"Oh, iya, makasih ya, udah mau nolongin Euis sebelum aku sampai."
"Enggak apa-apa, kok. Lagipula memang itu tugas seorang panitia acara. Untuk memastikan kalau gak ada gangguan atau kekacauan yang terjadi."
Suasana sudah cukup membaik. Meskipun Euis masih merasa trauma karena kejadian sebelumnya, setidaknya Rini sudah datang untuk membuatnya merasa tenang.
Di dalam pertemuan yang bukan kebetulan itu, Rini merasa senang, karena teman sekelas yang marah-marah pada Bagas sebelumnya, ternyata benar adalah orang yang baik.
"Oi, Jidan!"
Dari belakang Jidan, empat orang mahasiswa lain berlari ke arah mereka.
"Oi, Pian, kenapa kalian terburu-buru begitu?"
Empat teman panitia acara Jidan berlari ke arah mereka sampai terengah-engah. Salah satu teman sesama panitia Jidan yang datang adalah Pian, yang berekspresi khawatir ke seorang teman panitianya.
"Kami dengar ada keributan yang terjadi di sini, karena itu kami buru-buru datang."
"Hahaha, kalian gak perlu datang serame ini juga, kali."
Meskipun sebelumnya Jidan berhadapan dengan tiga orang yang berbadan lebih besar darinya, dia bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.
Pian melihat Jidan sejenak untuk memastikan. Lalu setelah merasa tenang kalau Jidan benar-benar tidak apa-apa, pandangannya teralih ke dua gadis di belakang Jidan.
"Apa mereka berdua korban pelecehannya?"
Jidan berbalik ke Rini dan Euis atas pertanyaan Pian, lalu merespon, "Enggak, yang jadi korban cuma kakak yang lagi ketakutan. Untuk kakak yang berambut pendek, dialah yang menyelamatkan kami dari tiga gerombolan itu."
"Menyelamatkan?'
Merasa ragu dengan satu kalimat itu, Pian melihat Rini dengan seksama. Tiga orang yang ikut bersamanya juga menunggu sebuah konfirmasi.
Rini yang ditatapi oleh lima orang laki-laki awalnya merasa risih, namun karena teringat sosok Euis yang masih ketakutan di belakang, dia memilih untuk angkat bicara.
"Mereka cuman preman kota kampungan. Gak ada apa-apanya dibandingkan harimau di bukit belakang kampung."
Seolah tersedak akan sesuatu, lima orang panitia acara yang semuanya terdiri dari laki-laki, terkejut.
Saking tidak percayanya Pian sampai bergumam, "H – harimau di bukit belakang?"
Suasananya tiba-tiba menjadi senyap untuk sejenak. Lalu kesenyapan dipecahkan oleh Rini sendiri, yang memutar tubuhnya untuk melihat Euis.
"Oh iya, kamu belum sempat minum kan? Duduk lagi, terus minum."
Mengambil satu cangkir minuman di tangan Euis, Rini menuntun mereka untuk duduk di tempat yang sama sekali lagi.
Euis yang masih ketakutan mencoba mengangkat cangkir minumannya, dengan kedua tangan yang masih bergetaran. Rasa takut akibat kejadian sebelumnya masih membekas di pikirannya.
Melihat Euis kasihan, Rini memberikan satu tangannya untuk membantu Euis menenangkan kedua tangannya. Dengan bantuan Rini, Euis berhasil meneguk minumannya.
Kembali ke posisi para panitia, Jidan memberikan perintah untuk bubar ke empat teman yang datang barusan. Namun Pian memilih untuk tinggal karena Jidan mengatakan kalau dua gadis itu adalah teman Rian dari kampung.
"Memangnya kenapa?" tanya Jidan.
"Enggak, cuma, Rian pernah bilang padaku kalau dia melamar salah satu sahabatnya yang tinggal di kampung."
"Ooh."
Merasa tertarik, Jidan melirik dua gadis desa itu.
Dari tampang mereka, yang paling cocok untuk disandingkan dengan Rian tentu saja yang memiliki nama Euis. Korban intimidasi yang memiliki perawakan lembut.
Jidan dan Pian menyetujui hal itu, lalu mereka berhenti melirik.
"Karena gak ada masalah lagi, sebaiknya aku kembali keliling."
"Oke. Oh iya, Pian, sampaikan ke teman-teman untuk lebih mengawasi sekitar. Agar kejadian yang serupa tak terulang lagi. Satu lagi, pastikan kalau kalian melacak keberadaan tiga pembawa masalah itu."
"Siap, komandan."
Pian memberikan hormat ke Jidan di akhir kalimatnya. Setelahnya dia berputar untuk kembali bertugas.
Jidan yang masih memiliki urusan dengan dua gadis di belakang, berputar dan bertanya.
"Kalaupun masalahnya udah selesai, sebagai panitia, aku mau minta maaf atas kejadian sebelumnya."
Jidan menundukkan kepalanya sedikit sambil meminta maaf. Walaupun itu bukan sepenuhnya kesalahannya, dia benar-benar merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi.
Di sisi lain, Euis sedikit bingung bagaimana harus merespon. Saat kesenyapan hampir terjadi selama beberapa detik, Rini angkat bicara.
"Itu sepenuhnya bukan salahmu. Sebenarnya, aku udah tahu kalau mereka ada di belakang Euis sebelumnya. Tapi karena mereka gak nunjukin aura mencurigakan, jadi aku gak merasa terlalu khawatir. Tapi siapa sangka, padahal aku baru ninggalin Euis semenit, mereka udah bergerak secepat itu."
Merasa geram pada dirinya sendiri, Rini menggenggam tangannya yang kosong dengan erat, dan juga berekspresi sangat kesal pada dirinya sendiri.
Di sampingnya, Euis merasa tidak enak. "R – rini, kamu gak perlu sekesal itu juga kok. Kalau aja sebelumnya, aku bilang ke mereka aku gak mau diganggu, mungkin ... "
"Maaf, tapi mereka gak semudah itu menyerah untuk menggodamu, kak," ujar Jidan merespon perkataan polos Euis.
Atas pernyataan Jidan, Euis dan Rini sama-sama memberikan ekspresi heran. Seperti bertanya, 'kenapa begitu?'.
Jidan tersenyum simpul atas kepolosan dua gadis di depannya. Lalu tanpa perlu basa-basi, dia menjawab keheranan mereka.
"Karena ya, kalau aku jadi mereka, kenapa aku harus mendengarkan kata-kata seorang gadis cantik tak berdaya yang ditinggal sendirian?"
Atas jawaban Jidan yang masuk akal, Rini dan Euis sama-sama tersadar akan sesuatu.
Kasus sebelumnya bisa dibandingkan seperti kasus pelecehan, atau paling buruk pemerkosaan. Pelaku yang notabane adalah beberapa orang pria yang memiliki kekuatan yang lebih besar dari korban, tentu saja tidak mau mendengarkan keinginan mungil korban. Mereka pasti lebih mementingkan hasrat dan nafsu mereka yang ditujukan terhadap korban.
Mengetahui hal itu, Rini yang paling merasa bersalah karena telah meninggalkan Euis sendirian – karena dia pikir untuk membiarkan Euis berjalan lagi akan membuat Euis lebih lelah lagi – merasa sangat kesal terhadap dirinya sendiri.
Euis dan Jidan menyadari hal itu, dan yang paling merasa prihatin adalah Euis, korban dari kasus sebelumnya. Meskipun begitu, yang bisa menenangkan suasana hanyalah Jidan.
"Kakak gak perlu setegang itu. Lagipula, ini masih siang bolong dan lokasi disini gak terlalu jauh dari pandangan orang. Contohnya aja, empat orang temanku yang datang pasti menerima laporan dari pengunjung lain karena melihat Kak Euis diganggu oleh mereka."
Kata-kata Jidan memiliki alasan dan fakta yang kuat. Hal itu berhasil menenangkan Rini sedikit. Euis juga merasa lebih tenang karena orang-orang tak berusaha membiarkannya.
"Yah, walaupun sebenarnya ini bukan kasus pertama yang membuat mereka menjadi pelaku dari calon kasus pelecehan," tambah Jidan.
Mendengar pernyataan itu, Rini kembali kesal dengan alasan yang berbeda. "Kalau gitu kalian belum bisa menangkap mereka, karena itu mereka masih berkeliaran?"
Rini mengeluarkan sedikit amarahnya pada Jidan. Amarah itu cukup menakutkan, sampai Jidan merasa bulu kuduknya sempat bergetar. Apalagi dia juga melihat sebelumnya, seberapa besar kekuatan yang dimiliki Rini.
Dengan kedua tangan di depan dada untuk menahan sesuatu, Jidan berusaha meluruskan.
"Maaf, kak, tapi tenang dulu. Sebenarnya, mereka sudah dimasukkan ke dalam blacklist. Tapi, karena mereka bekas mahasiswa yang dropout dari kampus ini, jadi mereka mengetauhi seluk beluk lokasi kampus. Karena alasan itulah, kami masih sulit menangkap mereka."
"Blac - bleklis? Dropot?"
Tanpa sadar Jidan menggunakan kata asing yang terdengar oleh Rini. Hal itu membuat amarah yang terkumpul sebelumnya berubah menjadi rasa bingung.
Dari samping, Euis yang sebelumnya masih merasa tegang, dibuat tertawa kecil oleh kepolosan Rini. Tawa kecilnya mengundang perhatian dua orang di dekatnya.
Dengan perasaan yang lebih tenang dari sebelumnya, Euis menatap Rini, lalu menjelaskan, "Blacklist itu kalau gak salah artinya mereka gak diperbolehkan lagi untuk datang ke acara seperti ini. Kalau dropout sama artinya kalau mereka keluar tanpa menyelesaikan sekolah."
"O – ooh."
Sebenarnya kalau Jidan menggunakan kata yang lebih sederhana dan berbahasa Indonesia, mungkin dia takkan membuat Rini bertanya-tanya. Namun apa boleh buat, sudah terbiasa.
Karena Rini sudah mengerti dua kata asing yang dia pakai, Jidan melanjutkan.
"Begitulah, walaupun kami, panitia acara memiliki jumlah yang banyak, kami tetap kewalahan untuk menangkap mereka. Kalau diibaratkan, kondisi kami sekarang itu seperti, Tom dan Jerry."
Mendengar keluhan Jidan, Rini jadi teringat sesuatu.
"Menangkap? Kenapa tadi kau gak bilang? Kalau kau bilang, mungkin aku bisa melumpuhkan mereka bertiga di tempat."
"Hm?"
"Hm?"
Seperti tersadar akan sesuatu hal, Rini dan Jidan menatap satu sama lain dalam senyap. Terlambat menyadari kebodohan mereka.