Kembali sebentar ke waktu dimana Beni sangat menikmati saat-saat dia menjual dagangannya dengan sangat laris.
Di depan pelanggan yang semuanya perempuan, Beni mendapatkan banyak sekali pujian.
"Hei, kamu tampan banget sih."
"Dilihat dari wajahnya saja, dia pasti blasteran."
"Aku tahu, dia pasti berasal dari Jepang."
"Oh iya, saudara laki-lakiku yang lagi studi di Jepang sering berfoto dengan teman-temannya. Dan perawakannya sangat mirip dengan mereka."
"Hei, ganteng, apa kamu jomblo?"
Penilaian dari para pelanggannya tak sepenuhnya salah. Karena sebenarnya, ayahnya berdarah Sunda murni, Ibunya juga berdarah Jepang. Namun entah kenapa, perawakannya benar-benar mirip dengan ibunya.
Sewaktu kecil dan dia masih tinggal di Jepang, perawakannya itu hampir setiap hari menjadi bahan olokan. Karena saat itu wajah dan sikapnya hampir seluruhnya seperti perempuan, sangat feminim.
Masa kecilnya yang cukup suram itu juga dikarenakan di rumah, tak ada satupun yang bertindak tegas atau keras satu sama lain. Ayahnya yang berdarah sunda, sangat kalem dan jantan. Ibunya juga merupakan sosok yang paling lembut dan juga pengasih yang paling dia kenal.
Beberapa faktor itulah yang membangun karakternya. Namun, karakternya menjadi rusak ketika dia bertemu dengan dua sahabatnya, Bagas dan Rian.
Cukup dengan cerita masa lalu.
Tanpa sadar, pelanggannya sudah mulai berkurang, begitu pula dengan dagangannya. Melihat dari semua bahan yang masih tersisa, mungkin saja akan habis dengan lima atau enam pelanggan lagi.
Saat itu hanya tersisa satu pelanggan. Beni melirik saat mengambil satu gelas plastik sekali pakai. Tak seperti pelanggan-pelanggan sebelumnya, pelanggan terakhir itu memakai kebaya, lengkap dengan selendang yang melingkari tubuh bagian samping.
Sewaktu pelanggan itu datang berjalan mendekat, Beni berpikir, 'Hm, jarang banget bisa ngeliat orang selain Kak Arisa pakai kebaya siang bolong begini .... Heh, tunggu?!'.
Menyadari sesuatu, Beni sontak mengangkat kepala -
"Cendolnya satu, mas."
-dan melihat Arisa Santika, mantan kekasihnya sekaligus gadis yang dia lamar, berdiri di depannya. Tersenyum lembut sambil meminta pesanan.
Di saat kios sebelah sedang sangat ribut dan sangat panas, waktu Beni terasa membeku dan sangat dingin.
"Mas?"
Mungkin karena Arisa memanggilnya dengan nada yang sangat biasa, Beni jadi lambat merespon.
"E – ehh, o – oke, laksanakan!"
Dengan jawaban itu, Beni langsung menyiapkan pesanan dengan cepat.
Melihat sesuatu yang tak biasa di depan mata, Arisa sedikit terkejut. Meskipun perasaan cemburu dan marah dan kesal sempat tumbuh dalam hatinya, tak disangka, ketekunan, keseriusan, dan kemantapan Beni dalam melayani pelanggan membuatnya tersadar akan sesuatu.
Dengan tiba-tiba Arisa tertawa kecil.
Tawa Arisa yang terdengar imut dan juga menenangkan, menghentikan gerakan Beni. Dia menaikkan wajahnya yang sebelumnya berpikir, kalau Arisa akan marah padanya.
Arisa yang puas tertawa, membuka mata dan melihat ke arah Beni yang kebingungan. "Ada apa?"
Mungkin karena Beni terpaku dalam waktu, atau karena dia bodoh dalam mengetahui perasaannya sendiri, pertanyaan Arisa membutuhkan waktu beberapa detik untuk mendapat jawabannya.
" ... E – eh, enggak, kupikir kakak marah karena aku melakukan hal semacam ini!"
Jawaban polos dan juga tulus yang ditunjukkan Beni membawa Arisa kembali ke waktu di mana dia bisa menyebut Beni sebagai kekasihnya, walaupun itu harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Mendengar jawaban Beni yang seolah takut dengannya, Arisa tertawa kecil sekali lagi. Untuk yang kedua kalinya, Beni dibuat bingung.
"Kenapa aku harus marah?"
"Eh, tapi, karena tadi banyak orang yang menggodaku, jadi ... "
Padahal dia sudah berumur 20 tahun, mungkin, tetapi dia masih bersikap seperti pemuda berumur 16 yang malu-malu kucing saat bersama dengan kakak kelas yang dia cintai.
"Padahal kamu waktu itu melamarku dengan jantannya, tapi sekarang malah bersikap malu-malu kucing begitu," ucap Arisa.
"T – tapi, bukannya siapapun pasti kesal kalau orang yang mereka cintai digoda oleh orang lain?"
"Kata siapa?"
"Eh?"
"Siapa yang bilang begitu?"
Di hadapan pertanyaan Arisa yang membingungkan, Beni tak bisa berkata apa-apa. Setelah bertanya dan mengetahui Beni tak bisa menjawab, Arisa juga diam.
Dalam suasana yang cuma sebentar itu, waktu terasa berjalan begitu cepat di antara dua insan yang sedang mencoba mengerti satu sama lain.
"Hanya karena keka – pria yang kucintai digoda oleh perempuan-perempuan lain, bukan berarti aku harus marah padanya. Lagipula dia digoda seperti itu bukan karena kemauannya. Justru, aku merasa kasihan dan juga kesal pada diriku sendiri. Melihat kamu diserang oleh berbagai macam kata yang keluar dari mulut yang tak tulus, padahal kamu tak ingin diperlakukan seperti itu."
Kata-kata indah yang keluar dari mulut Arisa yang menggoda, membuat Beni tanpa sadar menarik nafas panjang. Karena tubuhnya menyadari, ketika Arisa berbicara, dia sama sekali tak menarik nafas.
Seperti sudah dicerahkan oleh sesuatu, Beni tersenyum. Gerakan yang sebelumnya terhenti, saat itu kembali bergerak.
"Maaf, Kak Arisa."
"Kenapa kamu malah minta maaf?"
Di balik pertanyaan Arisa yang disebabkan oleh kata yang sulit untuk dimengerti, Beni tersenyum pahit lalu berkata : "Karena kakak terjebak dengan pria menyedihkan sepertiku."
Beni mengungkapkan perasaannya sambil melihat ke arah gelas plastik yang sudah penuh dengan minuman yang bernama cendol. Jadi dia tak melihat reaksi Arisa. Namun entah kenapa, perasaan tidak enak yang datang selama 100 tahun sekali muncul di hadapannya.
"Eh!? Kak?"
Di hadapannya, Arisa menunjukkan ekspresi diam yang penuh dengan misteri dan aura hitam.
Tatapan Arisa saat itu mengingatkan Beni dengan tatapan Bagas yang kesal padanya karena tanpa persetujuan dia menaikkan target mereka.
Entah sudah berapa lama mereka hanya bertatapan satu sama lain, namun tiba-tiba Arisa mengulurkan tangan kanannya. Sontak Beni terkejut tetapi tak bisa melakukan apa-apa.
Tak disangka, uluran tangan kanan Arisa seperti memiliki niat untuk meminta sesuatu yang sedang dipegang Beni. Cendol.
Dengan sangat gugup Beni merespon, "E – eh, ini.", lalu menyerahkan segelas plastik cendol itu ke Arisa.
Arisa menerima cendol dengan diam lalu berjalan dua langkah ke kanan. Dengan membelakangi Beni dia berkata : "Beberapa jam dari sekarang, kita harus bicara. Sebaiknya kamu persiapkan hati dan perasaan kamu."
Pergi meninggalkan Beni dengan kata-kata yang memiliki banyak arti, Arisa berjalan semakin jauh ke dalam keramaian. Beni mendapatkan perasaan buruk karenanya.
-
Kembali sebentar ke waktu di mana Beni dan Arisa masih berbicara.
Rian disibukkan dengan semua pelanggan laki-laki yang entah kenapa bergairah melihatnya bekerja. Namun di satu waktu ...
"Oi, bukannya itu Kak Arisa?"
"Oh, senior dari jurusan seni yang selalu pakai kebaya itu, ya?"
"Wah, seperti biasa dia cantik banget."
"Tapi kok, kayanya dia lagi berbicara serius dengan anak itu?"
"Oh iya, dia jadi panitia acara, tapi aku gak pernah lihat dia sekalipun."
"Masa bodo dengan anak itu, karena kesempatan bertemu Kak Arisa sangat jarang, lebih bagus kita dekati dia."
Dengan aba-aba yang diucapkan salah satu pelanggan yang merupakan mahasiswa di kampus, banyak mahasiswa lain yang ikut tertarik untuk mendekati Arisa. Namun sebelum mereka bisa melakukannya, suara keras dari wajan yang menggoreng sosis dan telur gulung membuat mereka sedikit terkejut.
Padahal mereka semua belum memesan lagi, tetapi Rian memasukkan banyak bahan ke atas wajan. Hal itu membuat mereka penasaran dan melihat ke arah Rian, mencari jawaban.
"Maaf, tapi, bisa kalian berikan mereka berdua waktu? Sebagai gantinya, aku traktir kalian semua."
Sikap Rian yang sangat jarang terlihat serius itu membuat pelanggan yang merupakan teman-teman sekampus mendengarkan permintaannya.