Bagas masih disibukkan dengan pertanyaan panitia lain yang terasa tak habis.
Sebenarnya dia sudah bosan dengan mereka yang membicarakan omong kosong yang terus berulang.
"Terus, kemana kita akan membawa mereka bertiga?"
"Yang terpenting jangan sampai ke pihak kepolisian. Karena kejahatan yang mereka lakukan juga tak terlalu serius dan itu juga akan buruk kalau mereka menyerang balik."
"Tapi kita tak bisa membiarkan mereka terus bertingkah setiap event."
Dan bla-bla-bla perbincangan terus berputar di titik yang terasa tak berakhir.
Bagas sudah muak. Tapi dia tak bisa memberontak atau pergi begitu saja karena diskusi itu juga termasuk tanggung jawab tugas terakhirnya.
Di sela-sela rasa bosan Bagas menyempatkan melirik Beni yang merasa resah. Posisinya tak jauh dari mereka, dan di situ dia mulai menggaruk-garuk kepala entah kenapa.
Tak lama kemudian, sesosok perempuan berkebaya lain datang tanpa diketahui oleh Beni.
Perempuan berkebaya itu sangat lihai dalam menyembunyikan keberadaannya. Bagas yakin kalau orang-orang lain di sekitarnya juga tak mengetahui perempuan yang mengendap-endap untuk menculik Beni itu.
Tak memerlukan waktu lama, Arisa, kakak sepupunya, menculik sahabatnya, Beni dan membawanya entah kemana.
"Bagas, bagaimana dengan pendapatmu?"
Tiba-tiba ditanya, Bagas langsung saja mengalihkan perhatiannya kembali ke panitia lain.
"Untuk sekarang, kenapa kita gak temui mereka dulu?"
*
Di dalam salah satu ruang serba guna universitas.
Ruangan besar disulap menjadi tempat pertunjukan drama teater.
Berlangsungnya drama merupakan waktu di mana semua orang fokus terhadap cerita yang dimainkan. Namun tidak untuk Beni.
Di sisi paling belakang kursi penonton, Beni dan Arisa duduk berdekatan.
Arisa tampak serius melihat drama mengenai Rama dan Sinta.
Di sisi lain, Beni merasa cukup tidak nyaman dengan situasi di mana dia berada.
Memang mereka berada di kursi paling ujung, tetapi hal itu tak menutup kemungkinan kalau mereka menjadi pusat perhatian lain dalam ruangan.
Situasi di mana Arisa menggenggam tangan Beni yang mulai berkeringatan karena gugup. Ditambah penampilannya dan sosok Arisa memberikan cukup banyak pertanyaan ke orang-orang yang menyadari sosok mereka berdua.
Dari samping, Arisa yang terbawa oleh bagusnya drama yang dimainkan menyandarkan kepalanya ke bahu Beni.
Perilaku yang tiba-tiba itu membuat Beni hampir lompat dari kursinya. Lantas Beni melirik untuk melihat wajah Arisa, penasaran kenapa Arisa bertingkah cukup manja seperti itu.
Melihat ke wajah Arisa yang sayu entah kenapa, Beni benar-benar tak tahu apa yang dipikirkan Arisa.
Dengan situasi seperti itu, sepanjang permainan teater Beni sama sekali tak bisa fokus dengan cerita. Dirinya terkecoh antara perhatian orang ke mereka dan sikap manja Arisa yang tiba-tiba muncul.
Setelah keluar dari teater dan menemukan tempat yang cukup sepi, Beni yang diajak duduk di kursi merasa cukup kelelahan.
"Capek?"
Arisa duduk tepat di sampingnya dan melihatnya dengan ekspresi heran namun entah kenapa cukup puas.
Beni sedikit tak menyangka kalau gadis yang dia cintai memiliki sedikit sifat sadis dalam dirinya. Hal itu membuatnya tersenyum pahit ke dirinya sendiri.
"Yah, hampir setahun lebih aku gak pernah ke acara beginian, dan kalau tiba-tiba aja disuruh menjaga kios, crossdressing untuk memancing penjahat keluar, dan ditarik untuk pergi ke beberapa tempat, bersenang-senang, jantungku cukup gak kuat untuk menghadapi itu semua."
Di dalam pakaian kebaya, Beni berpose seperti pekerja kantoran yang dihajar habis dalam meeting. Bahunya terasa cukup berat. Kakinya terasa cukup panas, dan butuh beberapa waktu untuk mengembalikan detak jantungnya ke normal.
"Tapi kamu senang, kan?"
Pertanyaan Arisa yang tiba-tiba dilontarkan sembari wajahnya di dekatkan membuat Beni sedikit terkejut.
Sepertinya benar, kalau Arisa sedikit berbeda saat itu.
Kalau Beni tak salah, siang tadi Arisa mengatakan sesuatu yang cukup menyeramkan padanya. Namun melihat Arisa yang seperti bidadari kecil dalam hatinya membuat Beni berpikir, apa penyebab Arisa berubah seperti itu?
Yah, yang lebih penting, "Iya, aku bersenang-senang. Tapiii, hmm, kalau kakak mau mewujudkan satu permohonanku mungkin aku gak bakal menyesal sudah bertahan hidup sampai sekarang."
Kalimat Beni di akhiri dengan senyuman lebar yang tulus. Dan hal itu dibalas dengan tatapan menyeramkan yang membuat Beni terheran, 'eh, apa aku mengatakan sesuatu salah?'.
Seolah dapat membaca ekspresi bingung Beni, Arisa membalas, "Jadi maksudnya, kalau aku mewujudkan keinginanmu itu, artinya ada kemungkinan kalau kamu gak mau nerusin hidup bersamaku?"
Eh, kenapa, eeehh, apa memang begitu maksud perkataanku tadi!?
Beni berada dalam kebimbangan hati yang cukup dalam setelah mendengar pernyataan Arisa yang cukup kejam.
"Enggak-enggak-enggak, bukan begitu. Err, uhh, itu, ! , aku mungkin bakal mati karena terlalu bahagia."
Mencoba memperbaiki keadaan, yang didapat malah situasi yang lebih buruk.
Arisa menatap Beni dengan aura yang lebih kejam setelah dia mencoba mengonfirmasi maksud permintaannya.
Eeehh, kenapa?!
Sesungguhnya, kalau dibandingkan dengan anjing atau kucing, kemampuan Beni dalam membaca hati orang lain lebih rendah dari dua makhluk bersahabat itu. [Karena itu, mohon bersabar. Ditahan emosinya. Ini ujian.]
"Eh, kak, maaf, kalau aku ada salah ngomong."
"Kamu gak ada salah apa-apa kenapa minta maaf?"
Ya, apapun yang dikatakan Beni, Arisa hanya akan dibuat semakin kesal dan marah. Sampai-sampai aura hitamnya sudah mengepul menjadi awan kecil di atas kepala mereka.
Beni tak habis pikir dengan sistem hati Arisa berjalan. Karena itu dia menyerah.
"Tolong, ampuni hamba, gusti kanjeng ratu yang sangat cantik dan tak ada duanya."
Beni menunduk pasrah. Bendera putih muncul dari bagian belakang kepalanya.
Arisa yang capek marah menghirup nafas panjang.
"Angkat kepalamu."
Hanya mengangkat kepalanya setengah, Beni melirik dan melihat Arisa yang sudah kembali ke dirinya yang sebelumnya.
"Kakak, gak marah lagi?"
Merespon pertanyaan Beni, Arisa memelotot dan memunculkan aura hitam yang padahal sebelumnya sudah menghilang.
"Iya-iya, maaf, aku yang salah!"
Suasana menjadi sedikit kaku karena Beni terus saja melakukan kesalahan dalam memilih kata-kata. Tapi ya mau gimana lagi, sepanjang hidup aku gak pernah ngerasain berdua aja sama cewek begini!
"Jadi, apa yang kamu inginkan?"
Arisa mengangkat kembali pokok pembicaraan yang terlupakan. Beni cukup terkejut karena Arisa serius ingin mendengarkan permintaan bodohnya.
Menggaruk-garuk pipi sebelum meminta, Beni cukup malu untuk mengatakannya dengan gamblang.
"Yah, dipikir-pikir lagi, gak jadi deh."
Sebenarnya permintaan itu bisa dibilang cukup kurang ajar, atau seperti itulah yang Beni pikirkan. Jadi dia menolak untuk memintanya.
Karena ketidakkonsistenannya, Arisa sampai mendesah kecewa di samping.
Aaah, nyesel juga kalau gak minta, tapi, mau gimana lagi –
Di saat kekecewaan juga memenuhi kepalanya, tiba-tiba saja sesuatu yang sangat lembut mencium pipinya. Hal itu tentu saja membuat Beni cukup terkejut sampai dia membatu untuk sesaat.
"Apa itu cukup?"
Dari samping, Arisa bertanya seolah dia baru saja melakukan sesuatu untuk Beni.
Beni langsung saja menoleh ke arah Arisa yang menunggu jawabannya.
"Boleh aku melakukannya juga?"
Terdorong oleh nafsu, Beni meminta sesuatu yang setelahnya cukup disesali. Tetapi apa yang dia pikirkan kalau Arisa akan marah tak menjadi kenyataan. Malahan, Arisa entah kenapa tampak sedikit kecewa.
"Aku tak menyangka kalau hari ini akan terjadi dengan laki-laki yang kucintai memakai pakaian wanita."
"Geh!"
Karena suasana yang begitu indah dan menenggelamkan, Beni sampai lupa kalau dia masih berada dalam pakaian kebayanya.
"Eh ... apa aku perlu ganti baju dulu?"
"Gak perlu. Mungkin akan terlambat batas waktunya kalau sewaktu kamu kembali."
"Batas waktu?!"
Arisa mengatakan sesuatu yang ambigu dan Beni tak mengerti itu, sebelum dia fokus ke wajah Arisa yang matanya dipejamkan dan seperti menunggu untuk sesuatu.
Eh, boleh nih?!
Arisa sebelumnya tak ada mengatakan kalau Beni boleh menciumnya. Tetapi kata-katanya barusan seperti Beni punya batas waktu untuk mencium Arisa.
Aahh, bodoh amat!
Terdorong oleh nafsu dan ketidaksabaran, Beni memegang kedua lengan Arisa dan mulai mendekatkan wajahnya.
Saat itu dia cukup kasar, dan tanpa sadar dia membuat Arisa gemetaran – merasa takut. Beni menyesali ketidaksabarannya itu dan daripada memegang, dia menyentuh lengan Arisa dengan lembut. Lalu wajahnya didekatkan secara perlahan.
Tapi, dari empat bagian yang ada, bagian mana yang gak boleh kucium? Apa semua bagian boleh? Kalau disuruh memilih...
Beni memerhatikan empat bagian yang bisa dijadikan target, kening, dua pipi, dan satu lagi bagian yang berwarna merah muda dengan terlapisi sedikit oleh lipstik dan terkesan sangat lembut – sama dengan bagian yang berbahaya.
Beni sebenarnya mau menghindari untuk menargetkan bagian yang bisa dibilang bahaya, tetapi nafsu menenggelamkan pikirannya, dan tanpa sadar dia sudah menyerang bagian yang berbahaya.
Arisa yang masih merasa cukup takut dibuat sangat terkejut oleh keputusan Beni.
Tak hanya Beni menyentuh bagian itu saja, tetapi dia juga melancarkan serangan yang membuat Arisa cukup tersiksa dengan rasa malu yang membuat detak jantungnya berdegup hebat.
Tanpa sadar Beni sudah melampiaskan nafsunya dengan menyerang Arisa dalam waktu yang cukup lama.
Sewaktu kewarasannya kembali ke dalam kepala, Arisa sudah menundukkan kepalanya, dan kedua tangannya menggenggam tangan Beni dengan erat.
Tak hanya itu, Arisa terdengar bernafas dengan sesak – cukup tersiksa. Dan di mata Beni, hal itu cukup menggoda untuk dilihat. Karena Arisa seperti mangsa yang pertahanannya terbuka untuk diserang.
Beni tanpa sadar sudah menundukkan kepalanya lagi dan mengincar bagian leher Arisa, bersiap untuk melancarkan serangan selanjutnya.
Namun sayang, Arisa dengan cepat mencubit perutnya dengan sangat kuat.
"Awawawawawawawawaw!"
Cubitan Arisa tak mengenal ampun. Saking kuatnya, tangan Arisa yang mencubit Beni sampai bergetaran.
"Kak – kak – kak – kak! Maaf! Maaf! Maaf! Maaf!"
Lima detik cubitan superpower itu bertahan, dan Beni merasakan sakit yang hebat di salah satu bagian perutnya.
"Adudududududuh."