Kembali ke satu hari sebelum festival dimulai.
Rini dan Euis berada dalam mobil hitam yang menjemput mereka dari kampung, dan mengantarkan mereka ke kota. Tujuan mereka adalah rumah Eruin.
Sesampainya di sebuah komplek perumahan yang besar, Rini dan Euis dibuat menganga.
Setiap rumah di komplek itu memiliki dua lantai. Tingginya sekitar 15 meter. Model dari rumahnya mengingatkan Rini dan Euis rumah para orang kaya yang ada di sinetron, atau memang komplek rumah ini yang dipakai dalam sinetron-sinetron itu?
Di saat mulut mereka berdua masih menganga, mobil tiba-tiba saja berhenti. Melihat ke jendela sebelah kanan, mereka menemukan Eruin berlari dari dalam rumah dengan hanya memakai gaun tidur one piece, menyambut mereka.
Sang supir yang merupakan penjaga berpakaian dan berkacamata hitam keluar dari mobil dan membukakan pintu sebelah kanan untuk mereka berdua.
Rini keluar duluan dengan menenteng tas berukuran sedang yang berisi pakaian.
Saat mereka berdua sudah keluar dan berdiri berdampingan, Eruin melompat, membentang kedua tangannya, memeluk Euis dan Rini.
"Welcome!"
Pelukan Eruin dilakukan dengan kekuatan yang lumayan, Rini dan Euis hampir jatuh ke belakang karenanya.
Di dalam pelukan Eruin, Rini yang satu-satunya menahan tubrukan berkata dengan sedikit marah. "Eruin, jangan tiba-tiba lompat gitu dong."
"Untung aja kamu menahan tubrukan ini, Rini, kalau aku sendirian pasti udah jatuh ke belakang."
Eruin melepas pelukannya lalu menjawab,"Ehehe, habisnya, ini pertama kalinya kalian berkunjung ke rumahku, jadinya aku seneng banget."
Eruin tersenyum bahagia kepada dua sahabatnya. Senyuman tulus itu, menyadarkan sesuatu di dalam hati Rini dan Euis. Itu adalah rasa bersalah. Padahal mereka sudah bersahabat sudah empat tahun lebih, tetapi baru kali itu mereka menyempatkan diri untuk bermain ke rumah Eruin.
Mungkin terdengar sepele, namun, bagi Eruin yang sudah tak memiliki seorang ibu, dan sepanjang hidupnya tak pernah serius berteman dengan orang lain, hal itu adalah salah satu momen paling membahagiakan baginya.
Melihat kebahagiaan itu di wajah Eruin, Rini dan Euis memandang satu sama lain, ikut tersenyum.
"Dah yuk, masuk ke dalem."
Dua tangan Eruin menarik satu tangan Rini dan Euis, menuntun mereka masuk ke rumah.
Saat mereka sampai di teras, Rini melihat pemandangan yang tak biasa. Berdiri seorang gadis yang umurnya tak jauh dari mereka, memakai pakaian pelayan bergaya victorian.
Pelayan muda itu berdiri dengan sangat anggun. Kedua tangannya dilipat. Matanya ditutup sewaktu mereka bertiga melewatinya.
Masuk ke dalam rumah yang besar dan luas, Rini dan Euis ternganga untuk yang kedua kalinya.
"Rumah kamu yang sebesar ini, ditinggali berapa orang, Eruin?" tanya Euis.
"Hm, kalau para pelayan dihitung, lima orang."
"Cuma lima orang?!"
Mendengar jawaban yang sepele itu, Rini meledak dalam pertanyaan. Dia hampir tak percaya, kalau rumah sebesar itu hanya ditinggali oleh lima orang. Padahal kalau di kampung, rumah yang hanya sebesar satu lantai rumah Eruin saja bisa muat untuk satu keluarga besar.
"Oh iya, maaf, padahal kalian baru aja datang, tapi aku sudah harus pergi. Tapi tenang aja, aku cuma pergi sebentar, kok. Setelah kepulanganku, kita akan bermain-main ke kampus sebentar, memperkenalkan kalian lingkungan kampus, karena besok waktunya Festival!"
Dengan niat yang tinggi itu, Rini dan Euis ditinggal oleh Eruin selama kurang lebih satu jam setengah. Setelah kepulangannya, dia mengajak dua sahabatnya itu berkeliling kampus sesuai janji.
Dengan kilas balik yang sebentar itu, kita pergi ke waktu festival, dimana Rini dan Euis sedang berdiri di tengah-tengah kerumunan yang mengelilingi band jalanan mahasiswa kampus.
Setelah melihat pertunjukan singkat dari band jalanan sebelumnya, Rini dan Euis istirahat sejenak di bangunan air mancur yang berada di tengah-tengah wilayah kampus.
Duduk di pinggir dinding penahan air, Euis merentangkan sedikit badannya. "Aaahh, capeknya!"
"Padahal kita cuma berjalan-jalan sebentar, tapi rasanya udah secapek ini."
Setelah meninggalkan tiga sahabat laki-laki, mereka sudah berjalan ke beberapa tempat dan melihat banyak hal yang menarik. Rasa puas sehabis bereksplorasi membuat mereka tertawa kecil.
Rini yang selesai tertawa melihat ke sekeliling, mungkin karena waktu itu sudah siang, jadi tak ada banyak orang yang ada di tengah taman yang tak banyak dilindungi oleh pohon.
"Gak terasa udah siang aja, ya. Eh, Euis, kamu ngapain?"
Sewaktu Rini memutar kepalanya untuk melihar Euis, Euis malah sedang merendam kedua tangannya di dalam air. Seperti anak kecil yang senang karena mendapatkan sensasi rasa dingin, Euis tersenyum lebar padanya.
"Ehehe, habisnya panas."
"Tapi gak perlu main-main air juga, kan." Rini berdiri sambil menarik tubuh Euis. "Ayo cari tempat yang teduh, terus kita beli minuman."
"Oke."
Menyingkir dari tengah taman, Rini menuntun Euis untuk mencari tempat yang lebih teduh.
Sambil berjalan dia melihat-lihat sekitar. Sebenarnya ada cukup banyak tempat yang teduh, namun dia tak bisa meninggalkan Euis sendirian. Karena niatnya, dia akan menyuruh Euis untuk istirahat sebentar di saat dia mencari minuman untuk mereka.
Di belakang, Euis mengikuti Rini dengan ekspresi kelelahan. Kakinya juga sudah terasa cukup berat karena sejak pagi tadi mereka belum ada istirahat.
Saat mereka sudah sampai cukup jauh dari kerumunan, Rini berhenti. Tampaknya mereka berada di salah satu sudut dari halaman petak kampus.
Tempat itu tak ada banyak orang. Beberapa panitia juga nampak berada di beberapa kelompok mahasiswa yang istirahat tak jauh dari lokasi mereka.
"Oke, kamu tunggu di sini. Aku pergi sebentar cari minum."
"Oke."
Karena kelelahan, Euis tak bisa memberikan jawaban lain. Setelah genggaman Rini dilepas, dia juga langsung duduk di pinggiran dinding pot bunga yang terbuat dari semen.
Merasa Euis akan baik-baik saja kalau ditinggal sebentar saja, Rini langsung berlari mencari sesuatu yang bisa mereka minum. Dari belakang, Euis melambaikan tangan ke punggung Rini yang semakin jauh darinya.
Rasa nyaman seketika langsung merambah ke seluruh tubuh. Rasa lelah juga sedikit demi sedikit mulai menghilang. Euis menarik nafas panjang, menyegarkan diri.
Sewaktu Euis sedang berusaha diam menenangkan diri, suara seseorang mencapai telinganya.
"Sendirian aja, neng?"
Sontak Euis terkejut. Karena suara itu cukup dekat dengannya. Lalu dengan tiba-tiba, tiga orang laki-laki muncul di hadapannya dari belakang.
Tiga orang laki-laki itu mengeluarkan aura mengintimidasi yang membuat Euis takut. Tak tahu apa yang harus dilakukan, Euis memilih menunduk dan diam.
Tiga orang yang datang untuk mengganggunya tampak lebih dewasa darinya. Umur mereka sekitar 25-an ke atas.
Salah satu yang bertanya padanya memakai jaket jeans, ikat kepala merah dan berwajah menyeramkan. Di belakangnya, dua teman yang memakai jaket jeans sama sepertinya, namun tak memiliki keistimewaan yang perlu di deskripsikan.
"Neng, kalau ditanya dijawab,dong."
Yang memberi pertanyaan sebelumnya memaksa. Dia bahkan sampai membungkukkan tubuhnya untuk melihat wajah Euis.
Diperlakukan tidak senonoh seperti itu, tentu saja membuat bulu kuduk Euis bergetar. Seluruh tubuhnya sampai kaku dan dia tak bisa berbuat apa-apa.
"Apa dia bisu?"
"Bukannya tadi dia bicara dengan temannya itu?"
"Ooh, dia cuma malu-malu kucing. Ayolah neng, kami gak menggigit, kok."
Si pemaksa saking memaksanya sampai jongkok agar bisa melihat wajah tegang Euis dengan cukup jelas. Dari bawah, pemaksa itu tersenyum puas dengan lebar. Memperlihatkan kengerian dan rasa jijik dari wajahnya.
Euis yang tak tahu dan tak bisa melakukan apa-apa masih diam. Menundukkan kepala sampai batasnya. Tak tahan berada di situasi itu, dia bahkan hampir menangis. Dalam hati dia sangat berharap, 'Rini, cepat datang'.
Ketika keadaan berada di tingkat yang tak tertahankan, untung saja seseorang datang untuk menyelamatkan.
"Maaf, abang-abang, kayanya kakak itu gak nyaman, jadi bisa kalian tak mengganggunya."
Suara itu seperti tak asing di telinga Euis.
Tiga pria yang menggoda Euis merasa terganggu. Jadi mereka berdiri dan menghadap Jidan, seseorang yang secara kebetulan menemukan Euis diganggu oleh mereka.
"Maaf, kaka, tapi kami cuma mau ngajak neng itu ngobrol, gak ada niatan untuk mengganggu, kok."
"Tapi sikap mengintimidasi kalian membuat kakak itu gak nyaman, jadi, sebagai panitia – "
"Bla bla bla, kami cuma mau ngajak neng itu ngobrol, kau dengar gak sih!"
Meskipun Jidan berniat untuk berbicara baik-baik, namun tiga laki-laki yang tak memiliki nilai moral itu tak mau mendengarkan. Bahkan mereka mulai menumbuhkan ekspresi menantang pada Jidan.
Menghadapi situasi yang tidak enak itu, pertama Jidan menarik nafas panjang. Menenangkan diri. Lalu setelah dia kembali fokus ke tiga orang itu, sebuah siluet yang mengeluarkan aura hitam berdiri di belakang mereka.
Jidan dibuat sedikit terkejut. Karena ekspresi Jidan yang tak terduga itu, trio pengganggu juga penasaran. Mereka memutar kepala ke belakang untuk melihat siapa yang berusaha melawan mereka, namun salah satu dari mereka. Yang berdiri di tengah dan yang paling mengganggu Euis tak bisa memutar kepalanya, karena kedua kakinya dijegal, lalu kepalanya di cengkram sangat kuat.
"Adededede!"
Si pengganggu dibuat bersujud dan kepalanya di cengkram oleh Rini.
"Oi keparat, Euis belum kutinggal selama lima menit kalian udah berani mau ganggu dia, ha?!"
"Adododoh, ampun! Ampun! Pecah, kepala, pecah!"
Cengkraman Rini berkekuatan hampir seratus kilo, dan dengan cengkraman itu, dia mengeluarkan seperlima kekuatannya untuk mengintimidasi tiga penganggu.
Melihat salah satu teman mereka terlihat sedang berada di ujung maut, dua pengganggu menyerah. Rasa takut dan juga aura intimidasi yang mereka keluarkan menghilang seketika.
"Mas-mas-mas, udah, iya, kami minta maap!"
Mungkin karena perawakan, gaya rambut, kekuatan dan aura Rini, dia dikira sebagai anak laki-laki oleh salah satu pengganggu.
Mendengar permintaan maaf dengan rasa takut yang memuaskannya, Rini melepaskan cengkraman kepala korbannya. Setelah dia melepasnya, tanpa basa-basi dua penganggu menarik lengan temannya lalu berlari menjauh sambil berteriak, "Awas kalian, ya!"
Dengan pemandangan yang tak biasa itu, Jidan terkejut. "Wah, gak kusangka Bagas punya teman yang sangat kuat seperti itu. Apalagi dia seorang perempuan."
Perkataan Jidan seperti pujian, sekaligus rasa terkejut karena takut kepada Rini.
"Yah, itu gak ada apa-apanya, sih."
Rini memberikan jawaban sambil memutar ke belakang, berjalan menuju Euis yang masih dalam keadaan ketakutan.
Dengan kedua tangan memegang gelas minuman, Euis memeluk Rini dengan rasa sangat bersyukur dan juga sedih.
"Rini."
"Udah-udah, cup-cup-cup."