Chereads / Pengantin Lima Ratus Juta / Chapter 43 - Festival Musim Panas (10)

Chapter 43 - Festival Musim Panas (10)

Komunikasi dengan Dani diputus. Beni berhenti bersikap menjengkelkan. Bagas menepuk kepala Beni karena membuatnya kesal.

Di atas tikar di mana tiga gadis sedang duduk :

"Rini, kamu gak apa-apa?"

"Gak apa-apa kok, Euis. Kamu gak perlu sekhawatir itu."

"Anak itu memang. Ini udah kedua kalinya loh dia buat Rini kita menangis."

Euis sedikit khawatir dengan sahabat tomboy-nya. Eruin masih memendam rasa kesal ke Dani.

Rini sebenarnya cukup malu karena sebelumnya dia lepas kendali dan emosi yang tak terbendung membuatnya menangis. Meskipun begitu, dia tetap tak bisa menahan rasa kesal dan bersalah karena telah membuat Dani salah paham terhadapnya.

Wajah cantik yang terkesan jantan saat itu berubah menjadi sebagaimana seorang gadis yang sedang patah hati.

Melihat ada sesuatu hal yang menarik, Beni meluncur dan mendarat tepat di depan hadapan Rini.

"Ei, Rin-chan, apa sih yang kalian bicarakan tadi sampai-sampai Danicok membuatmu menangis?"

Dengan wajah yang sangat tertarik, Beni bertanya. Pertanyaan Beni juga mengundang rasa penasaran bagi dua gadis yang tersisa.

Bagas yang baru saja kembali duduk sebenarnya tak terlalu tertarik, namun dia juga tak menolak untuk mendengar penyebab Rini sampai bisa menangis.

Melihat empat pasang mata melihat ke arahnya, wajah Rini menjadi merah. Meskipun mereka semua adalah sahabatnya, tetap saja cukup memalukan untuk membicarakan sesuatu yang bisa meledakkan emosi.

"Eehh, ituu…"

Ada keinginan untuk membicarakannya, namun perasaannya tetap tak bisa menahan rasa malu itu.

Eruin merasa cukup kasihan melihat sahabatnya memaksa perasaannya. Dengan niat untuk menghentikan suasana canggung, Eruin memukul Beni dengan pukulan memotong di bagian leher.

"AOU! Erin-chan, why!?" teriak Beni yang secara tiba-tiba lehernya dipukul.

"Kalau dia gak mau jangan dipaksa," cetus Eruin sambil membuang muka dan melipat tangan tanpa rasa bersalah.

Mendengar pernyataan Eruin, Euis juga sadar kalau Rini sedang memaksakan perasaannya.

"Maaf, Rini, kalau kamu gak mau ngebicarainnya, gak apa-apa kok, " ucap Euis sambil menyentuh lembut tangan Rini.

"Eh, enggak, bukan begitu, cuma…"

Perasaanku masih belum siap, itu yang hendak dikatakan, namun entah kenapa tak bisa keluar dari mulut Rini.

Di saat itu juga, salah satu rekan Eruin bekerja datang mendekat.

"Maaf, Neng Eruin, tapi kita harus balik kerja."

Eruin langsung saja berdiri dan merespon, "Oke!". Sebelum pergi meninggalkan sahabat-sahabatnya, dia berpesan, "Oh iya, kalian gak perlu khawatir soal bayarannya. Aku traktir."

Mendengar kalau semua makanan mereka akan dibayar Eruin, yang termasuk dalam salah satu pekerja kafe, dua sahabat perempuannya terkejut.

"Eh, Eruin, tapi … !"

"Udah, gak apa-apa."

Euis baru saja mau menolak, namun Eruin dengan cepat menghentikan perkataannya. Lalu pergi menuju ke tempat yang sepertinya dapur kafe mereka.

Euis, Rini dan Beni merasa cukup tak enak dengan Eruin. Meskipun Eruin adalah anak dari Pak James yang kaya raya, harga diri mereka tetap merasa tak enak untuk ditraktir. Padahal mereka sedang ada uang dan tak meminta untuk itu.

Tiga orang itu merasakan hal yang sama kecuali satu.

"Eh, cok, kau diem aja sewaktu ceue-mu nraktir kita?"

"Memangnya kenapa? Kalo dia mau ya biarin aja."

Beni sedikit tak percaya dan merasa jengkel dengan jawaban Bagas.

Beni yang menunjukkan ekspresi yang merasa jijik ke Bagas membuat emosi Bagas terpancing.

"Eh, bangsa*, kalo aku serius aku bisa aja beli semua makanan di kafe ini."

Bagas saat itu sedang merasa sensitive dan perkataannya serius.

Meskipun terdengar seperti candaan, Beni tetap tak mau Bagas melakukan hal yang tak ada keuntungannya itu.

"Eh, iya-iya, maaf. Kalo kau ngelakuin itu kedengarannya sama aja kalo kita ngefoya-foyain uang yang harusnya kita dobelin."

"Nah, tahu begitu udah diem aja."

Beni hanya merespon dengan tawa kecut atas candaan mereka.

Sewaktu suasana tiba-tiba menjadi ramai kembali, Beni teringat sesuatu.

"Oh iya, Rian, anak itu dari tadi kok rasanya lagi bicara serius sama temen-temen sepanitianya."

Terpancing perkataan Beni, Bagas menengok ke arah teman-teman panitia yang berkumpul di satu meja. Dilihat dari wajah mereka, benar mereka sedang membicarakan sesuatu hal yang serius.

Meskipun begitu, Bagas tak mau tahu dan mulai menidurkan tubuhnya miring dengan satu tangan menopang kepala.

"Eh, cok, kok tiba-tiba anak itu kemari?"

Anak itu adalah kata ganti untuk Rian yang sedang berjalan mendekat. Bagas masih tetap tak mau tahu, namun tiba-tiba saja namanya dipanggil.

"Gas, ayo berdiri, kami butuh bantuanmu," ucap Rian dengan nada serius.

Dengan pikiran kalau akan ada sesuatu yang merepotkan terjadi, Bagas memilih tak mau mendengar.

Beni dan Rian yang melihat perilaku masa bodoh Bagas itu tak merasa heran. Malahan mereka berpikir kalau Bagas tak melakukan hal itu, dia bukanlah Bagas.

Walaupun begitu pada ujungnya, Bagas diseret lewat kerah bajunya oleh Rian. Beni yang penasaran dengan apa yang akan terjadi mengikuti dari belakang dengan membawa dua sepatu Bagas.

Bagas didudukkan ke salah satu kursi yang diberikan khusus untuknya. Semua mata tertuju padanya. Dan Bagas tak suka itu.

Ada sekitar sepuluh orang panitia yang semuanya laki-laki. Selain Bagas tiga di antaranya duduk di kursi. Salah satu dari mereka adalah Jidan yang duduk bertatapan dengan Bagas.

Kepalanya digaruk-garuk dengan rasa risih. Namun dia tak bisa menolak. Jadi dia akan menuruti apa yang mereka inginkan terhadapnya.

"Apa?"

Pertanyaan sederhana Bagas direspon langsung oleh seseorang yang memegang komando perkumpulan, Jidan.

"Gas, apa kau udah tahu kalau Kak Euis hampir diserang oleh Trio Mesum?"

Perhatian Bagas langsung terpancing setelah mendengar nama sahabat perempuannya disinggung. Ditambah lagi tanpa sepengetahuan mereka hampir saja dia menjadi korban dari sesuatu hal yang buruk.

Kalau tidak salah Trio Mesum adalah tiga bekas mahasiswa yang dropout karena kelakuan mereka yang tak wajar. Mereka tak pernah melewati batas peraturan sekolah atau hukum negara. Namun keberadaan mereka terkadang menimbulkan masalah yang cukup merepotkan. Karena mereka, nama universitas menjadi jelek. Dan hal itu tak terjadi satu dua kali. Bahkan setelah mereka dikeluarkan dari kampus, kelakuan mereka masih tak berubah.

Kalau saja mereka melanggar hukum, pihak kampus pasti akan memanggil polisi untuk mengatasi mereka. Tetapi karena kebiasaan mereka mencari masalah kecil namun mengkhawatirkan, membuat pihak kampus hanya bisa memperketat penjagaan dan membuat mahasiswa kampus lebih hati-hati dengan keberadaan mereka.

Sayangnya, beberapa saat yang lalu mereka mengincar target yang salah.

"Terus?"

Seketika Bagas menunjukkan ekspresi serius namun berkesan menantang. Hal itu membuat orang-orang di sekitar kecuali Jidan dan dua sahabatnya terkejut.

Kenapa dia terlihat menganggap remeh masalah ini?

Semua orang yang terkejut memikirkan hal yang sama. Namun Jidan tahu kalau itu hanyalah salah satu sikap menjengkelkan Bagas dan tak perlu menganggap reaksinya dengan serius.

Jidan tersenyum puas melihat keseriusan Bagas dan berkata :

"Aku minta tolong agar kau pikirkan cara agar kita bisa menangkap mereka."

Bagas berdehem dan menyentuh mulutnya dengan tangan kanan, berpikir.

Perilaku Bagas yang satu itu mengundang rasa tak enak ke dua sahabatnya dan Jidan. Tetapi tak ada lagi hal paling efektif yang bisa dilakukan kecuali meminta bantuan otak Bagas.

Segala cara telah dilakukan oleh para panitia untuk menyelesaikan masalah yang tak kunjung kelar itu. Sudah cukup banyak korban juga yang berjatuhan dari pihak panitia untuk berusaha menangkap trio mesum itu, jadi bisa dibilang mereka berada dalam kesulitan.

Seluruh universitas melawan trio pembuat masalah dengan mencoba mengandalkan satu otak cerdik.

"Hm." Deheman pelan Bagas memberikan tanda kalau dia sudah selesai berpikir. Lalu gerakan selanjutnya, dia menaikkan satu jarinya. "Satu syarat."

"Apa itu?" tanya Jidan.

"Setelah masalah ini selesai, bebaskan aku dalam tugas."

Permintaan yang terdengar sederhana, tetapi di saat yang bersamaan juga terdengar tak adil.

"Woi, jangan cuma karena kau bisa menyelesaikan masalah ini, kau bisa seenaknya. Lagian - !"

Salah satu dari teman panitia berontak tak setuju. Namun dengan cepat Jidan menenangkan dengan mengangkat satu tangan ke atas.

"Tenang dulu. Lagipula yang kita lawan ini bukan cuma sekedar penjahat kelas teri. Mereka sudah menyebabkan masalah dari tahun-tahun kemarin. Berbagai macam cara sudah dilakukan dan banyak tenaga yang sudah dikerahkan, tapi yang kita dapat cuma kesuksesan kecil. Karena itu, permintaan Bagas cuma syarat kecil yang bisa kita wujudkan. Yah, lagipula kalau dia berhasil, sih?"

Jidan gantian memberikan senyuman menantang kepada Bagas. Respon dari rivalnya itu membuat Bagas tersenyum kecut kepada dirinya sendiri.

Di saat Jidan berbicara, Bagas sedang memainkan smartphone dan melakukan sesuatu. Beberapa teman panitia merasa kesal karena menganggap Bagas terlalu remeh. Namun satu hal yang tak mereka tahu, Bagas saat itu sedang melihat ke dalam peta kampus.

Tanpa basa-basi, Bagas melakukan gerakan pertamanya. "Berikan aku laporan terbaru mengenai trio belatung itu."

Mendengar permintaan Bagas, Jidan langsung meminta teman panitianya yang terakhir kali melihat trio pembuat masalah itu setelah mereka dihajar oleh Rini.

Laporan telah diberikan dan Bagas mengerti keadaannya.

"Oke, aku mau kalian ke beberapa tempat di titik yang telah ditentukan. Alasannya untuk memancing dan mencegat mereka. Sisanya aku yang bakal ngurus."

"Kau yakin mau ngurus mereka sendirian?" tanya Jidan heran.

"Ya enggaklah. Karena itu, aku butuh dua sobatku di sini."

Bagas menengok ke belakang. Pertama ke arah Rian yang tersenyum kecut padanya. Kedua ke Beni yang bertanya-tanya, heran apa yang bisa dia lakukan.

Sebenarnya untuk mengatasi masalah itu, sosok Rini yang paling efektif untuk dimintai bantuan. Namun karena dia sedang berada dalam kondisi yang cukup tak enak, Bagas takkan memaksa dan memikirkan cara lain.

Setelah memberikan peran kepada teman panitia lain dan memaparkan bagaimana rencananya akan bekerja, Bagas bangkit dari kursi.

Jidan masih cukup ragu, karena itu dia bertanya sebelum mereka bubar.

"Oi, apa ini benar akan berhasil?"

"Hm, presentasi keberhasilannya di atas 90% kalau kalian berkoordinasi dengan baik. Dan maaf, aku gak bisa bilang rencana intinya, yah, anggap aja ini rahasia perusahaan."

Dengan begitu, Bagas mengajak Beni untuk pergi ke suatu tempat bersamanya.

"Eh, kemana, cok?"

"Udah, ikut aja. Kau yang berperan paling penting di sini."

"HA, tapi, aku gak bisa berantem!"

"Yang nyuruh kau berantem itu siapa?"

Bagas pergi bersama sahabat Jepangnya yang tak memiliki kemampuan fisik akademis yang baik. Hal itu menjadi bahan keraguan bagi teman panitia lain.

Meskipun begitu, Jidan berharap banyak pada pemuda malas yang punya kemampuan yang tak ia miliki itu.