"Naga."
Naga yang mendengar panggilan tersebut hanya diam, menatap ke arah Bela dengan tatapan lekat. Namun, tidak sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Dia hanya memperhatikan gadis di depannya dengan raut wajah datar, membuat Bela yang ada di depannya menjadi ciut dan tidak berani menatap.
"Untuk apa kamu ke sini, Bela?" tanya Naga dengan nada suara dingin.
"Ak …."
"Aku rasa aku tahu kenapa kamu di sini," sela Naga, membuat ucapan Bela terhenti seketika.
Apa yang dia pikirkan, batin Bela ketika melihat senyum sinis di bibir Naga.
"Kamu memang wanita malam, kan? Jadi, tempat seperti ini bukanlah tempat yang asing untuk kamu," ucap Naga dengan tatapan mengejek.
Seketika, Bela yang mendengar terdiam dengan tatapan tidak percaya. Dia tahu jika pria di depannya memang tidak pernah menyukainya. Sejak datang ke rumah dan mengaku sebagai kekasih saudaranya, Naga sudah menatapnya dengan penuh kebencian dan pandangan tidak bersahabat. Namun, dia tidak menyangka jika Naga bisa berpikir begitu buruk tentang dirinya. Tidak asing? Mendengar hal tersebut Bela benar-benar ingin memaki di depan Naga. Ini bahkan kali pertama dia menginjakkan kaki di tempat yang dipenuhi dengan bau alkohol dan kepulan asap. Akan tetapi, Bela memilih diam dan tidak meladeni apa yang baru saja Naga katakan. Dia cukup sadar jika meladeni Naga, pembicaraannya tidak akan pernah berakhir dengan baik.
"Sebenarnya aku sempat berpikir kalau selama ini aku salah, Bela. Tapi, melihat kamu di tempat ini, semua dugaanku ternyata memang benar. Kamu bukan wanita baik seperti yang dikatakan kedua orang tua kamu. Bahkan aku merasa kalau kamu itu hanya menutupi dari mereka. Itu sebabnya tante Sintia dan om Aziel begitu membanggakan kamu, tetapi kalau mereka tahu siapa kamu sebenarnya, aku yakin mereka akan merasa menyesal karena sudah mengadopsi kamu," ucap Naga tanpa perasaan sama sekali.
Bela yang mendengar ucapan Naga langsung mengepalkan tangan dengan rahang mengeras. Kali ini, ucapan Naga terdengar keterlaluan. Bahkan, dia yang selalu mengabaikan setiap ucapan dan penghinaan yang keluar dari mulut Naga, kali ini merasa begitu terluka. Namun, mengingat semua kebencian yang entah dari mana datangnya, Bela memilih menarik napas dalam dan membuang perlahan. Dia harus tetap menahan semua rasa sakit dan emosinya. Dia tidak ingin kebencian yang tidak beralasan tersebut semakin menjadi-jadi. Selain itu, Naga adalah calon suami sang kakak, membuatnya enggan memperpanjang masalah.
"Kenapa, Bela? Kamu merasa kalau ucapanku salah?" tanya Naga dengan bibir tersenyum sinis dan raut wajah mengejek.
"Terserah apa kata kamu, Naga. Aku juga gak akan peduli," jawab Bela dan langsung melangkahkan kaki, meninggalkan Naga.
Naga yang melihat tingkah Bela hanya diam dengan tawa kecil tanpa suara. Tidak biasanya Bela meninggalkannya. Biasanya, Bela akan tetap berada di depannya meski dia terus mengatakan hal yang cukuup menyakitkan untuk gadis tersebut. Namun, kali ini Bela meninggalkannya lebih dulu, membuat Naga menjadi penasaran. Perlahan, dia membuat tubuh dan menatap ke arah Bela berada.
"Ternyata dia ke sini dengan kekasihnya," gumam Naga ketika melihat Bela berdiri di dekat Reno. Hingga dia kembali melangkahkan kaki, menuju ke arah pintu keluar dan memasukkan kedua tangan ke saku celana.
Dasar wanita nakal, batin Naga dengan senyum sinis.
Sedangkan di tempat yang sama, Bela mulai yang sibuk mengurusi Frida menghentikan sejenak. Dia menatap ke arah Naga yang sudah berlalu pergi dan mendesah pelan.
"Sebenarnya sampai kapan dia mau membenciku?" gumam Bela, merasa lelah karena Naga yang terus membencinya. Selain itu, dia sendiri tidak tahu alasan pria tersebut membenci dirinya.
Reno yang sudah selesai membayar menatap ke arah Bela dan mengerutkan kening dalam. "Bela, kamu kenapa?" tanya Reno dengan tatapan lekat.
Bela yang mendengar langsung menatap ke arah Reno dan tersenyum lebar. "Bukan apa-apa, Reno," jawab Bela. "Kita bawa pulang Frida saja," tambah Bela dan langsung diangguki oleh pria tersebut.
***
Naga memberhentikan mobil di depan sebuah rumah megah berlantai dua. Dengan tenang, dia keluar dan mengunci pintu mobil. Kakinya melangkah pelan, menuju ke arah rumah yang terlihat sepi. Pasalnya, kali ini sudah pukul sepuluh dan dia yakin orang di rumahnya sudah tidur semua. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seorang wanita paruh baya dengan kimono tidur berdiri di depannya.
"Mama," gumam Naga, terkejut melihat sang mama yang menunggunya.
"Kenapa kamu baru pulang, Naga? Kamu ke klub malam lagi?" tanya Nita—mama Naga.
Naga yang mendengar menarik napas dalam dan membuang perlahan. Kali ini, dia memilih melangkahkan kaki, menuju ke arah dapur dan mengabaikan sang mama. Baginya, pertanyaan sang mama tidaklah penting sama sekali.
Nita yang melihat reaksi putranya mengalihkan pandangan, mengikuti Naga yang sudah melangkah menjauh. Kakinya mulai terayun, mengikuti sang putra yang sudah berada di dapur.
"Naga, mau sampai kapan kamu suka datang ke klub malam?" tanya Nita dengan cepat.
Naga yang baru meneguk minuman mendesah pelan dan menatap ke arah sang mama lekat. "Ma, aku datang ke sana hanya karena ada perlu saja. Kalau tidak, aku juga gak akan ke sana," jawab Naga dengan suara yang terdengar begitu malas.
"Perlu apa? Menemui kekasih kamu?" tanya Nita dengan raut wajah sinis dan tangan disedekapkan.
"Ma," ucap Naga dengan penuh penekanan, merasa tidak suka jika sang mama mulai membahas kekasihnya dengan raut wajah tidak suka. Dia tahu jika sang mama pasti akan menjelekkan sang kekasih.
"Apa, Naga? Apa mama salah? Mama mengatakan yang sebenarnya, Naga. Sejak kamu berpacaran dengan Jessica, kamu itu suka sekali datang ke klub malam. Dulu, kamu bahkan tid …."
"Cukup, Ma," tegas Naga dengan raut wajah serius, membuat Nita yang masih ingin memarahi putranya langsung berhenti. "Cukup Mama menjelekkan Jessica. Aku tahu kalau Mama gak suka sama sekali, tetapi aku rasa Mama juga gak bisa terus menyalahkan dan memberikan kesan buruk dengannya. Mama bahkan gak mau mengenalnya. Naga minta, sekali saja Mama mengenal dia dan Mama pasti akan menyukainya," tambah Naga.
Nita yang mendengar mendesah kasar dan menatap Naga lekat. "Dan bagaimana kalau mama gak mau, Naga?" tanya Nita dengan raut wajah serius.
"Ma, aku mohon. Bagaimanapun dia adalah kekasihku. Sebentar lagi aku akan menikah dengannya dan dia akan menjadi menantu keluarga kita. Dia wanita yang aku cinta. Jadi, aku harap mama juga bisa menerimanya," ucap Naga dengan tatapan memohon.
"Kalian memang akan menikah, tetapi mama tetap tidak akan menyukainya. Selamanya, mama gak akan pernah menganggap kalau dia adalah menantu keluarga ini," sahut Nita, tidak kalah tegas.
Naga yang mendengar baru membuka mulut dan siap menyela, tetapi niatnya terhenti karena sang mama yang sudah melangkah meninggalkannya, membuatnya mendesah kasar dan meremas rambut kasar.
"Astaga, sekarang aku harus bagaimana biar mama menyetujui hubungan kami," gumam Naga frustasi.
***