Chereads / Pengantin Lima Ratus Juta / Chapter 24 - Memperebutkan

Chapter 24 - Memperebutkan

"Kamu sendiri masuk di jurusan apa?"

"Jurusan Seni Rupa dan Desain."

"Hoo."

Meskipun perbincangan mereka terus berjalan, tetap saja ada sesuatu yang kurang. Dan hal itu adalah keterbukaan Eruin ke Putra.

Putra tersenyum kecut ke dirinya sendiri karena berpikir mendekati Eruin sangat mudah. Namun kenyataannya, ketidaknyamanan Eruin semakin membesar, meskipun seluruh kesalahan tak berasal darinya.

"Kamu tahu, Eruin, aku sama sekali gak tertarik dengan seorang gadis yang termenung karena kekasihnya tak berada disini, ditambah hal itu membuatnya takut kalau mungkin saja dia akan kehilangan hatinya kepada orang lain."

Putra mengungkapkan isi hatinya sambil melihat ke arah pesta yang berada di tengah ruangan. Di sisi lain, Eruin masih menunduk di depan meja, membelakangi pesta yang dia tak punya pilihan lain selain datang.

"Kalau kamu memang tak mau datang, kenapa dari awal kamu memaksakan diri? Apa karena kamu takut ayahmu kehilangan citranya hanya karena itu?"

Dari semua perkataan yang diberikan Putra, Eruin masih belum memberikan respon akan menjawab.

Putra yang mulai tak sabar mengeluarkan kata yang memancing, "Kamu memang masih sangat naif, ya."

Sepenggal kalimat itu memancing Eruin untuk melirik Putra sejenak, lalu menunduk kembali. Di balik sikap yang terkesan lucu itu, Putra tersenyum kecut.

"Sebenarnya aku tak menyangka kalau kamu akan sesulit ini untuk didekati. Walaupun pada akhirnya, kalau ada seorang mitra dari ayahmu yang datang kamu akan memakai topeng itu untuk membuat mereka berpikir kamu baik-baik saja.

Hmm, apa boleh buat, aku akan memberitahu kamu sedikit mengenai ayahmu."

Eruin masih tak bergerak, namun telinganya siap untuk mendengarkan.

Sebelum memulai, Putra mundur selangkah, menyandarkan diri ke meja, lalu kedua tangannya dimasukkan ke saku celana. Berusaha sesantai mungkin setelah berperilaku formal yang dia tak biasa dengan itu.

"Ayah kamu adalah seorang pria yang sangat mengapresiasi kerja keras. Tapi tentu saja, kerja keras itu harus dibarengi dengan kejujuran dan kesetiaan. Karena itulah, tak ada banyak orang yang mencoba bermain-main dengannya.

Dari apa yang kudengar dan kulihat, ayahmu bukanlah seseorang yang mau memaksamu menikah dengan seseorang. Tapi di saat yang sama, dia juga tak mau kau menikah dengan seseorang yang, hmm, biasa aja bisa kubilang.

Karena itu, kalau ada dari para pengusaha yang menawarkan anak mereka, yang udah pasti akan mewarisi apa yang orang tua mereka sudah bangun, pasti dia akan membujukmu untuk menikah dengannya, mungkin.

Ini hanya hipotesis, dan hanya kamu yang bisa menilai relevansinya."

Semua yang Putra katakan benar. Eruin menerima hipotesa itu dengan bayangan nyata yang mungkin akan terjadi nanti. Karena itulah, dia kesal.

"Aku bukannya mau menilai, tapi, sebaiknya kamu berdoa kalau kekasihmu melakukan yang terbaik yang bisa dia lakukan."

"Terima kasih."

Di saat Putra pikir pembicaraan mereka berhasil, Eruin membuka suaranya. Hal itu tentu saja membuatnya terkejut dan melihat Eruin.

Dari samping, Eruin menarik nafas panjang. Membuangnya dengan perlahan, lalu berbalik untuk menhadap Putra.

Di depan Putra, Eruin tersenyum cerah. "Aku minta maaf karena sebelumnya sudah bersikap acuh," ucap Eruin sambil menunduk.

Melihat sesuatu yang tak biasa itu, Putra tiba-tiba saja mematung. Pikirannya seakan tersambar akan sesuatu.

Setelah menundukkan kepala sekali, Eruin menatap Putra, seakan bertanya kenapa dia tiba-tiba diam.

"Eh, sorry. Ya, baguslah kalau kamu baikan," ucap Putra sambil melihat balik ke pesta.

Suasananya berubah menjadi sedikit berwarna. Walaupun Putra sedikit kaget dengan perubahan sikap Eruin tadi, dia tetap bisa mempertahankan kekerenan sambil berusaha mencari sesuatu yang bisa dijadikan pokok pembahasan.

"Oh iya, dari ekspresi kamu tadi, ada kan, seseorang yang kamu kenal yang masuk di jurusan Rekayasa Perangkat Lunak?"

Pertanyaan itu diulang lagi, Eruin sebenarnya bisa menjawab kalau itu Bagas, tetapi kalau dia menjawab kalau seseorang itu adalah laki-laki, mungkin saja Putra akan salah sangka.

Eruin yang ragu hanya bisa membalas. "Yaa, itu ... "

"Kenapa? Kamu gak perlu takut apa-apa kok. Lagipula, aku bertanya karena aku mau minta tolong."

Putra menatapnya memohon. Eruin bisa tahu kalau tatapan itu jujur, malahan, itu tatapan yang sedang mengharapkan untuk bertemu seseorang, jadi dia tak bisa menolaknya.

"Kalau ada yang bisa kubantu, silahkan saja."

Mendengar Eruin mempersilahkannya, Putra mengeluarkan nafas lega.

"Terima kasih."

"Jadi, mau minta tolong apa?"

"Sebenarnya, teman terbaik yang membantuku untuk bisa sampai ke tahap ini, mulai dari tahun kemarin dia bekerja sebagai dosen di universitas itu dan jurusan itu."

Universitas Mawar dan jurusan Rekayasa Perangkat Lunak. Lalu?

"Kami sudah lama tak bertemu. Kalau gak salah, terakhir kami bertemu itu sewaktu hari kelulusan. Kami berjanji untuk bertemu lagi kalau udah sukses, nah masalahnya, kami terlalu bodoh sampai tak menyimpan kontak masing-masing."

Di akhir kalimat Putra, mereka berdua tertawa kecil karena kecerobohan yang diceritakan.

Meskipun ceritanya terdengar sudah selesai, Eruin masih kekurangan informasi.

"Ngomong-ngomong, siapa nama dosen itu?"

"Oh iya, lupa, kalau gak salah namanya ... "

Kalau gak salah?

"Bima, Bima, Bima ... hmm, kepanjangannya apa ya, lupa."

Bima?

Ingatan mengenai satu kata dari nama yang diberitahukan itu membawa Eruin ke hari-hari dimana Bagas mengeluh mengenai seorang dosen laki-laki yang selalu mengomeli cara belajarnya.

Kalau tidak salah namanya itu, "Bima Prabu Wijaya ...", tanpa sadar Eruin bergumam.

Gumaman Eruin yang menyebutkan nama seseorang mengundang rasa terkejut Putra. "Naah, itu, Bima Prabu Wijaya! Gak nyangka kamu bisa ingat namanya!"

Putra yang tiba-tiba jadi blak-blakan, dan bukan seseorang yang berusaha mempertahankan kekerenannya, sedikit mengejutkan Eruin.

"Eh, iya begitulah. Sebenarnya, si teman baik dosen ini punya hubungan yang gak baik dengan salah satu temanku. Dalam beberapa kesempatan temanku sering membicarakannya, jadi aku sedikit ingat tentang si teman baik dosen."

"Hmm, begitu ya. Jadi dia mengalami pengalaman yang cukup berat dalam melakukan pengajaran ya."

Sosok keren dari Putra saat itu berubah menjadi seorang laki-laki biasa yang prihatin dengan sahabatnya. Sedikit persis seperti seseorang yang Eruin kenal.

"Nah, karena kamu punya koneksi ke kelas itu, bisa aku minta tolong untuk berikan kartu nama ini padanya?"

Putra yang mengambil sesuatu di kantung baju, menunjukkannya ke Eruin, lalu meminta pertolongan, memberikan kartu nama kepada Eruin.

Eruin tanpa ragu mengambil kartu namanya. "Boleh aja sih, tapi sayangnya, saat ini sedang liburan semester, jadi ..."

"Oh, gak apa-apa kok, kalau memang kampus sedang libur, itu berarti dia gak bakal ada di Indonesia."

Setelah mengatakan sesuatu yang terasa sedih, Putra menatap jauh ke depan. Tatapannya seperti mengatakan, kalau dia dan sahabatnya itu takkan bertemu dalam waktu dekat.

Melihat sesuatu yang tak biasa itu, sekali lagi, Eruin dikejutkan dengan bayangan sosok sang kekasih, yang berpisah dengan para sahabat karena jalan yang mereka hadapi sudah berbeda.

Dengan ketetapan dalam hati, Eruin merasa tak ingin mengecewakan Putra. "Baiklah, akan kuusahakan agar kartu nama ini tersampaikan."

Putra kembali melihat Eruin. Dari situ, dia bisa melihat Eruin menunjukkannya sebuah senyum tulus yang sangat mempesona.

"Terima kasih, dik Eruin. Setelah berbicara sedikit dan melihat kamu yang sedang membuka hatinya, ternyata kamu gadis yang sangat baik da ...."

"E – eh, terima kasih atas pujiannya, da?."

"Em, enggak, bukan apa-apa kok. Eit, tapi ingat, pujian itu bukan untuk menjilat atau ada maksud tertentu di dalamnya, loh."

"B - begitu ya."

Suasana di sekitar mereka semakin lama semakin enteng. Meskipun Eruin tetap waspada dengan setiap perkataan Putra.

Di saat mereka berdua berusaha untuk akrab satu sama lain, seesorang datang dengan maksud mengganggu.

"Hoho, ternyata rumornya benar ya, kalau si abang ini lumayan berbahaya karena berkesan sangat rakus."