Prolog
Melihat bintang di atas langit yang begitu gelap, bulan tidaklah hadir untuk menemani bintang yang bisa terhitung dengan jari.
Kutatap beberapa bintang yang terlihat besar dan bersinar terang sambil memejamkan mata ini dengan tenang, ku tarik nafas ku dengan teratur damai.
Lantunan suara jangkrik yang mengisi malam ini terasa nikmat ku rasakan, terasa damai yang ku nikmati. Dengan berbaur semerbak wanginya bunga melati di depan rumahku yang terdorong angin begitu kencang. Aku duduk di bawah pohon mangga yang sudah terisi oleh beberapa ayunan untuk bersantai.
Hari itu adalah hari dimana Aku bertemu dengan calon imam kakak ku Mas Indra yang kedua. Dia adalah sosok pria yang ku kagumi. Pernah dengar cerita dari beberapa santri lama di sini, ia adalah sosok pria yang selalu di kagumi oleh kaum hawa di Pondok Darussalam.
Begitu banyak penggemar yang menyukainya, entah apa yang mendorong keniatannya untuk ingin kenal dekat denganku padahal baru saja saling mengenal beberapa hari yang lalu.
Hari itu adalah pertemuan kedua kami di Pondok Darussalam. Aku adalah anak pindahan dari Jogja yang ingin melanjutkan kembali Santri di sana.
Pertemuan kami sangatlah tidak lazim, banyak sekali santri-santri yang membicarakan kami tentang dekatnya Mas Indra denganku. Aku sendiri pun tidak terlalu peduli, karena tidak lama ia akan menjadi suami Kakak ku.
"Dek, koe paham kan areke Om Jaya" Begitulah Umi berbicara padaku waktu hari itu.
Sebelumnya, aku itu anak yang pendiam diantara keluargaku, aku memiliki saudara perempuan yang lebih tua dariku, ia adalah Kak Tery, kakak yang suka menjahili adiknya sendiri di saat moodnya tidak begitu bagus.
Namun, hampir setiap hari sih dia menggangguku. Aku dan Kak Tery hanya beda 2 tahun lebih muda darinya, Aku berumur 20 tahun sedangkan Kak Tery 22 tahun. Tetapi jodoh diantara kami sangatlah rumit untuk di jelaskan
ย
***
ย
#Bebenah Rumah
Pagi ini di sambut dengan cahaya matahari yang menyelimuti di perkampunganku. Daun pepohonan tertiup angin juga daunan kering yang sudah terjatuh dari pohonnya.
Sejauh mata memandang, Aku melihat beberapa tetanggaku yang melakukan aktivitas seperti hari biasanya, ada yang sedang memanasi motor, menjemur baju, menyuapi anaknya sambil berjalan ke sana ke mari.
Aku duduk di depan teras bersama Kak Tery, sambil memegang buku dan penaku. Umi dengan Abi yang begitu sibuk membereskan rumah karena kami akan pindah ke Jakarta. Kami akan tinggal di sana beberapa tahun, sebab Abi memiliki pekerjaan di sana.
Abi adalah pria yang begitu takut saat pergi bekerja dinas di kantor. Jika meninggalkan kami bertiga di rumah untuk menunggu kepulangannya. Maka dari itu, Abi mengajak kami untuk tinggal bersamanya di Jakarta.
Aku dan Kak Tery sebenarnya sangat berat meninggalkan pendidikan kami di sini karena akan di pindahkan ke pendidikan yang baru juga untuk sementra waktu di sana. Namun, kami tidak berani untuk membantah Abi dan Umi karena pekerjaan mereka.
Melihat Kak Tery yang terus murung dengan wajah yang begitu kesal, Aku memahaminya. Dia akan meninggalkan teman baiknya dan kebiasaannya di rumah, sepertiku.
Dengan sifat Kak Tery yang selalu betatut seperti burung unta, Aku ingin sekali menghiburnya dengan caraku mengajak mengobrol di teras.
"Mbak, wes toh yo, ojo murung wae. Ayuklah bantu Umi Abi biar cepet selese. Murung yo loko gunane toh, Mbak" Aku berusaha menggoyangkan tubuh Kak Tery yang masih kesal itu dengan mengajaknya membantu Umi dan Abi.
Tidak sampai lima menit, Umi keluar dan memanggil Kak Tery dan menyuruhnya pergi ke rumah Mbok Sirah, tetangga Umi yang baik hati itu.
"Tery, tolong panggilkan Mbok Sirah yo!" Kalimat Umi yang memerintah dengan lembut kepada Kak Tery.
Kak Tery mendengus, menggelembungkan pipinya sambil menolak perintah Umi dengan marah, Umi hanya tersenyum mendekati Kak Tery, dan membelai kepalanya yang memakai hijab itu dengan lembut. Aku pun berdiri sambil memeluk buku kesayanganku, di samping Umi.
Aku menatap wajah Umi yang tidak pernah marah dengan anaknya itu. Selalu memberikan kasih sayangnya, begitu lembut, saat Aku atau Kak Tery marah hanya karena hal kecil.
Namun, Umi selalu mengajarkan kami untuk patuh dengan orang tua begitu juga dengan orang lain saat meminta tolong atau bantuan. Tetapi kami lah yang selalu lalai dalam menyikapinya.
Apalagi sewaktu Aku berumur 15 tahun lalu, Aku adalah gadis yang paling nakal di kampungku. Oleh karena itu, selesai Aku lulus sekolah SMP.
Aku di pondokkan oleh Abi agar menjadi gadis baik, dan alhamdulillah, keinginan Abi sudah tercapai selama 4 tahun Aku di pondok, menjadi santri yang baik di sana. Dengan kabar begitu, Abi, Umi, dan Kak Tery menjemputku di pondok saat libur panjang.
Tidak di sangka, sekarang Aku justru meninggalkan pondok itu dan pindah di Jakarta untuk melanjutkan pendidikan agamaku.
Sedikit berat, saat Abi mengatakan hal ini kepada kami, akhirnya orang yang paling berat meninggalkan rumah dan sekolah adalah Kak Tery.
Umi masih menasehati Kak Tery yang sudah di bilang, sudah berumur. Aku pun meledek Kak Tery dengan menyebutkan umurnya yang sudah beranjak dewasa itu. Namun, tetap saja masih mendengus seperti anak kecil.
Kak Tery langsung mendongak ke arahku dan mengejarku sambil berlari yang ingin memberi pelajaran untukku, Umi yang sedikit terhibur dengan kami, ia pun senyum tertawa.
"Umi! Tolong bantu Abi sebentar!" Suara nyaring Abi di dalam rumah, berteriak meminta tolong kepada Umi.
Umi pun menyahut, berteriak kencang ke arah pintu depan rumah. Ia pun kembali berteriak menyuruh Kak Tery untuk pergi ke rumah Mbok Sirah, untuk datang kerumah kami.
Dengan mood sedikit bagus, Kak Tery mengiyakan perintah Umi dan pergi kerumahnya. Aku berlari ke rumah, mengintip seisi rumah itu sudah terbungkus dengan kardus dan beberapa koper milik Abi dan Umi.
Kursi di ruang tamu pun ikut di tutup oleh kain untuk menjaga kebersihan, agar tidak terlalu mengenai debu.
"Abi, opo iyo harus di tutup koyo ngono?" Suaraku lirih, namun terdengar oleh mereka.
Mereka hanya tersenyum melihatku di bilik pintu rumah, sambil menatapku dengan lembut. Tiba-tiba Kak Tery datang dengan raut wajah girang senang.
"Umi! Iku loh, Mbok Sirah wes teko" Teriak Kak Tery dari depan pintu, di sampingku.
Aku pun langsung menengok ke belakang melirik sebentar ke arah Mbok Sirah, terlihat sekali walaupun sedikit jauh mata memandang, Mbok Sirah berjalan dengan sedikit membungkukkan badannya karena sudah menua, kami selalu memberi sedikit rezeki dari Allah untuk Mbok Sirah, ia sudah sesepuh, tapi tubuhnya masih kuat untuk mengangkat kayu bakar, berjalan jauh, dan daya ingat yang cukup bagus.
Seketika Umi dan Abi pun keluar rumah dan mendekati Mbok Sirah, membantu ia masuk ke dalam rumah kami yang barangnya sudah terbungkus rapih.
"Mbok, anu, kita mau pamit, aku lan bojoku pan lungo gawa bocah loro iki yo, Mbok. Aku nitip kunci omah maring Mbok." Tutur Umi sopan kepada Mbok Sirah yang sedang menengahi duduk mereka.
Mbok Sirah hanya tersenyum bercampuran sedih, karena kami akan tinggal lama di Jakarta. Mbok Sirah sudah ku anggap sebagai Nenek buyut kami, yang selalu mengajarkan kami lika-liku kehidupan pada zaman dahulu. Mbok Sirah hanya memberi saran kepada Umi dan Abi untuk selalu menjaga ku dan Kak Tery.
Kak Tery yang sedang duduk di samping Abi menitikkan air matanya, sebab kelak di Jakarta tidak ada orang yang seperti Mbok Sirah, beliau sangat menyayangi kami seperti cucunya sejak kami kecil.
Mbok Sirah hidup sebatang kara, ia di tinggalkan oleh suaminya sejak kelahiran anak pertamanya, dengan setianya Mbok Sirah dengan suaminya, ia tidaklah lagi berkeinginan untuk menikah, Mbok Sirah selalu menjaga dan merawat anaknya sendiri, dengan hasil jerih payahnya sendiri.
Namun, suatu hari terjadi kepada Mbok Sirah, anak bungsunya meninggal di usia 10 tahun karena penyakit jantung. Itulah mengapa, Umi dan Abi begitu menyayangi Mbok Sirah yang hidup sebatang kara.
Bukan hanya karena kasihan, Umi dan Abi pun menganggapnya sebagai pengganti orang tua mereka, Ibu-Bapak Umi dan Abi sudah meninggal sejak lama.
Jadi, Umi selalu menganggapnya sebagai orang tua keduanya.
"Nduk, koe ojo klalen sholat lan sunnahe kanjeng nabi ya, nduk. Mbok ora pengen, sampean klalen maring kwajibane." Pesan nasehat Mbok Sirah kepada Umi dan Abi.
Kami pun mengiyakan pesan terpenting dari si Mbok, karena kewajiban kami sebagai orang muslim harus mematuhi perintah Allah SWT.