Ternyata Inilah Jakarta!
Setelah sekian lama Aku tertidur, badan terasa seperti patah semua, sakit, tapi tidak berdarah.
Perjalanan menuju Jakarta ternyata penuh dengan perjuangan, sampai Aku muntah, mual tidak jelas, mood gak jelas, nafsu makan pun tidak selera sama sekali.
Aku bangun dari pangkuan Umi dan melihat di sekelilingku. Tengok ke depan, Abi yang sedang tertidur, tengok ke samping Umi tertidur juga, dan tengok ke belakang Kak Tery sedang membaca buku novelnya.
Aku pun kembali melihat pandangan di depan, terlihat sekali lampu yang warna warni di luar sana, saking penasarannya Aku membuka jendela mobil tersebut.
Udaranya begitu sejuk di malam hari, rasanya begitu menenangkan saat ku buka jendelanya.
Aku sangat menikmatinya sambil memejamkan mataku. Beberapa menit kemudian, ku buka mataku dengan perlahan, dan WOw! gedung-gedung begitu tinggi dengan lampu-lampu yang menyala begitu indah, hiasan di setiap pinggiran jalanan, ramai dengan berbagai orang, banyak sekali keindahan di sini.
Aku langsung berbalik badan dan berteriak kepada Kak Tery, "Mbak! Iku loh jenenge desa opo, kok yo apik tenan seh yah?" Seruku sambil menunjuk di berbagai gedung kota.
Kak Tery pun langsung melihat yang ku tunjukkan dan menatap begitu lama di setiap gedung yang kita lewati.
"Iki opo wes anjog Jakarta, opo iyo? Niki mah bukan desa maning, Dek. Coba gih koe takon Abi." Kak Tery balik tanya padaku dan melemparkan pertanyaanku kepada Abi, aku sedikit jengkel kepada Kak Tery, dia selalu saja asyik sendiri jika sudah melengket dengan novel favoritnya.
"Abi, tangi bi, tangi!" Kataku sambil menggoyangkan pundak Abi agar terbangun dari tidur pulasnya.
Mendengar teriakkan Aku, justru telah membangunkan Umi yang tidak ku bangunkan, Abi masih tertidur pulas bahkan ku kutik sedikit di bagian pinggang pun tidak ada respon sama sekali.
Mungkin penyakit kebo mati Kak Tery juga menurun kepada Abi yang tidur seperti mati suri, "Opo dek, koh koe teriak-teriak. Gak sopan loh!" Kata Umi sambil menutup mulutnya yang menahan kantuk.
"Iki loh Umi, abi tilem koh iyo koyo kebo mati" Kesalku sambil bersedekap, umi hanya tersenyum seperti biasanya, melihat Aku marah ia hanya bermodal senyum sambil mengelus kepalaku.
Aku pun menatap Umi sebentar, "Opo?" Tanya Umi sontak mengagetkanku yang ingin menatapnya lebih lama, aku merasa heran dan bingung saja, umi beda dari Ibu-ibu yang lain.
Biasanya, jika anaknya kesal atau marah yang hanya karena masalah kecil, ibu itu pasti akan menasehatinya dengan kesal juga.
Tapi beda dengan Umi, ia selalu sabar dan suka sekali tidak memperlihatkan emosinya.
"Umi, adek arep takon. Koh Umi iso seh nggak pernah jengkel maring Mbak Tery mbuh Adek? Padahal yo Adek sering loh Umi, liat Ibu-ibu lain seneng marahin areke." Tanyaku dengan penuh pertanyaan seribu bahasa kepada Umi, berharap jawaban itu akan menjadi contoh terbaikku, kelak di masa depan.
"Dek! Kwajiban Umi iku cuma sabar lan ridho ngasuh koe pada, mongkone Umi iyo kudu sabar toh lek, yen koe jengkel, mbuh tukaran maring Mbak mu. Umi cuma di tugaske menasehati Adek lan Mbak Tery. Mugo-mugo dadi anak sholehah, berbakti maring wong tuo. Iku," Jawaban Umi senantiasa membuatku kagum, simple, namun jelas di mengerti.
Itu sebabnya Aku tidak pernah melihat Umi marah ataupun kesal dengan seseorang maupun anaknya.
"Oh. Iyo wes, adek pan dadi bocah sing sholekha maring Umi karo Abi yah Umi." Kata manisku keluar begitu saja dan sambil memeluk Umi, aku pun kembali teringat dengan gedung-gedung di luar sana.
Melihat Umi yang masih memelukku, aku mulai bertanya langsung padanya.
"Mi, iku jenenge desa opo kota, mi? Koh akeh banget gedung duwur koyo ngono." Kataku masih di pelukkan Umi.
Sementara Umi langsung melepaskan pelukkanku dan melihat di jendela mobil.
"Owalah rek, iki yo wes anjog kota Jakarta!" Teriak Umi membuatku tertegun, kaget begitu juga dengan Kak Tery.
"Opo seh Umi, ngagetin aja!" Teriak Kak Tery kesal dengan Umi, aku hanya tertawa melihat Umi yang jauh lebih deso dibanding denganku.
Ternyata Inilah Jakarta. Jakarta tidak seperti yang orang bicarakan, katanya Jakarta itu keras, banyak orang jahat, begitu juga tempatnya seram-seram. Namun, dengan yang ku lihat justru Jakarta penuh dengan keindahan lampu yang berwarna warni, Mall yang memiliki gedung tinggi, ramai dengan berbagai orang.
Terlihat meriah di banding dengan kampungku, kalau sudah maghrib yah sepi, kaya kuburan.
Aku pun tidak merasa kecewa sama sekali saat Aku melihat langsung tempat Jakarta seperti ini.
***
1 jam berlalu, akhirnya Aku dan keluarga sampai di rumah sementara, yang biasa di sebut adalah kontrakan. Abi yang sudah bangun, Umi yang bersiap-siap turun dari mobil, kak Tery yang masih asyik membaca buku, sedangkan Aku masih menunggu Umi turun, huehehe.
"Mbak, wes toh. Moco buku wae, iki bantu Abi manjingno koper karo tas-tase." Abi berteriak di bilik pintu bagasi mobil, sambil mengangkat koper yang di bawanya.
"Iyo-iyo sabar, adek Mery minggir disek. Mbak arep mudun" Kata Kak Tery sambil menyuruhku untuk bergeser.
Dengan membawa koper dan barang lainnya, aku dan Umi hanya bersiap untuk memasuki rumah baru yang akan di tinggal sementara waktu, kemungkinan hanya 4 tahun di Jakarta.
Kak Tery yang masih berusaha menurunkan satu koper, ia kuwalahan karena ribet dengan buku yang Kak Tery pegang.
Abi masih melihat usaha Kak Tery yang masih berusaha menurunkan koper itu, aku hanya berteriak menyemangati begitu juga dengan Umi.
Abi tertawa melihat wajah Kak Tery yang begitu kesal melihatku tidak membawa barang sebiji-pun. Ia mendengus kesal, karena tidak ada seorang pun membantunya.
Akhirnya Umi tidak tega melihat Kak Tery kesusahpayahnya itu, umi menyuruh Abi untuk membantunya.
"Weleh, Mbake kesel opo!" Ledekku sedikit menyeringai.
Kak Tery tidak mengeluarkan sepatah kata denganku, ia hanya menggelembunhkan pipinya sambil membuka tas yang Kak Tery bawa.
Aku melirik Umi, sambil menarik gamisnya "Umi, kuncine ngendi? Moso iyo ngenteni Ibu kontrakan teko." Dengan mata melirik tajam, umi membalikkan pandanganku dan berteriak ke Abi.
"Bi,, anakmu iki takon kunci omahe ngendi, sampean nyekel opo ora?" Teriak Umi bergemang memasuki rumah.
Aku dan Kak Tery sempat kaget mendengar suara gemangan Umi tadi, umi hanya tertawa saat suaranya itu bergemang begitu keras.
Bisa jadi, suara itu terdengar oleh tetangga baru kami karena jelas seperti berteriak membangunkannya.
Ternyata Abi sudah menyimpan kunci rumah itu di sakunya. Abi pun mulai mendekat di depan pintu dan membuka rumah baru kami.
Cetak! Krieetttt..
Suara pintu bergemang seperti teriakan Umi barusan. Pintu tersebut terbuka lebar, aku hanya melihat isi rumah itu kosong, tidak ada satu barang pun yang tersisa.
Walaupun bersih, tidak ada kotoran sama sekali. Aku sedikit nyaman dengan rumah baru ini.
Abi berusaha mencari tikar gulung, kak Tery berusaha mencari ponselnya, dan Umi sedang membayar supir tersebut karena sudah membantu kami sampai ke tujuan dengan selamat.