Chereads / Pengantin Lima Ratus Juta / Chapter 33 - Festival Musim Panas Part 8

Chapter 33 - Festival Musim Panas Part 8

Beni dan Rian akhirnya berhasil keluar dari kios dengan kesuksesan besar. Meskipun salah satu dari mereka bertiga masih merasa trauma akan kejadian yang tak terduga, setidaknya mereka bertiga diberikan kesempatan untuk beristirahat.

"Gak ada yang mau beli jualanku. Itu artinya aku gagal sebagai seorang entrepeneur. Habis sudah impian dan cita-citaku."

Di saat akhirnya mereka bertiga bisa saling berhadapan, salah satunya terus mengucapkan kata-kata suram yang membuat suasananya semakin berat.

"Maaf, Eruin, aku gak bisa menempati janjiku."

"COK! Ini belum berakhir!"

Di sela-sela suasana yang berat, Beni berteriak kencang. Kemarahannya sampai dilirik sejenak oleh orang-orang di sekitar mereka.

Dengan penuh keyakinan dan semangat, Beni berdiri tepat di hadapan Bagas yang menunduk frustasi. Kedua tangannya dinaikkan ke atas, lalu dengan kekuatan yang lumayan, dia memukul bahu Bagas dan berteriak lagi.

"Kalau cuma sekali dua kali gagal itu udah biasa!"

"Tapi, aku gak pernah gagal dalam hidupku. Kalau aku gagal sekali, itu artinya aku gagal seumur hidup."

"Pesimis optimis banget dah ni anak!"

Apapun yang dikatakan Beni, Bagas nampaknya takkan bisa terpengaruh untuk merasa lebih baik. Karena alasan itu, yang bisa mereka lakukan hanya satu.

-

Di saat yang sama. Jidan, Rini, dan Euis berjalan berbarengan. Tujuan mereka adalah wilayah Fakultas Seni Rupa dan Desain.

"Terima kasih ya, Jidan. Sebenarnya kemarin kami sudah diberikan guide tour oleh Eruin, tapi karena kampus ini lumayan besar, kami jadi lupa lokasi di mana mereka membuka cafe mereka."

Euis yang sudah merasa baikan, mengucapkan rasa terima kasih karena Jidan sudah mau meluangkan waktu untuk mengantar mereka.

"Bukan masalah. Lagipula, ini juga salah satu tugas panitia acara. Untuk menjadi pemandu bagi mereka yang tak tahu arah."

Pian yang tak merasa keberatan tersenyum cerah.

Saat itu mereka sudah berjalan selama lima menit menuju lokasi. Lamanya waktu yang dibutuhkan disebabkan karena jalan menuju lokasi lumayan ramai pengunjung. Jadi mereka mendapatkan beberapa kesulitan untuk berjalan maju.

Rini dan Euis berjalan bergandengan seperti sebelumnya, dan Jidan berjalan di depan sebagai pemandu.

Di saat perjalanan mereka sudah terasa cukup dekat, Rini menyadari sesuatu. "Gak kusangka, jurusan seni rupa dan desain yang paling banyak mendapatkan pengunjung, ya."

"Ya, itu karena jurusan ini yang paling banyak mempersembahkan atau membuka kios jualan yang tak biasa. Contohnya aja, Cafe Pelayan yang Eruin ikuti."

Jidan sebagai pemandu menjelaskan sedikit tentang situasinya.

"Dan bukan cuma Cafe Pelayan yang menarik banyak pengunjung. Drama teater, pembacaan puisi, dan juga persembahan akting jalanan juga membuat area ini jadi yang teramai."

Di saat Jidan menjelaskan lebih detail, Rini dan Euis mendapatkan pemandangan di mana ada tiga orang yang melakukan akting di bawah pohon dekat dengan posisi mereka.

Seperti yang Jidan beritahu, pertunjukan itu menarik banyak orang untuk melihat mereka. Ditambah pertunjukan yang dipersembahkan juga terlihat menarik.

Sewaktu Rini dan Euis terpaku akan pertunjukan jalanan itu, Jidan tiba-tiba menghentikan langkah mereka dan berkata, "Oke, kita sudah sampai."

Mereka berhenti berjalan di ujung koridor yang mengarah ke sebuah taman dan ruangan yang terdapat banyak meja yang terpasang, dan banyak pengunjung yang menduduki meja-meja itu.

Di beberapa tempat di restauran terbuka itu, Rini dan Euis mendapatkan pemandangan di mana ada beberapa wanita yang memakai kebaya. Para wanita berkebaya itu melayani para tamu layaknya seperti mereka melayani seorang tuan.

Melihat sesuatu yang tak biasa itu, Euis bergumam, "Ooh, Cafe Pelayan ala Indonesia!"

Meskipun Rini sedikit bingung kenapa Euis memasukkan kata 'ala Indonesia', setidaknya dia mengerti kalau poin dari cafe itu adalah para pelayannya memakai kebaya.

Pandangan mata mereka sedikit tergoda dengan pemandangan di mana ada cukup banyak wanita yang memakai kebaya. Hal itu tentu saja cukup menggoda mata.

Ada cukup banyak wanita-wanita yang didandan cantik untuk menarik pelanggan. Salah satunya adalah Eruin.

"Ah, Er – "

"Si Pemarah dari Gunung Maroh!"

Tepat saat Rini ingin memanggil Eruin, suara seseorang yang tak asing menduluaninya.

Itu adalah Beni, yang berdiri di depan dua sahabatnya. Berakting aneh seperti dia telah menemukan musuh bebuyutan.

"Jadi kau sudah mengetahui pergerakan kami, karena itulah kau menunggu kami disini," ucap Beni.

"Aku gak tahu apa yang kau maksud, Aceng, tapi aku disini untuk mengantarkan dua sahabat kalian ini."

"Jangan panggil nama depanku dengan mudahnya, bangsa - , hm, Rini, Euis."

Kemarahan Beni teralihkan saat dia melihat sosok Rini dan Euis yang berdiri di belakang Jidan.

Rini memberikan senyum ke tiga sahabatnya. Euis melambaikan tangan sambil tersenyum cerah dengan rasa takut yang masih tersisa.

Pemandangan tidak enak yang ada pada Euis mengundang Rian untuk berjalan mendekat ke arahnya. Rian yang berjalan mendekat ke Euis mengundang sebuah perasaan tidak enak ke Rini dan Beni, Jidan juga sedikit tidak menyangka hal itu.

Saat Rian sudah berada di depan Euis dan Rini, dengan wajah datar yang tak bisa dibaca pikirannya, dia bertanya, "Kau gak apa-apa?"

Rini dan Beni merasakan perasaan yang tidak enak kalau Euis mengatakan sesuatu yang bisa mengundang sesuatu keluar dari Rian.

"Eh, enggak apa-apa kok. Aku cuma kecapekan aja."

Untung saja, Euis bisa tersenyum sambil menjawab alasan yang membuat mereka tak terlalu khawatir. Walaupun Beni juga tahu, Euis sudah mengalami sesuatu yang tak enak untuk didengar.

"Gitu, ya."

"Hu'um, jadi kamu gak perlu khawatir."

Pemandangan di mana Euis berusaha menenangkan Rian, seperti seorang gadis cantik di dalam sebuah cerita yang tak ingin membuat penjaganya marah.

Meskipun Euis dan Rian tak menyadari hal itu, Beni, Rini dan Jidan merasa sedikit bersyukur semuanya berjalan cukup tenang.

"Hei, kalian!"

Saat senyap melanda beberapa detik, seseorang memanggil mereka semua.

Itu adalah Eruin yang memakai kebaya bermotif bunga matahari berwarna kuning. Paduan antara pakaian dan warna rambutnya terlihat sangat cocok. Ditambah rambutnya saat itu dipakaikan sanggul yang membuat aura kebangsawanan entah bagaimana keluar darinya.

Empat orang sahabat yang masih memiliki kesadaran melihat Eruin dengan hati yang tercerahkan. Bahkan Jidan tak memungkiri, dia cukup tergoda dengan pemandangan indah itu.

Eruin datang ke arah mereka dengan berlari kecil. Dua sahabat perempuannya memisahkan diri dari kelompok dan menyambut Eruin.

Saat mereka sudah saling berdekatan, seperti biasa, Euis dan Eruin menyatukan kedua tangan masing-masing lalu merasa sedikit girang.

"Eruin! Padahal ini bukan pertama kalinya aku ngeliat kamu pakai kebaya, tapi tetap aja, kamu cantik banget!

"Hm hm, kamu jadi bener-bener terlihat kaya bangsawan."

"Ehehe, masa sih."

Tepat di saat tiga gadis saling bercengkrama, di belakang mereka, dua pemuda yang serius saling berbicara.

"Jidan, katakan sejujurnya, apa yang udah terjadi dengan, Euis?"

Meskipun Euis berkata pada Rian, dia tidak apa-apa, insting Rian tetap mengatakan kalau sudah terjadi sesuatu pada Euis, dan dia sangat ingin tahu itu.

Di sebelahnya, Jidan cukup merasa khawatir kalau dia langsung memberitahu Rian faktanya. Karena itu, dia mengalihkan pembicaraan mereka sebentar.

"Eehh, gimana kalau kita istirahat dulu. Baru setelah itu, kita akan bicarakan bersama dengan beberapa anggota lain."

Jidan merasa Rian bisa saja jadi brutal kalau dia mau. Namun dia tetap memiliki kendali diri yang cukup kuat. Karena itu Rian mengiyakan usulan Jidan dalam diam.

Tepat di saat Jidan dan Rian sedang berbicara, di samping mereka, Beni berusaha memperbaiki suasana hati Bagas.

"Cok! Lihat itu, Eruin, dia cantik banget pake kebaya!"

Di samping Bagas yang masih menundukkan kepala, murung, Beni berteriak bersemangat.

Bagas memang bukan seorang pemuda yang mudah patah semangat. Namun dia sangat mudah untuk mendapatkan stress ketika dia pikir suatu pekerjaan itu mudah, yang dia dapat malah kegagalan total tanpa bisa menjual sebiji keripikpun. Hal itu membuatnya sangat syok.

Akan tetapi, ketika sebuah nama dari seseorang yang dia cintai disebutkan, seonggok jaringan dalam kepalanya bereaksi.

Bagas mengangkat kepalanya, dan dari dalam matanya yang kosong, dia bisa melihat Eruin sedang tertawa, pemandangan yang sangat indah.

Eruin seperti bintang yang bersinar dalam kegelapan hatinya. Hal itu membuat Bagas berjalan dengan ekspresinya yang masih kosong.

Dari belakang, Beni cukup senang kalau akhirnya Bagas bisa mengembalikan suasana hatinya. Dari depan, tiga gadis yang masih bercengkrama menyadari keberadaan Bagas dan langsung diam sejenak. Walaupun mereka sedikit terkejut dengan kondisi Bagas yang entah kenapa sangat murung.

"A – aska, kamu kenapa?"

Eruin bertanya di saat Bagas berjalan mendekat. Sedikit takut, Eruin berusaha mendekati Bagas dengan tangan terbuka. Lalu saat mereka berdua sudah berdekatan, Bagas tiba-tiba saja menggenggam kedua tangan Eruin.

"E – eh, Aska?"

"Oh God, apa ini mimpi? Karena aku melihat malaikatmu sedang mencoba menarikku ke surga."

"Malaikat? Surga? Eehh, Aska, kamu baik-baik aja, kan?"