Bela membuka pintu kamar. Kakinya melangkah perlahan, menuju ke arah ranjang yang masih tertata rapi. Semalam dia tidak tidur dengan nyenyak, membuatnya langsung membaringkan tubuh di ranjang empuk miliknya. Manik matanya langsung menatap ke arah langit kamar, mengamati gambar pemandangan yang sengaja dia buat di atas. tujuannya hanya satu, ingin menikmati ketika dia berbaring dengan banyaknya pikiran yang mengganggu sepanjang hari. Setidaknya itu akan membuat pikirannya jauh lebih santai dan juga tenang.
Sejenak, Bela menarik napas dalam dan membuang perlahan. Dia mulai memejamkan kedua mata, mengabaikan jika jam kerjanya sudah semakin dekat. Kali ini, jika dia mendapat teguran, dia juga tidak akan peduli sama sekali. Pasalnya, matanya benar-benar tidak bisa dia buka.
"Aku akan tidur tiga puluh menit lagi," gumam Bela tanpa semangat.
Namun, belum juga satu menit dia mengatakan hal tersebut, dering ponselnya terdengar. Bela langsung membuka kedua mata dan mendesah kasar, rasanya kesal dengan seseorang yang sudah menganggu istirahatnya. Dengan malas, dia mengambil tas di dekatnya, mengeluarkan ponsel dan menatap nama sang penelfon.
Reno. Bela yang melihat langsung membelalakan kedua mata lebar. Dengan cepat, dia bangkit dan duduk di tepi ranjang. Tangannya menggeser tombol di layar dan mendekatkan ponsel di telinga.
"Halo, Reno," sapa Bela dengan suara tenang.
"Halo, Bela. Kamu masih di rumah Frida?" tanya Reno dari seberang.
"Aku di rumah orang tuaku, Ren," jawab Bela, sembari mengusir rasa kantuknya. "Ada apa memangnya?"
"Aku kira kamu masih di sana. Kalau masih di sana, aku akan jemput kamu sekalian," ucap Reno.
Bela yang mendengar tersenyum lebar dan mendesah pelan. "Tidak perlu repot, Ren. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pula rumah kamu dan apartemen Frida itu jauh," tolak Bela dengan nada yang cukup lembut.
"Ah iya, Ren. Aku mau bilang juga kalau hari ini aku berangkat terlambat. Tubuhku beneran capek karena semalam Frida terus muntah. Jadi, bisa kamu katakan dengan atasan mengenai keterlambatanku kali ini?" imbuh Bela. Kali ini, dia berharap jika Reno akan kembali membantunya. Namun, jika pun tidak mau, dia tidak akan memaksa pria tersebut membantunya.
"Baiklah, Bela. Aku akan katakan dengan atasan kamu. Selain itu, kalau kamu merasa kurang enak badan atau masih capek, kamu bilang saja dan aku akan bantu kamu ajukan libur untuk satu hari," kata Reno dengan tenang.
Bela yang mendengar tersenyum lebar. "Tidak perlu sampai libur, Reno. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk merenggangkan tubuh dan memejamkan mataku saja. Tapi, mengenai bantuan kamu aku benar-benar berterima kasih," ucap Bela dengan tulus.
"Sama-sama, Bela. Kamu juga gak perlu sungkan denganku. Kalau begitu, aku sudahi dulu. Kamu bisa istirahat dan kalau sudah merasa membaik, kamu datang ke kantor."
Bela yang mendengar nasihat Reno hanya bergumam pelan. Dia mulai mematikan panggilan dan mendesah kasar. Dia baru meletakan ponsel dan siap berbaring, tetapi lagi-lagi terhenti karena ketukan di pintu kamar, membuatnya mengalihkan pandangan dan menatap ke asal suara.
"Bela, boleh mama masuk?" tanya Sintia dari luar kamar.
"Masuk saja, Ma. Gak dikunci," jawab Bela, membuat Sintia yang berada di luar langsung membuka pintu.
"Kamu belum mandi?" tanya Sintia ketika melihat Bela masih dengan pakaian yang sama.
Bela yang mendengar hanya tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang rata. Rasanya ingin sekali mengatakan dengan sang mama jika dia masih ingin beristirahat sejenak sebelum akhirnya berangkat bekerja dan ingin melewatkan sarapan bersama. Namun, dia mengurungkan niat ketika melihat sang mama yang sudah menatapnya lekat, merasa tidak enak jika harus mengatakannya.
"Bela, kenapa diam?" tegur Sintia ketika Bela hanya diam dan memandangnya.
"Aku baru mau mandi, Ma," ucap Bela dengan senyum lebar.
"Kalau begitu, usahakan cepat, ya. Mama tunggu di meja makan. Ada Naga juga. Jadi, jangan buat mereka lama menunggu," sahut Sintia dengan senyum manis.
Bela yang mendengar langsung bergumam pelan dan menganggukkan kepala, membuat Sintia meninggalkan kamar gadis tersebut. Bela yang melihat pintu kamar sudah tertutup langsung mendesah kasar dan berdecak kecil.
"Benar-benar gagal," gerutu Bela sembari bangkit dan melangkah ke arah kamar mandi tanpa semangat sama sekali.
***
"Jadi, kamu dan Jessi sudah merencanakan dengan matang mengenai rencana pernikahan kalian, Naga?" tanya Aziel sembari menatap ke arah Naga lekat.
Naga yang ditanya langsung tersenyum lebar dan menganggukkan kepala, tanda jika pertanyaan Aziel juga merupakan sebuah jawaban.
"Kalau begitu, sudah kamu periksa keseluruhannya?" tanya Aziel kembali.
"Sebenarnya aku dan Jessi sudah memeriksa dan mengatakan desain seperti apa yang kita mau, Om. Hanya saja karena aku takut kalau Jessi merasa tidak suka atau ada yang kurang pas menurutnya, aku memilih mengajaknya untuk melihat lagi supaya dia bisa memastikan semuanya sesuai dengan yang dia mau dan tidak ada yang kurang atau salah sebelum pernikahan," jelas Naga dengan raut wajah bahagia. Dia bahkan begitu antusias dengan persiapan pernikahannya yang akan dilangsungkan tiga hari lagi.
Aziel yang mendengar hanya menganggukkan kepala dengan bibir tersenyum lebar. Ada perasaan lega karena putrinya mendapatkan pria baik sebagai pendamping. Hingga pandangannya beralih, menatap ke arah Jessi untuk memberikan selamat. Namun, niatnya terhenti ketika melihat Jessi tengah diam dengan raut wajah cemas, membuat Aziel mengerutkan kening dalam.
"Jessica, kamu kenapa?" tanya Aziel menegur putrinya.
Namun, Jessica masih saja diam, tidak mempedulikan pertanyaan sang papa. Dia hanya fokus dengan pikirannya sendiri. Bahkan, dia tidak sadar jika sudah mendapat tatapan penuh curiga dari pria tersebut. Hingga Naga yang melihat pun merasa penasaran. Tanganya langsung terulur dan berniat menyentuh kening sang kekasih, memastikan jika kondisi perempuan tersebut baik, tetapi niatnya terhenti ketika Jessica yang tiba-tiba terasadar.
Jessica yang melihat langsung mengerutkan kening dalam dan menatap ke arah Naga lekat. "Kamu mau apa?" tanya Jessica.
"Seharusnya papa dan Naga yang bertanya, Jessica. Kamu kenapa?" Aziel yang mendengar langsung menyahut.
Jessica yang mendengar mengerutkan kening dalam. Memangnya dia kenapa? Rasanya bingung dengan tatapan Aziel dan Naga yang terus memperhatikannya, membuatnya menelan saliva pelan.
"Kamu kenapa diam saja, Jessica? Dari tadi Naga menjelaskan masalah acara pernikahan kalian dan kamu hanya diam. Ada masalah?" tanya Aziel dengan raut wajah serius.
Jessica yang mendengar langsung menggelengkan kepala dan mengalihkan pandangan. Pasalnya, dia tidak ingin sang papa mengetahui isi dalam pikirannya. Dia tahu, dia bisa membohongi semua orang, tetapi tidak dengan sang papa. Pria tersebut seakan bisa membaca pikiran, selalu peka dengan apa pun yang tengah dirasakan putrinya.
Aziel yang melihat reaksi Jessica hanya diam, memperhatikan putrinya lekat. Namun, saat akan menegur, Bela dan Sintia datang, membuatnya menghentikan niat.
Aku akan bicarakan dengannya nanti saja, batin Aziel, mengurungkan niat.
***