Luka telah mengajarkan arti kehidupan untukku. Ia mengajarkan tentang bagaiman sulitnya mengatasi rasa sakit yang tercipta, dengan bekas luka yang selalu menjadi pengingat betapa beratnya rasa itu hadir.
-Khaira Salsabila-
******
Revisi [8 April 20]
Bel istirahat telah berbunyi, membuat seisi kelas dengan cepat memasuki alat tulis mereka. Setelahnya mereka melangkah kekantin untuk mengisi perut yang sudah mulai berdemo.
Berbeda dengan Khaira, gadis itu lebih memilih taman belakang sebagai tujuannya untuk mengisi waktu istirahat. Sejak awal ia sudah sangat jatuh hati dengan tempat itu. Karena tempat itu memiliki suasana yang sunyi membuat ia betah berlama-lama disana.
Khaira berjalan menuju bangku yang sudah disediakan, ia membersihkan dedaunan yang jatuh diatas kursi karna letaknya yang dibawah pohon.
Ia duduk di bangku itu, merilekskan tubuhnya yang tegang sehabis ulangan dadakan tadi. Perlahan ia memejamkan mata, seolah menikmati angin yang menerpa kulit wajahnya.
Tepukan dipundaknya membuat Khaira membuka mata lalu menoleh kesamping melihat siap yang menepuk pundaknya tadi. Ia melihat Zidan, teman dari Irza yang sedang tersenyum kearahnya.
"Boleh gue duduk?" Tanyanya sambil melihat tempat yang Khaira duduki memiliki tempat kosong disebelahnya.
"Duduk aja, nggak papa."
Zidan melangkah kekursi kosong itu, lalu duduk disana. Setelahnya keheningan menyelimuti mereka berdua. Sampai suara deheman dari Zidan membuat Khaira menoleh kearahnya.
"Lo nggak marah liat Irza sama cewek lain?" ucapnya sambil melihat wajah Khaira, memperhatikan setiap raut yang cewek itu tunjukkan.
Khaira tersenyum mendengar pertanyaan Zidan. Marah? Bahkan menangis sekalipun tak ada gunanya. Irza tak akan peduli padanya, yang cowok itu lakukan hanya melarang apapun yang Khaira inginkan tanpa peduli apa yang akan Khaira rasakan.
"Gue nggak ada hak buat marah sama Irza. Karna gue selalu yakin kalau dia cuma sayang sama gue."
Bulshit.
Bahkan keyakinan itu telah luntur sejak lama. Sejak hati Khaira merasakan sakit hati yang ditimbulkan oleh laki-laki itu.
"Gue tau Lo bohong, gue bisa ngerasainnya. Gue cuma mau bilang Lo nggak seharusnya bertahan kalau sakit yang Lo dapat. Sejatinya, manusia sulit untuk mengungkapkan apa yang ia rasa, mungkin lo termasuk kedalamnya. Gue pengen Lo ngelindungi hati Lo dari rasa sakit yang bakal datang tanpa obat yang Lo dapat nantinya. " setelah mengucapkan kalimat itu, Zidan bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan Khaira yang termenung disana.
"Gue nggak bisa mundur," ucapnya pelan, pada diri sendiri meyakinkan hatinya bahwa semua akan baik-baik saja.
******
Jam pulang sekolah telah berbunyi, Khaira berjalan meninggalkan kelas menuju gerbang sekolah. Saat ia melewati parkiran, saat itu pula matanya melihat Irza yang sedang memasangkan jaket untuk Riska. Lalu cowok itu naik ke atas motor sport miliknya disusul Riska yang nampak kesulitan untuk naik. Dapat ia lakukan lihat bagaimana lembutnya Irza memperlakukan Riska.
Lalu kedua orang itu meninggalkan area parkir, melewati Khaira yang berdiri tidak jauh dari mereka.
Irza sempat melirik Khaira melalui spion motornya, melihat bagaimana raut sedih yang gadis itu tampilkan.
Setelah melihat kepergian dua orang tadi, Khaira kembali melanjutkan langkahnya menuju halte yang ada disebrang sekolah.
Saat ia sampai di halte Khaira tak mendapat tempat duduk, ia memilih jalan kepojok halte untuk berdiri sembari menunggu angkutan disana.
Tak lama berselang, angkut yang mereka tunggu datang. Membuat ia dan para penumpang lainnya berdesakan ingin mendapat tempat duduk.
Setelah angkutan itu penuh dan sesak, si pengemudi baru menjalankannya. Satu persatu orang menuruni angkot saat mobil itu berhenti ditempat tujuan masing-masing penumpang.
Menyisakan beberapa orang didalamnya, membuat Khaira bebas menghirup oksigen untuk mengisi paru-parunya.
"Bang, kiri depan ya."
Mobil berhenti tepat di tempat yang Khaira tunjuk. Gadis itu langsung turun setelah menyerahkan uang lima ribu kepada kenek angkot.
Khaira melanjutkan langkahnya, menuju rumah yang ada diujung jalan. Saat ia sampai dirumah keheningan menyelimuti dirinya.
Rumah yang tidak bisa memberikan rasa hangat dan nyaman bagi penghuni didalamnya. Namun, rumah itu juga yang menjadi saksi bisu masa kecil dan tumbuh kembangnya.
Khaira membawa kakinya menuju ke dalam rumah. Bi Yayan yang sedang memasak, menghentikan kegiatannya saat mendengar suara langkah kaki. "Non udah pulang, semalem kemana non?" Pertanyaan dari bik Yayan hanya ditanggapi senyum kecut oleh Khaira.
Bik Yayan sudah dianggap ibu oleh Khaira, karna semenjak kejadian itu hanya bik Yayan tempat Khaira membagi duka serta suka yang ia rasa.
Kasih sayang yang tak ia dapat dari mama nya, kini telah ia dapatkan dari figur orang lain.
"Non kenapa mukanya pucat gitu? Non sakit? Udah makan belum?" Pertanyaan dengan nada khawatir, membuat hati Khaira menghangat.
"Nggak bik, Khaira cuma kecapean aja. Khaira ke atas dulu ya."
Bik Yayan mengangguk. Khaira menaiki anak tangga menuju kamarnya yang berada dilantai dua.
Saat tiba dikamar, ia langsung merebahkan tubuhnya keatas kasur yang berukuran Queen size.
Ia menghela nafas pelan sambil menatap langit-langit kamarnya. Hingga suara ponsel memecahkan lamunannya.
Khaira meraba tasnya yang ia lempar kesamping tubuhnya tadi, setelah berhasil menemukan apa yang di cari. Ia segera mengangkat panggilan itu, tanpa melihat siapa yang menghubunginya.
Suara bariton langsung memasuki Indra pendengarannya saat ponsel itu menempel ditelinga kanan Khaira.
"Kamu tadi pulang naik apa?"
"Naik angkot," jawab Khaira membuat cowok disebrang sana menghembuskan nafas lega.
"Kamu kenapa Ja," tanya Khaira khawatir.
Raja, cowok itu memang selalu menghubungi Khaira, jika gadis itu tak pulang bersamanya.
"Nggak papa, aku pikir kamu masih disekolah tadi. Ternyata kamu udah pulang," Balas Raja.
"Kamu lagi dimana," Khaira bertanya lagi. Tanpa mengubris ucapan Raja tadi.
"Lagi nemenin Azka belajar," jawabnya.
Azka merupakan adik Raja, dan cukup dekat dengan Khaira. "Oh, yaudah lanjut sana. Kasian Azka kamu tinggal belajar sendiri."
"Iya, kalau gitu aku tutup dulu ya."
Setelah telpon itu berakhir, Khaira beranjak dari atas ranjangnya menuju kamar mandi guna membersihkan dirinya.
Tak berapa lama gadis bersurai hitam itu keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Ia duduk didepan meja rias, terdiam sejenak. Menatap pantulan wajahnya di depan cermin, yang menampilkan raut sendu dan lelah secara bersamaan.
Ia menghembuskan nafas lelah. Meletakkan handuk yang sedari tadi tergantung dilehernya kesandaran kursi yang ia duduki.
Menyisir rambut hitam legam yang ia miliki dengan pelan dan lambat, setelah selesai dengan aktivitas nya. Ia beranjak dari sana menuju balkon kamarnya.
Menikmati angin sore yang berhembus menyentuh kulit wajah. Khaira memandang langit mendung yang terhampar diatas sana, menandakan hujan akan segera mengunjungi bumi sebentar lagi.
Pikirannya Khaira melayang ke seseorang yang kini entah berada dimana. Ia rindu dengan orang itu.
Hatinya kembali berdenyut kala pikirannya kembali memutar nama orang itu. Ia benci dengan rindu, ia tak suka bila sakit akibat kenangan itu timbul kepermukaan.
Apa kamu baik-baik aja
Pertanyaan itu selalu terpatri dibenaknya ketika ia memandang langit, ia sangat merindu. Tapi obat rindu adalah bertemu. Jika ia bertemu maka ia sudah mengingkari janji yang ia buat.
Ia memejamkan matanya, merasakan sakit itu kembali menggerogoti hatinya.
"Kamu harus selalu senyum Ra."
"Aku janji akan selalu senyum buat kamu."
"Kamu juga harus bahagia."
"Aku janji akan bahagia, meski bahagiaku telah pergi."
"Aku selalu berada di hatimu Ra, kamu hanya harus percaya kalau kita akan bertemu lagi meski semesta tak mengizinkan. Aku mau kamu janji sama aku, kalau cairan ini nggak akan keluar lagi. Karena aku nggak bakal bisa menghapusnya dipipi kamu," ujar cowok itu sambil menghapus air mata yang keluar dari kelopak mata gadis didepannya.
"Aku rindu."
******
Batam, 4 Oktober 2019.