Masa Harus Aku?
Malam ini menyelimuti Kota Jakarta, aku senantiasa senang berada di sini. Sudah maghrib pun masih ramai berbagai anak kecil yang berlarian, ibu-ibu nongkrong di depan rumahnya masing-masing dan pemuda-pemudi yang berjalan kesana-kemari.
Aku, kak Tery dan Abi baru saja sampai rumah dengan berjalan kaki 500 km dari jalan raya, karna di depan rumah kami hanya bisa di lewati dengan satu arah mobil saja. Maka terpaksa kami melanjutkannya dengan berjalan kaki.
"Oh iyo, bi kok tas warna ireng ora di gowo?" Tanya Kak Tery membuat Aku berpikir sejenak.
"Iku kan tas anggo Om Jaya, moso di gowo meneh, Mbak!" Kata Abi sambil memandang kedepan, fokus pada jalannya.
"Loh! Isine opo toh. Yen ora salah kui koyone surat-surat bi." Lanjut Kak Tery.
Mereka berdua menyisakan berjalan sembari mengobrol. Sedangkan Aku hanya melihat-lihat orang di sekitar yang sepanjang jalan memandang kami dengan penuh pertanyaan. Namun, aku hanya membalas senyum manis kepada mereka yang memandang kami sebagai orang asing.
Benar, selain tetangga baru. Kemungkinan mereka bertanya-tanya dengan kedatangan kami. Maka dari itu Aku hanya bisa mengodekan dengan senyum yang artinya menyapa mereka secara tidak langsung.
Setelah sampai di depan rumah, aku melihat Umi yang sedang sibuk menyapu di teras rumah. Kelihatan wajah yang kelelahan dan suram itu. Aku jadi merasa bersalah karena meninggalkan Umi sendirian di rumah dan membereskan semua barang kami.
Aku pun langsung berlari menghampiri Umi yang masih menyapu dengan pandangan fokusnya.
"Umi,," Teriakku sontak membuat Umi mencari sumber suaraku.
"Eh, adek wes balek. Syukurlah" Ucap Umi lega.
"Iyo, maaf yo mi. Adek ora iso bantu Umi beres-beres omah iki" Kataku sambil meraih tangan Umi untuk bersalam.
Kak Tery pun tersenyum dan melakukan hal yang sama denganku dan meminta maaf juga kepada Umi karena sudah meninggalkannya sendirian.
Umi tersenyum dan mengiyakan permintaan maaf kami, akhirnya kami masuk rumah bersama-sama. Saat pintu itu di buka, rumah kontrakan itu sudah terisi penuh layaknya rumah berpenghuni.
Ada beberapa barang baru seperti TV, lemari, sofa, meja makan, kulkas dan berbagai badang lainnya. Semuanya lengkap, aku tersenyum dan melihat kamar bagian Aku dan Kak Tery.
Kamar itu juga sudah terisi dengan meja belajar, lemari baju, dan kasur yang empuk. Kak Tery langsung menyerobot masuk dan berjingkrakkan di atas kasur.
"Yeey! Akhirnya ada kasur empuk juga" Kata Kak Tery sambil duduk bergenjotan.
"Weleh, sok-sokkan bahasa Indonesia, mbak Tery, mbak Tery" Aku hanya menggelengkan kepala sambil meraih kursi yang ada di kamar kami.
Aku pun duduk sambil berkaca dan tersenyum sendiri, aku masih membayangkan waktu di rumah Om Jaya. Terasa memiliki kerabat baru yang mendadak datang seperti tahu bulat. Pikirku.
"Cie! Adek ngguyu-guyu dewek iku. Hehehe, ono opo toh?" Ledek Kak Tery mendadak membuyarkan semua bayanganku di rumah Om Jaya.
"Opo seh Mbak" Kataku memerah.
Kak Tery mendekat dan duduk bergeser ke arahku, ia meraih bahuku sambil membisikkan sesuatu di telingaku.
"Dek, koe esih inget po ora karo arekke Om Jaya seng jenenge Indra?" Tanya Kak Tery berbisik kepadaku.
Aku langsung berubah ekspresi dan merasa deg-degan di dada, serasa memiliki sesuatu yang susah untuk di katakan. Aku tiba-tiba merasa canggung dan ingin menghindari pertanyaan tersebut.
Aku langsung menempiskan tangan Kak Tery yang menyender di bahuku. Aku pergi, meninggalkan Kak Tery yang masih berseru untuk bergosip.
Lalu, saat Aku keluar dari kamar. Tiba-tiba Abi dan Umi memanggilku yang ingin berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan badan.
"Adek! Mrene,," Kata Abi sembari melambaikan tangan.
"Iyo, ono opo bi, umi." Kataku sedikit gugup, dan berjalan menghampiri mereka. Tanpa ragu, aku langsung duduk di sofa baru dekat dengan Umi.
"Piye pendapatmu tentang arekke Om Jaya?" Tanya Abi langsung menatapku lamat-lamat.
"Hah!" Satu kata yang keluar, dengan rasa canggung muka di wajahku langsung memerah. Aku langsung begitu gugup dan gemeteran di tangan.
"Jawab wae, dek." Kata Umi sontak membuatku bingung untuk menyampaikannya.
Entah mengapa, hatiku sedikit gelisah mendengar pertanyaan mereka. Dan entah itu maksudnya apa. Aku merasa bahwa Aku di lamar secara tidak langsung oleh kedua pihak keluarga.
"Abi takon koyo ngono, karna Abi pengen jodohken Mbakmu karo salah siji arekke Om Jaya." Ucap Abi.
Deg! Tiba saja hatiku merasa seperti ada yang menyayat dengan seribu pisau di hati ini. Entah mengapa, justru Aku merasa cemburu mendengar Abi mengatakan bahwa Kak Tery lah yang ingin mereka jodohkan, bukan Aku.
Aku mengerti, mungkin karna Kak Tery umurnya lebih tua dariku. Tetapi mengapa harus di antara anaknya Om Jaya? Bukankah mereka juga hanya sebanding setahun darinya.
Refleks wajahku langsung suram mendengar bahwa Kak Tery yang akan di jodohkan oleh anaknya Om Jaya, dan kemungkinan yang Abi bawa di tasnya adalah CV Ta'Aruf Kak Tery.
Bisa di bilang juga, bahwa yang Abi maksud adalah Mas Indra. Tidak mungkin kan jika yang mau melamar kak Tery itu adalah Putra.
"Maaf Abi, umi. Adek capek, adek pan istirahat aja. Yen soal koyo kui, Abi tekani wae Mbak Teryne. Luih jelaskan" Kataku sambil bangkit dari tempat duduk dan menghampiri kamar mandi dan ambil air wudhu.
Mereka hanya terbengong kebingungan menatapku dengan lamat-lamat. Aku hanya bisa melarikan diri dari pertanyaan yang seharusnya tidak Aku dengar.
Aku langsung menutup pintu kamar mandi tersebut dengan rapat-rapat sehingga serasa tidak ingin mendengarkan sesuatu yang membuat air mata berhargaku terjatuh dengan percuma.
Aku diam seketika, terdengar rintikkan air hujan di atas atap genting yang mau menyirami malam ini dengan dinginnya udara. Rasanya langit pun seperti ingin menemaniku untuk menangis pilu di dalam hati ini.
Mengapa harus Aku, yang sebagai untuk penilaian pasangan Kak Tery.
Aku terlalu berpikir berlebihan sehingga membuat dada ini terasa sakit dengan sendirinya, begitu juga dengan tenggorokan seperti tercekik seketika.
Aku tidak suka dengan rasa ini, hanya sekali merasakan suka pada seseorang. Namun, sakitnya seperti tertusuk oleh jarum yang menyerang secara bersamaan.
Secara tidak langsung Aku tidak bisa lagi memendung semua rasa ini dengan cara menahan air mata yang sudah mengujung di kelopak mata.
Aku menangis dengan menahannya supaya tidak terdengar oleh mereka, aku hanya takut saja bahwa rasa ini akan menimbulkan fitnah yang tidak di ridhoi oleh Allah. Aku kecewa dengan diri sendiri, dan merasa bersalah kepada Allah SWT. Yang telah melupakan penciptaannya.
Aku memendamkan diri dengan rasa ini di kamar mandi, setelah rasa ini membaik, baru Aku melanjutkan mandiku sekaligus mengambil air wudhu.
15 menit berlalu Aku di dalam kamar mandi. Akupun keluar dengan rasa yang benar-benar sudah membaik. Aku berjalan menuju kamar sambil melihat di ruang tamu, ternyata Abi dan Umi sudah masuk ke kamarnya sedari tadi.
Sembari menatap kamar Umi, aku bergegas masuk ke kamarku dengan berlari gugup. Aku melihat Kak Tery yang sedang asyik membaca buku Novelnya, akhirnya Aku merasa lega juga dengan ketidaksadarnya Kak Tery yang menatapku walaupun sebentar.