Keluar dari toilet, perasaan Rini sudah agak lebih baik. Di luar dia menarik nafas sejenak. Menenangkan pikiran kalau saja ketika kembali nanti sahabat-sahabatnya merasa khawatir dengannya. Dia pikir begitu, namun sayangnya tidak.
Beni, Eruin dan Euis melakukan sesi foto di mana Beni yang menjadi juru potret dan Eruin dan Euis yang menjadi modelnya. Rian bergabung dengan teman-teman panitia acara. Yang tersisa hanyalah Bagas yang duduk bersila membelakangi posisinya.
Tak ingin mengganggu Bagas, Rini langsung saja duduk di tempatnya yang sebelumnya. Karena Eruin dan Euis sedang asyik dengan sesi foto mereka yang letaknya tak jauh dari lokasi kafe, Rini tak mau mengganggu.
Saat hati Rini cukup tak enak, Bagas memanggil dari belakang tanpa memutar tubuhnya. "Rin-chan."
Rini sama malasnya dengan Bagas, jadi dia juga membalas dengan posisi yang tak berubah. "Hm. Apa?"
"BAB-mu lancar?"
"H – ha!?"
Bagas tiba-tiba saja menanyakan sesuatu yang terdengar sedikit, jahil dan jorok. Tentu saja hal itu membuat Rini malu dan memutar kepalanya ke Bagas yang masih belum bergerak. Untung saja tak ada orang di dekat mereka, kalau ada Rini mungkin saja sudah memelintir leher Bagas.
"Kau ke toilet bukan untuk BAB?"
"HA, ya, ..."
"Hmm, sebenernya, daritadi perutku sakit. Tapi males bet buat ke toilet."
"Kalau kau tahan terus, mungkin sakitnya bakal tambah parah."
Entah apa yang dipikirkan Bagas untuk mengangkat topik yang aneh seperti itu. Namun setidaknya, suasananya tidak secanggung seperti sebelumnya.
"Rin-chan, apa kau memang masih marah padaku?"
Pertanyaan Bagas yang tiba-tiba itu membuat Rini mengerutkan alisnya. Seingat Rini, Bagas memang sering jahil padanya. Namun dia tak pernah melakukan sesuatu yang membuat Rini harus marah selama itu padanya.
Karena kebingungan itu, Rini balik bertanya, "Kenapa, kau bertanya seperti itu?"
"Ya, itu karena aku orang yang pertama merekomendasikan ke Dani kalau dia harus melanjutkan studinya ke luar. Apa kau gak ingat?"
*
Dua tahun yang lalu.
Bagas, Rini dan Dani mendapatkan kesempatan untuk pulang bersama.
Waktu itu mereka sudah berada di kelas tiga. Menjelang akhir tahun dan sebentar lagi mereka akan menghadapi ujian nasional.
Sebenarnya waktu itu adalah waktu yang cukup genting untuk mereka. Karena dari situ, mereka harus memutuskan ke arah mana mereka akan pergi setelah tamat.
Seseorang yang paling penasaran dengan jalan yang akan dipilih sahabat-sahabatnya adalah Bagas.
"Jadi, Dan, setelah tamat kau bakal kemana?"
"Kupikir aku bakal ke univ negeri terdekat aja deh."
Atas jawaban yang masih belum tentu dari Dani, Bagas berekspresi tak puas.
"Kenapa, kok kau gak puas begitu?" tanya Dani.
"Hmmm, gimana ya, kupikir kemampuan kepalamu cukup sayang untuk dikembangkan di dalam negeri."
"Maksudnya?"
"Oi, kawanku, kau itu udah cukup pintar untuk ikut ujian percobaan masuk Universitas luar negeri lewat jalur prestasi, kenapa gak kau coba?"
Mendengar pendapat Bagas yang entah bermaksud mendukung atau menantang, Dani dibuat berpikir.
Rini yang sejak tadi diam karena tak bisa mengikuti arah pembicaraan sebenarnya tak mau ikut campur, namun dia cukup penasaran kenapa Bagas sampai menyuruh Dani harus pergi jauh hanya untuk melanjutkan sekolah.
"Memangnya kenapa dia harus keluar, Gas? Bukannya universitas dalam negeri juga gak kalah dari univ luar."
"Kalau kita membicarakan soal kualitas, iya sih gak kalah. Tapi kalau kita berbicara konteks, ke arah mana anak ini akan melanjutkan studinya, udah pasti dia harus keluar. Karena dia berniat untuk mengembangkan sumber energi alternative untuk dipakai di negeri kita ini."
Pendapat Bagas membuat Rini ingat mengenai tujuan yang ingin Dani capai. Dan hal itu membuatnya tak bisa berkata hal lain selain setuju.
Bagas yang memicu pembicaraan dan bersikap paling santai. Di sisi lain kedua temannya dibuat cukup bingung, baik Dani yang menjadi pokok bahasan atau Rini yang juga ikut bingung.
Dari situ Bagas lanjut bicara, "Yah, aku masih belum tahu dia bagusnya kemana sih. Cuma kalau dia emang berniat untuk ke luar, kan kita ada sensei yang akan siap membantu."
Sebuah nama panggilan yang menyinggung seseorang yang mereka semua kenal membuat Dani tercerahkan akan sesuatu. Namun tetap saja, ada sesuatu yang masih mengganjal dalam hatinya.
"Hmmm." Dani berdehem panjang dalam kebimbangan.
"Kenapa, masih ragu?"
Bagas merangkul Dani yang sedang bimbang untuk memutuskan.
Dani melihat Bagas yang tersenyum percaya kepadanya. Hal itu membuat kepercayaan dirinya naik, meskipun begitu masih ada rasa bimbang dalam hatinya..
"Aku yakin dengan kemampuan otakku, sih. Tapi..."
"Ragu apa kau bisa hidup di negeri orang?"
Atas pertanyaan Bagas, Dani merespon dengan tersenyum kecut karena memang itulah sebab keraguannya.
Bagas yang melihat keraguan dalam hati sahabatnya memberikan pukulan yang cukup kuat ke punggung dan berkata, "Kenapa ragu dengan diri sendiri begitu, sih? Bukannya kau itu cowok yang pasti bisa kalau mau melakukannya. Ya kan, Rin-chan?!"
Dani dibuat mengusap-usap punggungnya setelah diberikan pukulan penyemangat. Sewaktu dia ingin marah pada si pemukul, pertanyaan yang datang membuatnya ikut melihat ke arah seseorang yang ditanya.
Tiba-tiba diberikan pertanyaan di saat sedang melamun, Rini hampir meledak karena terkejut. "Ha! E – eh, iya! ... Apa?"
"Aku nanya, kalau ini anak bisa tahan latihan silat yang kau berikan, masa dia gak bisa hidup di negeri orang?"
Pertanyaan Bagas memberikan jeda sunyi. Karena Rini tiba-tiba saja merenung di tengah-tengah suasana. Hal itu membuat Dani terkejut dalam penasaran.
Untuk Bagas, dia sudah tahu kenapa Rini tiba-tiba bersikap seperti itu. Namun dia memilih diam dalam senyum dan menunggu jawaban Rini.
Beberapa saat telah berlalu. Akhirnya Rini kembali ke dirinya sendiri dengan bereaksi seperti sesuatu baru saja memukul kepalanya.
Dani yang terkejut akan hal yang tak biasa itu buru-buru bertanya, "Oi, Rin, kau gak apa-apa?"
Pertanyaan Dani yang terkesan agresif itu membuat Rini melangkah mundur sekali karena terkejut. "Ha, eh, enggak, aku enggak apa-apa, kok. Tapi ya, kalau ditanya begitu. Hmm, kalau kau mau kau pasti bisa melakukannya, kan."
Jawaban tulus Rini di akhiri dengan senyuman indah yang sangat jarang diperlihatkan. Hal itu membuat Dani yang berada dalam lubang kebimbangan entah bagaimana berada di padang rumput yang menenangkan.
Pada saat itu, Bagas pikir semuanya berjalan dengan lancar. Namun siapa sangka, kalau sebenarnya Rini tak tega dengan kepergian Dani menjauh darinya.