Chereads / Pengantin Lima Ratus Juta / Chapter 36 - Musim Panas di Tepi Jembatan

Chapter 36 - Musim Panas di Tepi Jembatan

Tiga tahun sebelum waktu sekarang.

Rini yang masih memakai pakaian sekolahnya sedang menuju ke kampung sebelah, mengantarkan seorang pemuda seumurannya yang memiliki beberapa luka lebam di wajah.

Waktu itu masih bulan agustus, dan langit cerah dengan terik matahari yang menyerang membuat mata sakit kalau melihat ke atas.

Pemuda yang bersamanya dalam keadaan yang cukup buruk. Satu kancing bajunya copot dari tempatnya. Satu tangan dari tasnya juga sobek jadi dua. Beberapa tempat di baju dan celananya kotor akan tanah.

Melihatnya membuat hati kecil Rini cukup tersakiti. Karena pemuda itu adalah salah satu dari beberapa orang yang dia sayangi.

"Lu beneran gak apa-apa, Dan?"

Dani Purnawingga. Salah satu dari kelompok sahabat. Namun karena dia tinggal di desa sebelah, dan tak punya banyak waktu untuk bermain, dia jadi jarang bersama dengan kelompok.

Dani yang tentu saja memiliki harga diri sebagai seorang pria, tersenyum cerah meskipun dia mau menangis. "Hm, enggak kok. Udah biasa soalnya."

Udah biasa. Dua kata itu membuat hati Rini seperti disayat ketika mendengarnya.

Memang, Dani anak yang pendiam dan tak menghabiskan banyak waktu untuk bergaul seperti anak-anak seusianya. Hal itu menjadi salah satu faktor kenapa dia menjadi sasaran yang empuk sebagai bahan perundungan.

Namun dia melakukan hal itu karena ingin fokus menghabiskan waktunya untuk belajar. Keluarganya miskin dan tak punya banyak biaya untuk menyekolahkannya. Dia bisa bertahan di sekolah yang terbilang memiliki biaya yang cukup mahal, juga karena dia salah satu murid berprestasi yang mendapatkan beasiswa. Keluarga Bagas yang juga dekat dengan keluarganya juga bersedia membantu kalau dia memiliki masalah finansial, meskipun begitu, tetap saja...

Rini menundukkan kepalanya. Berpikir, kalau saja dia datang lebih cepat untuk menghentikan perundungan yang menimpa Dani, mungkin saja lukanya takkan separah ini.

Marah, kesal, sedih, bercampur menjadi satu di dalam hatinya. Tangannya di kepalkan. Taring sebelah kanannya menggigit bibirnya.

Pemandangan yang tak biasa itu membuat Dani merasa bersalah.

"H – hei, kau gak perlu semarah itu. Lagipun ada saksi yang bakal memberitahu guru tentang kejadian tadi."

Dani berusaha mempertahankan senyumnya pada Rini yang mulai mengeluarkan aura aneh. Lalu, tepat di saat mereka akan melewati jembatan kecil pembatas desa, Rini tiba-tiba saja berhenti.

"A – ada apa?"

Rini yang sebelumnya masih menunduk, tiba-tiba mengangkat wajahnya, dan memperlihatkan ekspresi serius. Seperti dia telah memikirkan sesuatu dengan matang. Jujur, Dani tak suka karakter ceria dan gampang memukul seperti Rini menunjukkan ekspresi itu.

Karena kalau Rini sudah serius, dia pasti sedang memikirkan sesuatu yang tak biasa dan cukup mengkhawatirkan.

"Dan, gimana kalau kita pacaran aja."

Satu kalimat sederhana itu berhasil membuat Dani mematung. Senyuman terpaksanya berubah menjadi, 'Hm? Kenapa?', yang tak tersuarakan.

Melihat Dani tak kunjung menjawab, rasa malu memuncak sampai ke atas kepala Rini.

"Jangan salah sangka! Maksudku, ini cuma sebagai ... uhh, kedok? Iya! ini cuma sebagai penyamaran aja!"

Penyamaran, kenapa?

"Kalau kabar kita berpacaran udah tersebar, pasti orang-orang yang menjahilimu bakal merasa was-was dan berpikir dua kali untuk menjahilimu. Maksudku, aku pernah menghajar mereka walaupun kita cuma teman kan, jadi, kalau status kita berpacaran, mereka pasti bakal lebih berhati-hati untuk menaruh tangan mereka ke dirimu."

Berbagai macam perasaan yang rumit menyerang pikiran dan perasaan Dani secara langsung.

Maksudku, kenapa dia harus mengatakan semua hal memalukan itu. Ya, aku senang sih dia menghajar orang-orang yang menggangguku waktu itu. Dia bilang, walaupun status kita cuma teman jadi dia menolongku. Tapi bukannya wajar seorang teman membantu temannya. Dan juga...

"Maksud dari, 'kalau kabar kita berpacaran udah tersebar', itu, kau mau meresmikan hubungan kita dan memberitahu semua orang tentang itu?"

Perkataan Dani ada benarnya, atau bisa dibilang, memang begitulah rencananya. Namun, satu hal itulah yang terlambat disadari oleh Rini dan membuat wajahnya berubah merah tomat sekali lagi.

"Y – ya! Itu! Memang sih... tapi... eeehhh! Ituu! Ungghh! Aaaahhh! Aku pusing!"

Menyerah akan pemikirannya, Rini jongkok dan menyembunyikan ekspresi yang datang hanya sekali seumur hidup itu.

Di tepi jembatan yang dibawahnya mengalir sungai kecil jernih dengan bebatuan yang indah, dua insan muda bertarung dengan hati mereka.

Dani yang masih berdiri melihat Rini dengan senyum heran. Rini yang tak tahu apa yang baru saja dia katakan tak mau menampakkan wajahnya. Situasi itu berlangsung beberapa saat sampai Dani membuka mulutnya untuk berbicara.

"Rini, aku berterima kasih karena kebaikanmu. Tapi kupikir, situasi kita yang sekarang udah cukup baik bagiku."

Dani mengucapkan setiap kata dengan nada yang lembut. Seperti dia sedang membujuk anak kecil yang ngambek karena sesuatu yang dia ingin tak dibelikan.

"Walaupun kita cuma sekedar teman, tapi kita tetap dekat satu sama lain, kan. Maaf karena aku gak bisa menghabiskan banyak waktu dengan kalian. Maaf juga sudah membuat kalian khawatir karena aku terus saja jatuh ke jebakan mereka yang mau berbuat jahat padaku, tapi, Rini, kupikir itu hal yang wajar. Wajar karena aku tak seperti mereka. Mereka melihatku sebagai sesuatu yang tak biasa, karena itulah mereka mau berbuat sesuatu padaku. Aku udah tahu hal itu, dan karena hal itulah, aku masih bisa berjalan maju sampai sekarang. Jadi..."

Kata-kata Dani yang belum selesai terhenti karena isakan tangis kecil Rini. Dia mulai panik karena berpikir telah berkata sesuatu yang tak mengenakkan, namun sepertinya bukan itu masalahnya.

Rini menaikkan sedikit kepalanya, membuat celah agar suaranya bisa keluar.

"Mulai besok, kau gak boleh pulang sendirian. Seenggaknya, jangan sampai keluar dari kaki bukit."

Perkataan Rini memiliki niat mengisyaratkan Dani. Setidaknya dari kata-kata yang diucapkan dengan beberapa isakan itu membuatnya mengerti, kalau Rini sedang mencoba membantunya.

Sesuatu di dalam dada Dani tiba-tiba terasa sakit. Dadanya juga mulai terasa sesak. Entah kenapa, dia juga merasa ingin menangis.

Menahan tangisan yang tak boleh keluar, Dani tersenyum dan menampar pipi kanannya dengan kuat. Tamparan yang menimbulkan bunyi yang lumayan itu mengundang Rini untuk keluar dari cangkangnya.

Wajah dari gadis tomboy yang selalu terlihat garang dan menantang, kali itu terlihat sangat manis dan tak berdaya, dengan beberapa tetes air mata turun dari pipinya. Dani sampai terpaku beberapa detik dibuatnya.

Menyadari kalau Rini menatapnya dengan ekspresi heran, Dani langsung salah tingkah. "E – eehh, maaf, tadi aku ngebicarain hal yang gak enak didengar. Ahahahaha!"

Dani menggaruk-garuk rambutnya dan memaksakan tawa di dalam suasana yang sangat canggung itu. Di depannya, Rini sekali lagi menunduk.

Dani merasa bersalah karena dialah yang membuat gadis tangguh itu meneteskan air mata. Melangkah ke depan Rini, jongkok dan memanggil, "Rini.", Dani mengusap air mata Rini dengan tangan kanannya, "Udah kubilang kan, aku gak apa-apa."

Rini yang sedikit mendongak untuk melihat Dani, dan tiba-tiba saja pemuda itu menunjukkan senyum yang mengatakan kalau dia kuat, membuat Rini jadi kesal.

"Kalau kau ada waktu untuk tersenyum sok kuat begitu, lebih bagus kalau kau ikut latihan silat babe."

"Ehehe, kalau itu, entahlah. Kan aku udah pernah ikut sekali, tapi badanku gak cocok untuk bergerak seluasa gerakan-gerakan silat yang ayahmu ajarkan."

Ajakan Rini mengingatkan Dani akan satu hari yang sulit dalam latihan silat yang diajarkan si babe, ayah Rini. Latihan keras di mana dia diperintahkan untuk push-up 100x, sit-up 100x, dan lari 10km dalam sehari, setelah itu dia diperintah untuk menguasai gerakan-gerakan yang diajarkan. Hari itu menjadi satu dari beberapa hari yang tak ingin Dani ingat atau ulangi.

Meskipun begitu, Rini tetap tak menyerah untuk meyakinkannya.

"Babe memang bego dalam mengajar! Dia memukul rata semua muridnya, dan tak memikirkan kekuatan dan batasan individu! Karena itulah dia mulai kehilangan semua muridnya! Tapi, tapi... kalau kau mau ikut latihan itu lagi, kali ini aku yang bakal mengajarimu. Jadi..."

Isak tangis Rini berubah menjadi rasa malu yang tak terucapkan. Kedua pipinya memerah entah kenapa. Melihat sesuatu yang tak biasa itu, sesuatu dalam dada Dani sekali lagi memukulnya.

Suasana yang canggung lagi-lagi mengisi ruangan. Bahkan ketika Rini ingin melakukan kontak mata dengannya, hatinya tak bisa menahan rasa sakit itu, jadi dia melirik ke arah lain sambil menjawab.

"Uuhhh, yaahh, gimana ya, hmmm. Okelah. Kalau kamu yang mengajari, pasti semuanya bakal baik-baik aja, kan."

Dani mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum cerah. Rini yang melihat senyum yang tak pernah dia lihat itu merasa terkejut, dan membuatnya membuang mukanya ke samping dan merespon, "U - un."

*

Makan siang sudah selesai. Perut sudah terasa kenyang dan pikiran juga kembali segar. Di bawah pohon rindang yang melindungi mereka dari terik matahari, Rini melamunkan hari-hari indah. Suara Euis sampai dihiraukannya dalam beberapa saat.

"..ni, Rini.. Rini!"

"E – eh, iya, kenapa, sayang?"

Rini yang tiba-tiba saja melamun seperti itu, membuat Euis menggembungkan kedua pipinya karena kesal.

"Kamu ini, lagi ngelamunin apa, sih?"

"Hng, eehh, gak ada kok. Mungkin karena perutku kenyang, jadi aku harus hibernasi sebentar."

"Hibernasi kok di musim panas begini?"

Pertanyaan Euis hanya bisa dijawab dengan senyum dan tawa kecil.

Di saat yang sama, suara ponsel berdering datang dari saku celana Bagas. Eruin mengambil smartphone yang pemiliknya sedang tertidur itu, dan sedikit terkejut ketika melihat siapa yang sedang menelepon.

"Dani!"

Yang menghubungi Bagas siang bolong begitu adalah seorang sahabat yang sedang tak bersama mereka. Rasa terkejut Eruin juga mengundang rasa penasaran Euis, Beni dan Rian.

"Eh, Dani? Mana, mana!" Euis menerjang ke depan.

"Tumben itu anak ngehubungi siang bolong begini." Rian cukup terkejut.

"Heleh, palingan juga dia kangen voice call doang, jyjyk tahu gak." Beni yang sedang santai tiduran sambil ngupil tak heran dengan kejadian itu.

Komunikasi lewat voice call yang diminta Dani langsung diterima oleh Eruin.

Ketika komunikasi lewat video mulai terhubung, seseorang yang berada di tempat yang berbeda dibuat cukup terkejut oleh pemandangan dua gadis yang menerima teleponnya.

"...loh, Eruin, Euis!"

"Hai, Dan!"

"Daniii, lama gak jumpa!"

Dua gadis yang bertatapan jauh lewat smartphone merasa girang, setelah sekian lama tak melihat sahabat mereka satu itu.

Di sisi lain, Rini, entah kenapa malah membuang mukanya, membelakangi Eruin dan Euis yang sedang bertatapan dengan Dani.