Setelah mendapat bantuan dari beberapa santri akhirnya Lela di bawa ke kamarnya, ia di baringkan ke kasur. Seketika Ustadzah datang dengan rasa cemas sembari membawa minyak kayu putih begitu juga dengan air minum.
Ustadzah bertanya kepadaku dan ketiga teman sekamarku. Walaupun katanya, Lela itu sering terjatuh pingsan tanpa sebab tapi di periksa ke Dokter pun tidak ada masalah dalam tubuhnya.
"Bagaimana ini terjadi Putri, Ara, Mery dan Willy. Kalian kan selalu bersama sama Lela? Apa yang terjadi pada dirinya." Kata Ustadzah sembari mengoleskan minyak kayu putih di bagian dekat hidung.
Kami hanya menggelengkan kepala dan menjelaskan detailnya. Apa yang terjadi pada Lela adalah di luar nalar kami. Bahkan Aku sampai kaget setelah melihat Lela yang sudah tergeletak di lantai.
Ara pun berjalan menghampiri Ustadzah sambil membisikkan sesuatu padanya. Aku sedikit resah, takut terjadi apa-apa pada Lela dan penasaran juga dengan bisikan Ara.
Tiba-tiba Ustadzah berdiri dan keluar dari kamar kami. Ara tersenyum dan menatap kami yang masih penuh dengan berbagai pertanyaan.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul jam 5 sore. Setiap santri wati akan bergantian ke kamar mandi untuk membersihkan badannya masing-masing.
Sebelum jam 6 sore semuanya sudah bersiap untuk sholat maghrib berjamaah di masjid dekat asrama.
Lela sudah terbangun dari pingsannya. Namun, ia tetap diam dan tidak mau menjelaskan apa yang terjadi padanya.
Aku dan Ara sedang duduk di bawah pohon mangga menatap Lela yang terlihat suram rasanya begitu canggung saat membuka percakapan bersamanya.
Bagaimana mungkin Lela pingsan tanpa memberikan aba-aba sehingga bisa atau tidaknya kami mengetahuinya.
Dan tidak lama Willy datang di waktu yang tepat, dia lah si biang pemecah kesepian. Maka dari itu ia pasti akan menegur Lela yang masih terdiam kaku.
"Woi, diam-diam bae. Mandi napa!" Teriaknya sembari menuruni anak tangga.
"Kamu duluan gih dah." Kataku sedikit ketus.
"Oh iya, La. Kamu tuh klo mau pingsan bilang dulu dong sama Aku. Jadinya kan Aku bisa nganter kamu ke ruang UKS." Lanjut Willy sembari menepuk pundak Lela.
"Gila kali klo pingsan harus lapor dulu." Ujar Ara kesal.
"Ah? Hehehe. Barang kali kan bisa, ra. Kaya di film-film gitu" Katanya sedikit menyengir.
"Udahlah, banyak banget rumpinya. Nanti klo ketinggalan sholat aja baru kena tau rasa tuh." Kataku menengahi pembicaraan mereka.
Akhirnya salah satu di antara kami pergi untuk mandi terlebih dulu. Jatah setiap perkamar ialah 1 kamar mandi, 1 kamar santri. Jadi kami lebih mudah untuk bergantian tanpa harus berebutan terlebih dulu.
Ara yang sedari tadi masih duduk di bawah pohon mangga sembari membaca buku yang harus ia hafalkan. Kini bangkit dari duduknya dan berpindah tempat di mana dia suka duduk menyendiri.
Aku mengikuti dari belakang, sehubung Willy sedang mandi, Putri dan Lela masih menunggu di tempat. Aku akan menemani Ara kemana dia langkahkan kakinya terhenti.
Setiba di tengah jalan, justru Aku melihat sekumpulan anak-anak yang tadi siang menggangguku dan Willy. Ara pun menatapnya ternyata.
"Ra!" Panggilku.
"Mery, sejak kapan kamu ada di situ?" Tanya balik Ara membuatku sejenak untuk terdiam.
"Tidak usah pedulikan Aku kapan datengnya, kamu lihatkan disana ada mereka, ra." Kataku sembari menunjuk ke arah sekumpulan pria.
Lalu Ara mengikuti arah yang ku tunjuk, ia menatapnya sejauh mata memandang. Di sore hari mereka masih ada di area Pondok ini, pasti ada yang mereka cari disini.
Lantas Ara mulai mendekati mereka tetapi Aku menahannya, aku hanya takut mereka akan apakan Ara, sedangkan dia adalah wanita yang di hadapan adalah pria.
Terlihat sekali wajah Ara yang sangat kesal kepada mereka, itu sebabnya Ara dan Willy tidak suka dengan anak Tunas Bangsa. Mereka suka merendahkan wanita di pondok ini, bahkan berani melecehkannya.
Bagaimana guru yang mengajarinya atau memang dasarnya mereka yang begitu bandel. Hanya merasakan kebencian di Pondok inilah mereka suka menghina.
Kemungkinan karena mereka balas dendam karna setiap tanding dan pertarungan sengit di antara mereka dan anak di Pondok ini selalu kalah, tidak sesekalipun mereka pulang dari Pondok Pesantren ini membawakan piala kejuaraannya.
Tidak heran jika mereka sangat membenci anak di Pondok Pesantren ini.
"Mer, lepaskan tanganku. Aku benci sekali kehadiran mereka." Kata Ara melotot.
"Ra, enggak baik memiliki sikap seperti itu, cukup mereka saja yang memiliki kebencian. Kita jangan!" Kataku bertutur lembut.
Ara masih berontak yang ku tahan dengan genggaman tanganku. Tapi ia masih berusaha melepaskan diri dariku. Pikiranku tiba saja langsung menyempit. Rasanya ingin sekali berteriak untuk kesekian kalinya dengan Ara, ia begitu keras kepala.
"Ra, udah dong. Kamu jangan gini. Enggak cape kah marah terus. Istighfar." Kataku masih berusaha menasehati.
Kali ini dia sedikit tenang. Ia tidak berontak lagi perasaan yang tadinya meronta menjadi sedikit membaik. Aku lega. Walau sedikit cemas jika ku lepaskan ia langsung berlari menghampirinya.
Tidak ada gunanya jika masih terus di tempat yang sama, aku harus bisa membawa Ara pergi dari tempat itu sehingga amarah yang masih menggebu di hatinya bisa terhenti sejenak.
"Ayo ra, kita masuk kamar yuk!" Ajakku sembari mengelus punggungnya.
Tanpa sedikit kata yang keluar dari mulutnya, ara langsung berbalik badan dan mengiyakan ajakkan ku. Dia masih memasang wajah suram, wajah yang jarang sekali Aku lihat di wajah Ara.
Entah ada apa di antara mereka dengan anak Tunas Bangsa. Aku hanyalah santri baru, aku masih belum memahami situasi disini. Bahkan banyak sekali kejadian di hari ini dan dengan orang yang sama.
Mungkin Aku bisa tanyakan pertanyaan ini di pikiranku dengan Putri ataupun Willy. Hanya merekalah yang bisa mengendalikan amarahnya masing-masing ketimbang Ara.
Aku harus memahami keadaan Ara sekarang. Sejak kejadian siang hari itu dia selalu menahan emosinya dengan anak Tunas Bangsa.
***
#Kamar.
Putri, Willy dan Lela sudah selesai mandi. Sekarang giliranku untuk membersihkan badan yang sudah lengket ini.
Aku menyerahkan Ara ada Willy. Karna hanya dialah si biang pemecah keheningan yang akan berusaha membujuk Ara untuk berbicara.
Ara lebih mudah dengan Putri. Namun, sehubung putri sedang menghafalkan Qur'an nya maka Aku tidak mau mengganggunya.
Selesai mandi, aku menyegarkan diri di depan kipas angin. Kebiasaanku ialah setelah mandi menghadap ke kipas angin supaya rambut ceat mengering dan tubuh terasa segar.
Keempat anak itu sibuk dengan dirinya masing-masing. Tadinya terlihat sepi sekarang begitu ramai dengan berbagai cerita dari Willy.
Memang Willy jagonya si pemecah keheningan, aku selalu meledeknya dengan kata itu, tapi lucunya Willy tidak suka dengan julukkan yang Aku berikan.