon aja, ya?." Kataku pada Rose dan Wendy. Yang langsung di-iyakan secara serentak oleh mereka.

"Kita hari ini tutup cepat aja hari ini. Sekitar jam 5? Hari ini ibu kedatangan teman dari jauh. Ibunya Wendy juga datang dari luar kota. Pelanggan yang janji mau ketemu juga sudah habis. Jadi kita istirahat lebih cepat aja, ya?" Instruksiku pada anak-anak.

Wendy kelihatan senang mendengar instruksiku untuk tutup lebih cepat. "Terima kasih, Bu."

Aku kembali ke belakang, kulihat Alesya sedang asik makan kacang. Ternyata berhasil juga dia menemukan makanan di dapurku.

"Al, kita ke atas aja yuk. Biar bisa selonjoran. Pasti kamu capek kan? Turun pesawat masih mondar-mandir lagi dari rumah ke ruko."

Alesya langsung berdiri dan berjalan ke dekatku sambil tidak lupa membawa sebungkus kacang. "Ya, capeknya baru terasa nih."

Sampai diatas, kami berdua langsung duduk di 'sofa terkutuk' di depan TV. Diberi nama 'sofa terkutuk' karena kalau sudah duduk disana, biasanya langsung malas berdiri lagi. Malah bisa sampai ketiduran. Pokoknya duduk diatasnya membuat kita kontraproduktif alias malas.

"Jadi sejak Mama pergi, kalian berdua pindah kesini?" Tanya Alesya sambil menaikkan kakinya ke atas sofa dan menebar pandangan ke sekeliling ruangan.

"Mmm,...aku pikir sebaiknya begitu. Butik ini juga usaha yang dibangun Mama. Kakak dan mbak Viny juga baru menikah waktu itu, lebih baik kalau mereka bisa punya privasi."

"Iya ya. Lagian lantai 2 juga luas, walau tinggal berdua Adit rasanya masih sepi ya?" Kata Alesya dengan tatapan penuh arti ke arahku.

"Lumayan. Apalagi Adit sekarang mulai sibuk diluar rumah. Sekolahnya makin lama, dia juga ambil kursus dan les. Paling ketemunya waktu makan malam."

"Ga terasa ya, udah gede aja anakku," Alesya menggeleng-gelengkan kepala, mungkin dia masih belum bisa percaya kalau Adit kecil yang dia temui 10 tahun lalu sudah setinggi sekarang.

"Ya, gak terasa waktu berlalu... Jadi malam ini nginep disini aja ya. Datang kesini niatnya memang mau ketemu aku dan Adit kan?"

"Iyaa...gak sepenuhnya karena mau ketemu kalian sih, aku juga ada kerjaan dikit sebetulnya. Sepertinya agak lama. Kira-kira aku bisa kost disini?" Tanya Alesya sambil memegang tanganku.

"Kost? Kamu rencana mau lama banget disini? Berapa hari?"

"Minggu." Alesya memperlihatkan senyum cengengesan. "Aku disini mungkin beberap minggu."

Bukannya dia pulang ke Indonesia karena liburan? Kenapa tiba-tiba jadi ada pekerjaan? Dan bukan di ibukota pula.

"Kamu ada proyek disini? Bukannya kamu baru selesai proyek terakhir? Katanya sekarang libur kan?" Tanyaku bertubi-tubi. Alesya datang saja sudah kejutan besar, apalagi sekarang dia berencana tinggal dengan kami. Mendadak duniaku terasa lebih cerah. Membayangkan ruko yang belakangan sepi karena Adit yang sibuk, sebentar lagi akan jadi ramai karena ada Alesya.

"Iya, proyek dadakan. Terpaksa diterima. Setengah wajib hukumnya." Kata Alesya tanpa berniat menjelaskan secara detail proyek yang dia terima.

"Bisa Yan? Kalo ga bisa, aku rencana kost di rumah aja, mbak Viny juga nawarin tadi. Katanya kak Mahesa sering keluar kota, jadi dia kesepian."

"Gak papa, Al. Disini aja ya. Disini dulu deh. Kan kita udah lama gak ketemu. Ntar kalau kamu bosen, boleh pindah ke rumah." Kataku sambil memeluk tangan Alesya.

"Eits! Peluk-peluk. Seneng banget ya aku temenin disini?"

"Iya, dong. Kan jadi gak sepi lagi kalo ada kamu Al."

"Makanya supaya gak sepi, cari suami."