Frida mendesis pelan ketika merasakan sakit di bagian kepala. Tangannya mulai terulur ke arah kepala, memijat pelipisnya pelan. Rasanya benar-benar tidak nyaman ketika merasakan efek dari mabuknya semalam. Bahkan, perutnya terasa begitu tidak nyaman sama sekali.
Astaga, aku menyesal karena sudah minum terlalu banyak, batin Frida, masih memejamkan kedua mata.
"Sudah bangun?" tanya Bela yang sejak tadi berada di depan Frida.
Seketika, Frida yang mendengar suara tersebut langsung membuka kedua mata lebar. Mengabaikan rasa sakit dibagian kepala dan juga perut, Frida langsung bangkit dan menatap ke arah Bela yang masih duduk di sofa dengan kaki disilangkan.
"Bela," gumam Frida sembari menelan saliva pelan dan mengulas senyum canggung.
"Sudah membaik, Frida?" tanya Bela kembali. Kali ini dengan raut wajah serius dan mulai bangkit.
Frida yang tahu jika sahabatnya tengah kesal hanya bergumam pelan dan menganggukkan kepala. Dia tahu jika kali ini dia memang salah. Terlalu banyak minum dan mabuk di bar seorang diri. Padahal sudah sering kali Bela memberikan nasihat dan melarangnya masuk ke dalam bar, apalagi sampai mabuk. Hingga Bela berhenti di depannya dan menatap serius.
"Aku sudah siapkan air hangat, Frida. Kamu minum untuk mengurangi rasa mual dan pusing akibat alkohol yang berlebihan," ucap Bela sembari menunjuk ke arah gelas di dekatnya ranjang.
Frida yang mendengar langsung mengalihkan pandangan. Tangannya langsung terulur, meraih gelas tersebut dan menyesap pelan, sesekali kedua matanya melirik ke arah Bela yang masih berdiri mengawasi. Hingga dia menghentikannya dan menatap Bela lekat.
"Kamu di sini semalaman?" tanya Frida dengan pandangan takut. Pasalnya, Bela sudah memasang raut wajah masam dan begitu suram, membuatnya sadar jika gadis tersebut tengah marah.
"Kalau tidak? Meninggalkan kamu sendiri di rumah dan membiarkan kamu mengotori seisi rumah?" Bela malah balik bertanya dan menaikan sebelah alis dan memiringkan kepala.
"Maaf, aku salah," cicit Frida dengan senyum penuh penyesalan.
Bela yang mendengar hal tersebut mendesah kasar dan menatap Frida serius. "Aku sudah berulang kali mengatakan dengan kamu, Frida. Jangan pernah ke bar apalagi minum terlalu banyak. Itu gak akan baik untuk kamu. Ditambah kalau mabuk, kamu bisa melakukan semua hal tanpa bisa berpikir. Semalam saja kamu hampir melepas pakaian di depan Reno, beruntung aku dan Reno mencegahnya. Kalau sampai kamu bertemu dengan orang lain, kamu pernah membayangkan apa yang terjadi dengan kamu, hah?"
Frida yang kembali mendengar ceramaha Bela hanya diam, berusaha untuk tidak menyela. Dia tahu, akan berakibat buruk kalau sampai dia menyela karena Bela akan semakin menceramahi dengan banyak hal. Jujur, kedua orang tuanya bahkan tidak seperhatian Bela, membuat Frida sempat bertanya-tanya. Apakah Bela adalah reinkarnasi orang tuanya?
"Frida, kamu mendengar aku berbicara tidak?" tanya Bela ketika Frida hanya diam dan menjawabnya.
Frida yang mendengar langsung tersadar dan bergumam pelan. "Aku mendengarnya, Bela. Aku juga sudah ingat semuanya. Jadi, aku harap jangan marahi aku lagi. Aku tahu aku salah dan gak akan mengulangi. Kepalaku juga masih pusing dan perutku mual. Kalau ditambah kamu yang memarahiku, aku benar-benar gak akan sanggup," jawab Frida dengan tatapan memelas.
Bela mendesah kasar dan memutar bola mata pelan. "Setiap kali melakukan kesalahan pasti mengatakan hal yang sama," gumam Bela dengan raut wajah masam.
"Baiklah, aku gak akan mengomel lagi. Lagi pula kamu juga sudah dewasa, kamu tahu mana yang baik dan enggak. Jadi, aku gak akan memaksa kamu dan kareana sekarang kamu sudah bangun, aku sudah harus pulang ke rumah. Orang tuaku pasti sudah menunggu dan cemas," putus Bela.
Frida bergumam pelan dan menganggukkan kepala. "Salam untuk tante dan om, Bela," ucap Frida dengan bibir tersenyum lebar.
"Ada sup di dapur. Kamu makan dulu supaya perut kamu menjadi lebih baik," kata Bela dan langsung mendapat anggukan dari arah Frida.
Bela melangkah keluar. Sedangkan Frida yang di kamar langsung mendesah kasar dan menyandarkan tubuh dengan punggung ranjang.
"Hah, pusing," gumam Frida dengan kedua mata terpejam.
***
Bela menatap jalanan yang masih terlihat sepi. Kali ini masih pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Hal wajar jika jalanan masih terlihat sepi dan juga berkabut karena memang hanya beberapa kendaraan yang masih melintasi jalan. Namun, jika Bela pergi beberapa menit lagi, dia yakin pemandangan kali ini tidak akan dia dapatkan. Jalanan pasti sudah dipenuhi dengan asap kendaraan dan juga suara klakson mobil yang saling bersahutan.
Kamu memang wanita malam, kan? Jadi, tempat seperti ini bukanlah tempat yang asing untuk kamu.
Sebenarnya aku sempat berpikir kalau selama ini aku salah, Bela. Tapi, melihat kamu di tempat ini, semua dugaanku ternyata memang benar. Kamu bukan wanita baik seperti yang dikatakan kedua orang tua kamu. Bahkan aku merasa kalau kamu itu hanya menutupi dari mereka. Itu sebabnya tante Sintia dan om Aziel begitu membanggakan kamu, tetapi kalau mereka tahu siapa kamu sebenarnya, aku yakin mereka akan merasa menyesal karena sudah mengadopsi kamu.
Bela yang kembali mengingat ucapan Naga kembali diam dengan kepala bersandar dengan punggung kursi penumpang. "Sebenarnya kenapa dia begitu membenciku? Apa aku pernah menyinggung dia?" tanya Bela dengan diri sendiri.
Namun, Bela merasa jika dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Pasalnya, sejak pertama bertemu, Naga sudah berbicara ketus dan juga selalu menatapnya sinis, membuat Bela semakin tdiak mengerti.
Apa sikapku saat bertemu dengannya pertama kali sudah menyinggungnya, batin Bela kembali, masih mencoba mengingat apa yang sudah dia lakukan. Dia sendiri semakin tidak nyaman karena Naga yang membenci dirinya. Bukannya dia selalu merasa paling disayang dan benar sehingga membuatnya merasa tidak layak mendapat tatapan kebencian, tetapi karena Bela merasa ingin tahu dengan alasan Naga. Selebihnya tidak penting sama sekali.
Taksi berhenti. Bela yang merasakan langsung tersadar. Dengan cepat dia merapikan tas dan membayar sang sopir. Perlahan, dia mulai turun dan melangkah ke arah rumah. Masih sepi. Mungkin kedua orang tuanya juga masih sibuk menyiapkan sarapan atau bahkan masih bersiap untuk bekerja. Hingga dia yang akan memasuki gerbang rumah terhenti karena sebuah mobil yang memasuki rumahnya.
Itu Naga, batin Bela.
Perlahan, dia menarik napas dalam dan mengembuskan lirih. Kakinya kembali melangkah, mengabaikan kehadiran Naga yang akan merusak suasana hatinya. Namun, seperti takdir buruk yang berkehendak lain, Naga keluar dari mobil ketika dia berada di dekat pria tersebut, membuat langkahnya terhenti.
Hening. Bela hanya diam, menatap Naga yang sudah mengamatinya dengan begitu teliti. Bela sendiri merasa tidak nyaman ketika mendapat tatapan tersebut. Hingga Naga menaikan sebelah bibir dan menatap dengan pandangan merendahkan.
"Baru pulang, wanita malam?" tanya Naga dengan tatapan mengejek.
"Apa maksud kamu, Naga?" tanya seseorang dari arah lain, membuat Bela dan Naga mengalihkan pandangan.
***