"Oi, bgst, kenapa kau - !"
Bagas terlambat menyadari kalau Beni tertangkap saat Jidan merangkulnya. Meskipun begitu, Bagas tetap menepis tangan Jidan dan mundur dua langkah.
Di sisi lain, Beni di lepaskan dan dia segera berlari sambil menangis ke sisi dua sahabat perempuannya.
Bagas yang berhadapan dengan Jidan mulai merasakan aura yang tidak mengenakkan.
"Gas, bukannya kita udah setujui pembagian tugas dua jenius di kelas? Kau yang mengatur rencana bagaimana kita semua bisa melewati semua mata kuliah bersama. Di sisi lain, aku yang mengatur bagaimana kita bisa menyatukan pikiran. Kalau diibaratkan, kau adalah mesin dan aku adalah setirnya. Lalu seminggu kemarin – "
-
Kita kembali ke seminggu kemarin sebentar.
[Waktu itu Jidan dan dua orang wakil dari kelas Rekayasa Perangkat Lunak semester dua diminta untuk datang. Di kampus mereka melakukan rapat tahunan. Dimana Festival Musim Panas tak hanya bertujuan sebagai penghibur, namun juga sebagai aset untuk mengundang banyak calon mahasiswa agar masuk ke universitas. Strategi seperti itu sudah dilestarikan lebih dari tiga tahun.
Jadi, setelah melakukan rapat, kelas mereka diminta untuk berpartisipasi dalam festival, sebagai wakil dari seluruh mahasiswa dari jurusan RPL.
"Maaf kak, tapi, kenapa bisa begitu?" Jidan yang tak dapat konfirmasi dari kakak-kakak kelasnya sempat bingung.
Satu wakil dari beberapa kakak kelasnya menjawab. "Ya, bisa dibilang ini sebagai tradisi. Karena kalian masuk kesini juga karena tertarik dengan kakak-kakak kelas kalian yang sempat menawarkan jurusan ini kan?"
Mendengar penjelasan kakak-kakak kelas mereka, tiga orang dari perwakilan semester dua menggeleng. Saat mereka bertanya ke grup wasap mengenai hal tersebut, teman-teman yang tak datang juga tak mengetahui hal itu, malahan mereka masuk ke jurusan itu karena memang tertarik dengan jurusannya.
Kakak-kakak kelas yang mendengar konfirmasi dari mereka sempat bingung, namun dengan cepat memperbaiki posisi mereka.
"Ya, begitulah, karena kami, kakak kelas semester empat kalian juga yang hanya berpartisipasi tahun kemarin, kami harap kerja samanya."
Mereka menjawab seperti itu lalu pergi tanpa rasa bersalah. Seperti sudah terbebas dengan beban yang memikul kebebasan mereka.]
-
Kembali ke waktu semula.
"Dan karena itu, kita semua bersumpah untuk memikul beban ini bersama. Bersama. TAPI KAU! KAU!"
Jidan berteriak sambil menunjuk-nunjuk wajah Bagas yang berekspresi tak mau peduli.
"Cuma kau yang gak datang! Padahal kau bilang bakal hadir sewaktu kita melakukan absensi!"
Jidan benar-benar marah. Dia seperti bukan seseorang yang kalem dan cool dalam berinteraksi seperti sebelumnya. Meskipun begitu, Bagas yang dia marahi berperilaku seperti dia sudah biasa diperlakukan seperti itu.
Setelah berteriak selama semenit penuh, dan menarik banyak perhatian orang-orang, Jidan akhirnya berhenti. Dia menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan.
"Kalau kau gak bisa datang, bilang dari awal, kek."
Jidan merasa pusing, jadi dia menekan dahinya dengan jari tangan kanan. Seperti seorang ayah yang kecewa kepada anaknya yang tak mau pergi ke festival sekolah.
Sebenarnya perubahan emosi yang terjadi dengan Jidan sebelumnya itu disebabkan karena keperfeksionisannya. Bisa dibilang, Jidan adalah pemimpin muda yang ideal, dia tak terlalu pintar dalam menyusun dan membuat rencana, tetapi dia sangat mahir dalam menggerakkan orang-orang di sekitar.
Di sisi lain, pemuda di hadapannya, adalah sebiji makhluk yang sangat mahir dalam menggunakan otak, namun cukup malas untuk menggunakannya.
Ketika mereka menggabungkan kekuatan, banyak orang bisa diselamatkan. Contohnya, ketika teman sekelas mereka sulit mengerti pelajaran, Jidan akan menyuruh Bagas untuk merangkum dan menjelaskan.
Hal seperti itu sudah berlangsung selama setahun, karena itulah mereka bisa bersikap seagresif itu satu sama lain.
Cukup mengejutkan memang. Terutama para sahabat yang sedari kecil sudah mengenal Bagas. Mereka melihat Jidan seperti eksekusioner yang marah ke penjagal karena salah memotong leher korbannya.
"Iya-iya, maap, aku kemarin bener-bener dalam ujung tanduk sapi betina argentina. Jadi aku gak bisa fokus memikirkan hal lain selain hal yang menganggu pikiranku," ucap Bagas.
"Kalau begitu, ini salahmu karena dari kemarin aku gak bisa berpikir hal lain selain kau yang gak hadir dan gak menjawab semua teleponku."
Jidan mengatakan sesuatu yang tak terduga, Bagas sontak terkejut dan menunjukkan ekspresi heran.
"EH, kau menghubungiku?"
"Kupukul kau sekarang."
Ketika Jidan menyinggung soal dia menghubungi Bagas, Bagas langsung saja menarik kembali ingatannya, kenapa dia tak mengetahui Jidan berusaha menghubunginya.
"Oh, maap, sebenarnya dari kemarin aku gak sekalipun pegang hape, jadi aku gak tahu kau berusaha menghubungiku."
Mendengar jawaban Bagas, hati Jidan ingin berteriak. Tetapi dia menahan dengan sekuat tenaga. Meskipun wajahnya jadi berekspresi seperti dia sedang menahan sesuatu yang ingin keluar lewat bawah.
Menahan rasa sakit di kepala, Jidan berusaha tabah. "Terserahlah. Yang terpenting, kios itu, kuserahkan padamu."
Jidan menunjuk ke salah satu dari tiga kios makanan yang Rian tempati. Ekspresi heran langsung hinggap ke wajah Bagas.
"Kau bercanda? Maksudku, bukannya dia udah mengatasi tiga tempat itu?"
"Oh, kalau gitu kau akan kutempatkan di tengah-tengah kampus dimana orang-orang sering meminta untuk dipandu."
Perasaan tidak enak ketika dia salah membuat keputusan merambat ke punggung Bagas. Untuk menolak keputusan Jidan, yang bisa dia lakukan hanya satu.
"Ooooiii, lek, keknya kau butuh bantuan di situ," ucap Bagas sambil berlari ke arah kios jualan.
Jidan dibuat kesal untuk yang kesekian kalinya karena sikap kekanak-kanakan Bagas yang satu itu. Tetapi itu lebih baik dari tidak sama sekali.
Karena dia sudah melakukan tugasnya, Jidan undur diri. Namun dia menyempatkan untuk memberikan senyum ke arah dua gadis yang melihatnya dari tadi.
Rini dan Euis, yang melihat Jidan dengan rasa kejut dan heran, membalas senyuman Jidan saat dia mulai berjalan menjauh.