Setelah pertandingan voli, lompat jauh dan badminton yang sedang di mulai, aku masih duduk di tempat yang sama. Belum lagi keluar dari area tempat penonton, Ara dan Putri sudah merasa jenuh sejak tadi.
Mereka masih mengeluh karena terik panasnya matahari yang mulai muncul di permukaan paling tinggi. Akhirnya Aku memutuskan untuk menggoda Ara yang sudah memiliki pendamping hidup, In Syaa Allah.
"Ra, kamu bukannya udah punya calon? Kenapa dukung pria lain, hayo!" Kataku menyeringai kecil.
"Hah? Hubungannya apaan Mer, aku kan dukung sekolah kita, mer" Katanya mengeryitkan dahi, Ara langsung bangun dari tempat duduknya dan dia melangkah menuju ke arah pohon cery yang sedang berbuah itu.
"Ngapain kau Ra?" Tanya Willy heran.
"Enggak papa, aku cuma lagi liat buah cery aja.
"Eleh, ngibul kau yah. Orang itu baru mau berbuah kok" Putri mulai mengelak.
"Hooh!" Lanjutan dariku, mengangguk.
"Hehehe.. Coba liat sana." Ujar Ara sembari menunjukkan jari telunjuknya ke arah jam 10.
Kami pun dengan enggannya langsung mengarahkan pandangan ke arah yang di tunjuk oleh Ara tadi. Dan ternyata di sana ada beberapa segerombolan anak sekolah Tunas Bangsa yang akan bertanding dengan kelas sebelahku.
Mereka terlihat senang, dan begitu juga rasa ingin bertandingnya itu sangat terlihat di mataku. Di antara mereka selain tampang yang cukup lumayan untuk di bilang ganteng, tapi menurutku mereka tidaklah lebih dari Mas Indra yang ku kenal di rumahnya bulan lalu.
Willy acuh tak acuh dengan anak Tunas Bangsa, katanya dulu anak Tunas Bangsa hampir mencelakai salah satu santri wati disini. Selain melecehkan sekolah mereka juga selalu menghujat Pondok Persantren ini.
Tidak heran, jika salah satu temanku sangat membenci mereka. Tetapi Aku hanyalah santri baru disini, tidak akan mungkin Aku marah dengan mereka kan.
Ara masih berdiri di bawah pohon tersebut dan masih menatap mereka, entah apa yang di pikirannya itu sehingga mata berkedip pun tidak ia lakukan. Putri tiba saja langsung menepuk pundakku dan membisikkan sesuatu, aku mengerti.
Akhirnya Aku dan Putri menyelinap masuk kelas sebelah untuk bersembunyi. Lela lengah sehingga tidak sadar saat Aku dengan Putri mengumpat di suatu tempat. Sedangkan Willy memerhatikan kami, tapi Aku sudah mengisyaratkan bahwa dia tidak akan memberitahu Aku dan Putri.
Aku mulai mundur dan terus tetap mundur sembari memandang Lela dan Ara yang masih tidak memperhatikan kami menyelintis pergi dari sisi mereka.
Di luar nalar, tiba-tiba Aku menabrak seseorang yang ada di belakangku. Aku berpikir bahwa itu adalah Putri yang ada di belakangku.
"Putri, ayo cepat sedikit" Bisikku pelan sambil memperhatikan pandangan Lela dan Ara.
Willy langsung kaget melihatku dan berbicara dengan isyarat mata. Namun, aku sama sekali tidak memahaminya. Tujuan dan maksud dia tidak menyakut di akalku.
Aku mulai berbalik badan dan mendongak wajahku ke atas, ternyata ada Ustadzah yang sedang berdiri persis di belakangku.
"Sedang apa kau?" Tanyanya lembut.
"A..Aku, aku mau ke toilet Umi." Kataku sembari berdiri.
"Bukannya toilet santri wati ada di sebelah kamar santri wati? Kenapa kamu mengendap-ngedap?" Tanyanya ragu.
Bahkan Aku sampai bingung ingin menjelaskan seperti apa. Tidak mungkin jika Aku menjelaskan mau pergi ke kelas sebelah. Karena peraturan di sini ialah tidak di perbolehkan untuk masuk ke ruangan sembarangan.
Ustadzah masih menatapku lamat-lamat dan masih menungguku untuk menjawabnya. Seketika Putri datang di waktu yang tepat, ia membantuku menjelaskan bahwa Aku tidak sengaja ingin masuk ke kelas sebelah, karena Aku adalah santri pindahan.
Akhirnya Ustadzah mengiyakan jelasan dari Putri dan Aku pun langsung meminta maaf karena hampir melanggar aturan di Pondok Pesantren ini.
Kami langsung kembali ke tempat semula, di mana Aku duduk bersama Lela dan Willy. Lela yang melihat Aku bermuka kusam kusut langsung menertawaiku karena membuat diriku malu.
"Kamu kerjain Aku yah Put!" Tanyaku kesal.
"Mana ada, hahaha." Katanya sembari tertawa.
"Lagian kamu mau aja di ajak Putri, diakan biang kerok suka menyelinap masuk kelas sebelah. Haha" Jelas Lela tertawa.
"Pantesan, dia lebih jago ketimbang Aku. Aku belum sampai sudah kena duluan. Ah Putri!" Teriakku sembari memukul pundaknya.
Putri tidak marah denganku, justru semakin Aku memarahinya. Ia semakin besar tertawanya pula.
"Santri wanita mana pantas tertawa seperti itu" Sindir sosok paruh baya yang membelakangiku, tiba-tiba ikut nimbrung pembicaraan kami.
Aku seperti mengenal suara itu dan sangat paham betul siapa dia, tapi tidak mungkin. Mana bisa dia di Pondok Darussalam yang sama demganku.
Aku menatap Ara dan Ara menatap pria di belakangku. Walaupun Aku penasaran dengannya, tapi Aku sama sekali tidak panasaran sosok pria tersebut.
"Bukankah ini murid baru? yang pernah memberikan jawaban pada Ustad sewaktu itukan." Lanjut suara teman dengan pria tersebut.
Aku masih membelakangi mereka, kakiku terasa kaku ingin berbalik badan bahkan susah untuk menengok ke belakang. Akhirnya Aku hanya menganggukkan kepalaku dan pergi menarik Willy yang berdiri sama persis di sampingku membelakangi mereka.
Walaupun Willy menengok dan menatap mereka Aku langsung Acuh dengan kehadirannya. Willy melongo saat ku tarik tangannya dan ikut bersamaku ke toilet wanita.
Tidak ada protes di antara Putri, Lela dan Ara. Mereka hanya tersenyum dan menebarkan pesonanya terhadap pria tersebut. Willy bahkan sampai marah denganku hanya karna ajakkan dariku yang tanpa sadar.
"Ck, ngapain kesini mer. Aku kan lagi menyambut tadi. Bukannya kamu juga nunggu kehadirannya" Tanya Willy sedikit kesal.
"Hah? Emang siapa mereka. Aku hanya menjaga pandanganku. Kenapa kamu kesal Will" Jawabku sembari menyalakan air keran.
"Haiish, kau tak kenal dia kah? Dia Indra, Mer." Katanya ngegas.
Aku langsung tertegun sembari mencuci tangan dan Aku berpikir bahwa namanya sama dengan nama dia. Yah! Mas Indra. Apakah benar dia adalah orang yang sama? Bagaimana bisa? pikirku.
Sosok pria yang selama ini Aku ingin lupakan ada di dekatku, dan dia ada di sekitarku. Lebih lagi yang menjadikan sebuah pertanyaan besar ialah, bagaimana mungkin dia juga yang bertanya soal di masjid itu? Sungguh petunjuk Allah sangat tidak bisa di sangka dan di duga.
Aku langsung berbalik badan dan bertanya ciri-ciri pria itu kepada Willy, dan Akhirnya benar saja. Semuanya sama. Hanya Akulah yang bodoh, selama ini tidak bisa mengenalinya.
"Will, ayo antarkan Aku bertemu dengannya." Responku langsung cepat setelah Willy selesai menjelaskannya.
"Bodoh! Bagaimana bisa. Bukannya kamu sendiri yah yang menghindar darinya. Kamu pula yang mengajakku kemari. Sekarang setelah Aku cerita tentangnya kau langsung ingin bertemu dengannya." Jelasnya sembari berkaca membenarkan hijab.
Aku merenung dan merasa sedih, benar yang di katakan oleh Willy. Akulah yang menghindar tadinya. Karna Aku pikir bukan Mas Indra yang ku kenal, sekarang pertandingan sepak bola sudah di mulai.
Kemungkinan Mas Indra juga ikut bertanding.