Eruin dan Bagas masih saling menatap satu sama lain. Dengan salah satunya merasa heran, dan satunya lagi merasa hidup kembali.
Hal itu terjadi selama beberapa saat, sampai seseorang memisahkan mereka dengan mendorong Bagas sedikit dan menarik Eruin ke sisinya.
"Eits, selagi kerja, gak ada yang boleh mesra-mesraan!"
Yang menarik Eruin adalah teman sekelasnya yang juga sedang bekerja. Melihat Eruin diganggu Bagas, dia mengambil langkah untuk memisahkan mereka. Ditambah, dia juga tak suka dengan Bagas yang terlalu agresif pada Eruin.
Eruin yang berada di rangkulan temannya merasa sedikit malu. "Maaf, Yuli, kayanya Aska lagi stress karena aku gak pegang dia selama beberapa lama."
"Hm, itu gak jadi alasan. Kalau masih kerja ya kerja. Jangan sempat-sempatnya bermesra-mesraan."
Teman sekelasnya, Yuli, bergerak sebagai ketua di luar dapur. Karena itulah dia berhak untuk memarahi Eruin. Dengan itu, yang bisa Eruin lakukan hanyalah tertawa kecil karena kesalahannya.
Di sisi lain, Bagas protes. "Hei kau, manusia biasa. Jangan mengganggu waktu istimewa kami."
Seperti biasa, Yuli dan Bagas tidak cocok untuk disandingkan. Sebagai teman sekelas sekaligus ketua di luar dapur, Yuli merasa berhak untuk memiliki Eruin, untuk saat itu. Di sisi lain, Bagas sebagai kekasih resmi Eruin, tentu saja marah karena Yuli ikut campur dalam hubungan mereka.
Dengan emosi yang mulai naik ke kepala, Yuli yang memiliki tubuh yang pendek berjalan mendekat ke Bagas. Saat mereka sudah berhadapan, Yuli membusungkan dada dan mengangkat dagunya, walaupun tingginya berbeda 20cm dengan Bagas, dia ingin terlihat tinggi.
Melihat hal yang tak biasa itu, para teman-teman merasa tertarik.
"Eh, mereka mau berantem?"
"Wah, hebat juga Bagas, gak laki gak perempuan diembatnya."
"Oi oi, cuk, setahun gak kuawasi, udah memulai harem aja itu anak."
Tiga orang sahabat berkomentar dengan rasa khawatir, sedikit terkejut, dan iri. Salah satunya yang tak terlalu tertarik memilih untuk menutup mulutnya.
Untuk satu orang panitia acara yang memakai pakaian formal, dia mendekat ke Rian dan berkata : "Rian, aku akan bergabung dengan panitia lain yang ada disana. Kalau ada perlu, samperin aja aku."
Dengan konfirmasi Jidan, Rian mengangguk puas lalu membiarkan Jidan pergi meninggalkan kelompok mereka.
Kembali ke tkp di mana Bagas dan Yuli masih berseteru.
Di dalam momen yang sudah berlalu beberapa saat, Yuli masih berusaha keras mempertahankan pose angkuhnya. Dari depan, Bagas hanya menanggapi sikap si mungil itu dengan wajah datar.
Eruin yang berdiri di belakang merasa khawatir. Meskipun tak ada yang memanggil mereka karena pelanggan semua sudah dilayani, Eruin tetap tak nyaman dengan kondisi itu.
"H – hei, kalian berdua, bisa sudahi pertengkarannya? A – aska, kamu laper kan, ayo cari tempat duduk terus kita makan bareng."
"Aku gak mau makan, aku maunya kamu."
"E – eeehhh."
Entah apa yang merasuki Bagas, tetapi dia terlihat agresif dari biasanya.
Melihat keagresifan yang tak senonoh itu, membuat emosi Yuli semakin memanas. Dia menarik tangan kanannya ke belakang sedikit, lalu memberikan tinju ke perut bagian kiri Bagas. Namun sayang, pergerakannya terbaca dan Bagas menangkir tinjunya dengan telapak tangan.
"Ehee, cebol, mau ngapain?"
"Dasar binatang buas barbar."
Bagas dan Yuli mulai saling memberikan kata-kata dan tatapan kejam ke satu sama lain. Dalam tahap itu, apapun yang Eruin katakan takkan berguna. Karena itulah dia sangat khawatir.
Di saat keadaannya sudah semakin memanas, Beni mengambil langkah dan berdiri di tengah-tengah. Mengambil masing-masing tangan Bagas dan Yuli, lalu memisahkan mereka.
"Hei-hei, di siang bolong begini, lebih baik kalau kita minum sesuatu yang segar dan saling tersenyum. Karena itu, mari akhiri pertengkaran ini."
Atas permintaan Beni yang lembut, Bagas dan Yuli sama-sama membuang muka acuh.
Yuli yang sudah merasa sedikit tenang berjalan ke arah Eruin dan berkata, "Eruin, tolong layani teman-temanmu, ya. Kalau pesanan mereka banyak, minta tolong satu teman pekerja lain untuk membantumu. Setelah itu, kamu boleh mendapatkan istirahat bersama mereka."
Yuli memberikan Eruin kata-kata yang manis yang tak diduga oleh Eruin. Hal itu tentu saja membuat Eruin terkejut dalam senang.
"Eh, boleh?!"
"Hu'um," jawab Yuli sambil tersenyum manis.
Dengan pemberian yang sangat manis itu, Eruin tiba-tiba memeluk Yuli dan mengucapkan, "Makasih sahabatku!"
Mendengar kata sahabat ditujukan ke Yuli, empat orang sahabat lain sedikit terkejut.
Momen di mana Eruin memeluk Yuli dengan penuh kebahagiaan itu juga memberikan senyuman ke empat orang sahabat yang melihat mereka. Pemandangan yang tak biasa di mana Eruin bisa menunjukkan senyum indahnya selain bersama mereka.
Pelukan Eruin yang tiba-tiba itu tentu saja membuat Yuli terkejut dalam malu. Wajahnya memerah dan dia sontak meminta Eruin untuk berhenti.
"Er – eruin, kenapa kamu tiba-tiba memelukku begitu?! Ayo, lepas, malu diliatin orang!"
"Ehehe, habisnya, kamu manis banget sih."
Setelah tubuhnya dilepaskan dari pelukan, Yuli membenahi bagian pakaiannya yang tak beres dibuat Eruin, lalu berdiri tegap.
"Uhum, baiklah kalau begitu. Aku mau memantau keadaan kafe kita, kamu usahakan kalau kalian gak terlalu membuat keributan, ya."
"Siap, komandan!"
Perintah di berikan, dan Eruin memberikan salam hormat untuk membalasnya.
Yuli tersenyum simpul ke arah enam orang sahabat yang akhirnya dapat berkumpul kembali sebelum meninggalkan tempat.
Setelah sang ketua pergi, Eruin berbalik menghadap sahabatnya yang semua sudah mendekat. Melihat hal itu, dia cukup terkejut karena tak menyangka, kalau hari di mana mereka bisa berkumpul kembali terjadi secepat itu.
"Ada apa, Eruin, senyum-senyum sendiri begitu?" tanya Rini.
"Uhm, bukan apa-apa, kok. Oh iya, sebelumnya, maaf, semua meja sudah penuh dan pilihan yang tersisa cuma, kita duduk di tanah dengan beralas tikar, apa itu enggak apa-apa? Untuk tikarnya, tenang aja, kami sediakan gratis."
Di balik kekhawatiran Eruin, respon sahabat-sahabatnya cukup mengejutkan.
"Asalkan," ucap Euis.
"Bisa," ucap Rini.
"Bersama," ucap Rian.
"Dimana aja gak apa-apa, kok!" kalimat terakhir di akhiri oleh Beni.
Tak puas dengan respon empat orang, Bagas menambah. "Asalkan tempatnya layak dan bersamamu, aku rela."
"A – aska, responmu kok rasanya terdengar mengarah ke hal yang lain?"