Selepas para tokoh utama tercinta kita menghabiskan waktu untuk makan, mereka mengambil posisi masing-masing untuk bersantai.
Umumnya mereka semua hanya bersila di tempat masing-masing, namun satu orang tokoh laki-laki yang jancox kita memilih tempat yang spesial.
"Oi oi, nih anak mentang-mentang pacarnya ada di tempat, main enak aja dia," ucap Beni dengan nada iri.
"Seperti biasa, dia pasti mengambil posisi yang paling enak untuk bersantai kalau kita lagi ngumpul." Rini yang bersikap paling dewasa di antara seluruh anggota grup tak bisa berkomentar apa-apa lagi.
"Ckck, padahal dia yang umurnya paling tua di antara kita, tapi dia pula yang bersikap paling manja." Euis menggeleng melihat pemandangan yang cukup memalukan itu.
"..." Ini Rian, seperti biasa, dia tak banyak bicara kalau mereka semua berkumpul. Namun diamnya yang sambil melihat ke arah Euis itu mengundang rasa penasaran sekaligus terkejut.
"R – Rian, ada apa?!"
"Kau keliatan capek. Mau dipangku kaya begitu juga?"
"HA!"
Mendengar kalimat yang tak terduga dari Rian itu membuat Euis meledak dalam rasa terkejut. Namun dengan cepat dia memperbaiki diri dan menjelaskan situasinya.
"Eh, eng – enggak perlu, lagipun, rasanya cukup malu kalau dilihat begitu."
Begitu. Satu kata yang mendeskripsikan perilaku Bagas yang tidur di pangkuan Eruin dengan santainya.
Di atas paha Eruin yang dibentangkan ke depan, Bagas meletakkan kepalanya. Ekspresinya terasa seperti dia baru saja bisa tertidur dengan sangat nyaman setelah satu bulan.
Dari atas, Eruin bisa melihat Bagas yang menutup mata dengan bekas wajah yang sangat kelelahan. Tengkorak wajahnya semakin terlihat jelas setelah Eruin tak melihatnya langsung selama tiga minggu. Di sekeliling matanya juga terlihat cukup jelas warna hitam kulitnya. Seperti dia mulai berubah menjadi sesosok panda.
Pemandangan yang tak mengenakkan itu mulai menyayat hati Eruin. Wajahnya sayu setiap kali dia membayangkan betapa keras Bagas telah bekerja keras demi dirinya.
Dalam pikirannya dia berkata, 'kalau aja aku gak terlahir dari orang tua yang...'. Beberapa perandaian mengenai asal mula kondisi mereka saat itu terus menyayat perasaannya.
Padahal akhirnya mereka bisa mengulang hari yang sama seperti musim panas waktu itu. Tetapi kenapa kondisi mereka menjadi lebih buruk.
*
Musim panas tahun 2019.
Berlokasi di halaman belakang rumah kepala desa. Tepatnya berada di bawah pohon jati yang tingginya tujuh meter, enam orang anak muda yang masih memakai pakaian SMA mereka berdiri di bawah bayangan dedaunan yang luas diameternya sekitar sepuluh meter.
"Cuk, ini tiker kita bentangin dimana?"
"Hm, tikernya kan ada dua, bentangin di mana aja yang penting deketan. Lagipun permukaan tanahnya dipenuhi rumput, jadi ga perlu ada tiker juga ga apa-apa."
"Ahsyap."
Dua orang pemuda, yang satunya kelahiran Jepang Sunda, dan yang satunya kelahiran Jawa Belanda, saling membantu membentangkan tikar sebagai persiapan piknik kecil-kecilan mereka.
Mereka berdua adalah Beni dan Bagas yang masih polos dan suci dan yang masih memiliki rambut hitam dan tubuh yang lebih segar.
Di belakang mereka, dua orang gadis – yang satu memiliki rambut pendek dan terkesan jantan, dan yang satunya memiliki rambut pirang panjang– menyuarakan suara mereka ke Bagas dan Beni.
"Hei, lu berdua bego apa, jangan asal bentangin tikarnya dong! Tanah di sekitar pinggir pohonnya gak rata soalnya!"
"Bagas, walaupun permukaan tanahnya dikelilingi rumput, tapi kita masih harus sekolah besok!"
Yang menyuarakan komplain ke Bagas dan Beni adalah gadis kelahiran Betawi asli, Rini dan gadis kelahiran Jawa British, Eruin. Masing-masing di antara mereka membawa keranjang berisi cemilan yang dibawa dari rumah. Merasa kesal ke dua orang pemuda yang masa bodoh dengan atur-atur letak.
"Tuh kan, cuk, apa kubilang."
"Kau gak bilang apa-apa, bangsat."
Tepat setelah mereka mulai membentangkan tikar di satu tempat dengan asal-asalan, ujungnya mereka malah harus mencari tempat yang pas lagi.
Pemandangan yang menggelikan itu mengundang rasa tawa dari seorang gadis sunda.
"Hahaha, kamu gak mau ikutan mereka, Ian?"
Tawa gadis sunda itu diarahkan ke seorang pemuda kelahiran Batak Melayu yang masa bodoh dengan pemandangan dua sahabat laki-lakinya.
"Cukup satu film aja yang berjudul Trio Idiot, jangan jadi dua."
"Hahaha! Padahal di sekolah kamu sering ngelakuin hal lucu dengan mereka berdua. Malu-malu kucing, begitu."
"Jangan mengganti kata kelakuan-kelakuan idiot itu dengan hal lucu."
Rian terus menolak kata-kata indah yang datang dari Euis. Meskipun begitu, Euis tetap tertawa karena masih menganggap Rian malu-malu kucing dalam menanggapi kelakuan lucu yang sudah Rian perbuat dengan kedua sahabatnya.
Euis datang dengan membawa satu plastik berisi cemilan yang dia bawa dari rumah. Untuk Rian, kelima sahabatnya memohon permintaan agar dia membelah beberapa buah kepala muda di belakang rumahnya untuk dijadikan minuman, dan disitulah dia, memegang satu ceret besar penuh berisi air kelapa muda dengan daging kelapanya – degan – di dalam, satu tangannya lagi juga memegang satu plastik berisi enam cangkir milik Euis.
Di dalam momen yang hanya datang beberapa kali dalam setahun itu, keenam sahabat akhirnya bisa berkumpul dan menikmati piknik kecil yang sudah lama mereka rencanakan.
Setidaknya sebulan yang lalu, masing-masing dari mereka terus menghubungi satu sama lain untuk mengkonfirmasi bisa atau tidaknya mereka semua berkumpul bersama. Karena meskipun mereka belajar di satu sekolah yang sama, perbedaan kelas dan keikutsertaan ekstrakulikuler membuat mereka terkadang tak punya waktu untuk bersama.
Namun setelah sekian lama, perkumpulan yang dinanti-nantikan akhirnya terlaksana.
Rini yang kesal melihat tingkah laku duo jancok itu melirik ke arah keranjang yang dibawa Eruin. "Er, kamu bawa cemilan apa? Jangan bilang makanan kesukaanmu?"
"Ehehe, half right half false!"
Rini padahal hanya bertanya mengenai isi dari keranjang Eruin, tetapi Eruin malah menyemprotnya dengan kata-kata alien.
"H – ha, halef rait?"
Entah karena faktor darah Betawi asli atau hal lain, pelajaran yang paling sulit diserap oleh Rini hanyalah Bahasa Inggris. Karena itulah kata-kata sederhana yang diucapkan Eruin tak bisa dimengertinya.
Meskipun mengetahui hal itu, Eruin tetap merasa geli karena bisa menjahili Rini. Rasa geli dan tawa lucunya sampai tak bisa dia sembunyikan.
"H – hei, jangan jahil gitu, dong!"
Di saat Rini dan Eruin sedang bersenda gurau, dan Euis dan Rian sedang berbincang, Bagas dan Beni sudah selesai memilih tempat.
"Woi, di sini gimana?!"
Tempat yang dipilih Bagas dan Beni berada di bagian kanan pohon tempat mereka berdiri. Lokasinya agak sedikit di ujung bayangan, namun tempat itulah yang paling rata permukaan tanahnya.
Untuk memastikan rata tidaknya tanah, Beni tiduran di atas tikar yang dia bentang. Dia bahkan sampai berguling-guling untuk meyakinkan keempat sahabat.
Keempat sahabat menatap satu sama lain, lalu memberikan anggukan.
Rini dan Eruin berjalan lebih dulu. "Ya udahlah, daripada lama-lama berdiri."
Euis dan Rian mengikuti di belakang. "Rini dan Eruin di tikar Bagas, aku dan Rian di tikar Beni."
Dengan panduan Euis, mereka duduk di tempat yang sudah diberitahu.
Rini dan Eruin mempersiapkan barang bawaan mereka di tikar Bagas. Begitu pula dengan Rian dan Euis di tikar Beni.
Tikar yang memang cuma memiliki kapasitas empat orang dewasa itu dibagi tempatnya menjadi tiga orang per tikar dan satu petak tikarnya dijadikan tempat menaruh makanan yang mereka bawa.
Di tikar sebelah kiri, Bagas dan Eruin duduk bersampingan. Rini yang duduk di depan Bagas bersampingan dengan makanan mereka.
Di tikar sebelah kanan, Euis bersebelahan dengan Eruin, lalu di samping Euis ada Rian. Beni duduk di depan Rian dengan temannya makanan dan minuman mereka.
Lima orang duduk dengan damai, namun sebiji pemuda merengangkan tubuhnya lebih dulu. Saat Eruin dan Rini selesai menata makanan mereka, Eruin yang duduk dengan mengarahkan kedua kakinya ke kiri dikejutkan dengan kepala Bagas yang tiba-tiba jatuh di atas paha kanannya.
"Ba – Bagas!?"
Eruin hampir melompat dari posisinya karena perilaku Bagas yang tiba-tiba itu. Dari bawah, Bagas yang tak peduli dengan rasa malu dan terkejut Eruin malah langsung menutup mata dan mulai mendengkur keras.
Dengkuran Bagas cukup keras dan terdengar menjijikkan. Rini sampai kesal dibuatnya.
"Gas, hentikan dengkuran itu atau kupukul perutmu?"
Dengan ancaman langsung dari Rini, Bagas spontan menghentikan dengkurannya. Meskipun begitu, kenyataan kalau dia membuat paha Euis sebagai bantal tidurnya tetap membuat Eruin merasa malu yang sangat.
Beni bahkan tak percaya kalau Bagas dengan mudah bisa melakukannya.
"Woi, cok! Jangan sementang kalian baru mulai pacaran, kau dah enak-enak aja minta pangkuan bantal!"
Ketidaksenangan Beni diikuti oleh kata-kata kejam dari Rian.
"Mau kita iket kepalanya pake ni plastik?"
Tak disangka, Rian yang jarang mengekspresikan ketidaksukaannya akan sesuatu, terlihat kesal dengan perilaku Bagas. Euis sebagai sahabat dan gadis yang paling dekat dengannya cukup terkejut dalam diam.
Melihat perilaku Bagas yang kurang kerjaan itu, Rini dan Euis sebenarnya tak mau terlalu mempermasalahkan. Namun dua sahabat laki-laki sisanya, entah kenapa merasa sangat kesal. Euis sampai harus mengeluarkan suaranya untuk menenangkan mereka.
"H – hei, kalian gak perlu sekesal gitu juga, kan? Lagipun, Eruin juga gak keberatan Bagas ngelakuin hal itu, walaupun dia juga merasa sangat malu karena Bagas tiba-tiba melakukannya."
Wajah Eruin hampir seluruhnya berubah kemerahan. Namun dia tak memperlihatkan reaksi menolak kehadiran Bagas di atas pahanya. Malahan, dia merasa terpana akan pemandangan seseorang yang dia kasihi dari atas.
Tak mempedulikan dua biji insan yang sedang bermesraan, para peserta piknik yang lain memulai acara makan-makan.
"Hei, Ceng, tolong ambilkan minumnya dong," ucap Rini menunjuk ke ceret minuman.
Beni yang masih mengunyah makanan kering, melakukan apa yang diminta Rini. Namun sayangnya, ceret besar yang penuh berisi air itu tak bisa dia angkat. "Hnggg!". Dia bahkan sampai ngeden dan tetap tak bisa mengangkatnya.
Menyerah untuk mengerahkan tenaga, Beni mengalihkan kepada sang ahli.
"Lek, tolong."
Rian mengambil alih tugas menuang air minum. Dengan tangannya yang gemuk dan berotot, dia mampu mengangkat satu ceret penuh itu dengan satu tangan, lalu mengisi setiap cangkir.
Sewaktu air kelapa muda terus terjatuh keluar dari ceret, dan menyisakan setengah dari isinya, dan juga meninggalkan sekumpulan makanan enak yang kenyal, membuat Beni ngiler.
"Betewe ini kelapa mudanya dimakan di akhir atau gimana?"
"Buat makanan penutup aja."
Balasan singkat Rian membuat ileran Beni harus ditunda beberapa saat.
Setiap cangkir sudah terisi dengan air. Beni mengoper tiga cangkir ke Rini.
Acara makan-makan dimulai.
Rini yang penasaran akan makanan yang dibawa Eruin, membuka keranjang, lalu menemukan setoples makanan berupa kripik berbentuk bulat.
"Kan, bener, emping," ujar Rini melihat setoples penuh berisi emping itu.
Eruin sebenarnya tak hanya membawa satu toples. Di dalam keranjangnya juga ada dua toples lagi yang berisi makanan khas yang memiliki tekstur basah. Namun hanya satu toples berisi emping itulah yang menarik perhatian Rini.
"Ehehe, habisnya di rumah masih ada banyak. Karena kemarin aku dan Bunda Aliya menghabiskan setengah hari untuk membuat mereka."
"Kamu bener-bener suka ini makanan, ya."
Melihat makanan khas yang cukup menggiurkan itu, Beni berteriak dari samping. "Rin-chan, minta dong!"
Toples belum dibuka, Beni sudah sibuk meminta. Hal itu membuat Rini cukup kesal. Ketika toples dia buka, satu buah emping dia ambil, lalu dengan pose ingin melempar emping, dia melihat ke Beni dengan konfirmasi kalau dia akan memberikan emping itu dengan cara melempar.
Seperti merasa ditantang, Beni bersiap di posisinya.
Satu emping dilempar, berhasil masuk ke dalam mulut Beni. Lalu beberapa lemparan selanjutnya dilakukan ke arah yang berbeda-beda. Dengan keahilan yang entah berguna atau tidak, Beni bisa mengatur untuk menangkap dan memakan mereka semua.
Sebuah cara yang tidak etis untuk menyuapi dan disuapi, tetapi menarik untuk dilihat.
Euis menggelengkan kepala beberapa kali karena merasa heran dengan pemandangan sebelumnya. Namun hal itu membuatnya terbesit akan sebuah pemikiran. Dia melirik Rian sejenak sambil memegang satu buah klepon di tangan kanan. Lirikan Euis yang terasa lapar akan sesuatu dapat dirasakan oleh Rian.
"!"
Rian yang tiba-tiba melihat, membuat Euis spontan membuang wajahnya ke samping.
"Kenapa?"
Dari pertanyaan Rian yang tak peka, Euis menaikkan tangan kanannya yang masih memegang klepon ke wajah Rian.
Rian yang tak peka hanya melihat satu tangan yang memegang klepon di depan wajahnya, di saat pemilik tangan masih membuang wajahnya entah kenapa.
Dari samping, Beni menyikut Rian, lalu mengintruksikan sesuatu. Dengan tangan kanannya sendiri, Beni memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
Intruksi singkat sahabatnya membuat Rian mengerti. Tanpa basa-basi, dia langsung membuka mulut dan melahap klepon di tangan Euis.
Ketika Rian berusaha melahap klepon di tangan Euis, tanpa sengaja bibirnya menyentuh jari Euis. Hal itu sontak membuat Euis sangat terkejut dan dia menarik tangannya seperti kilat. Rian sempat terkejut karenanya, namun tak mau habis pikir, dia hanya terus mengunyah klepon yang disuapi langsung ke mulutnya.
Hal yang cukup menggelikan itu mengundang tawa dua gadis di tikar sebelah.
Dua orang gadis sudah menyuapi masing-masing sahabat laki-laki yang dekat dengan mereka. Tawa geli Eruin terus merekah sembari dia memasukkan makanan ke mulut. Namun seseorang menangkap tangannya yang memegang sebiji emping.
Tangan itu adalah tangan Bagas. Eruin seketika melihat ke bawah, namun Bagas masih menutup matanya. Walaupun Eruin tahu dia tak tidur, tetapi itu cukup menakjubkan bagaimana dia menangkap tangan Eruin dengan mata tertutup, atau dia mengintip sebelumnya, entahlah.
Tangan Eruin yang memegang satu buah emping itu ditarik ke bawah, ke tempat di mana mulut Bagas terbuka. Lalu saat emping berada tepat di atas mulut, Bagas menaikkan kepalanya sedikit untuk menggigit dan menjatuhkan emping itu ke mulutnya.
Eruin cukup terkejut saat Bagas melakukan itu. Namun satu hal lain membuatnya marah ke kekasihnya sebiji itu.
"Hei, jangan tiduran kalau mau makan!"
Tangan Eruin dinaikkan ke atas, berniat untuk memukul Bagas, walaupun tidak. Menyikapi itu, Bagas melirik sejenak, lalu dengan tanpa mempedulikan perasaan Eruin, dia memposisikan tubuhnya ke Eruin dan menempelkan wajahnya ke perut Eruin.
Hal itu tentu saja membuat rasa malu Eruin naik ke tingkat paling atas.
"H – hei! Jangan mendempetkan wajahmu begitu!"
Rasa malu berujung panik, Eruin berusaha mendorong Bagas. Namun Bagas menanamkan kekuatannya dengan memegang tubuh Eruin dengan kedua tangan.
Pemandangan yang lucu sekaligus menggemaskan itu mengundang tawa kecil dari dua gadis lainnya. Namun berbeda dengan dua biji insan laki-laki, salah satunya terbakar api iri.
"LEK, TAHAN AKU, LEK! TAHAN!"
Beni mengamuk di tempat dengan memegangi Rian yang masa bodoh.