Rian dan beberapa teman panitianya sedang berada di hadapan tiga orang pembawa masalah yang merasa sangat ketakutan.
"Rian, kupikir kau bisa pergi sekarang. Setelah ini kami yang akan mengatur," ujar Jidan.
Apa yang akan terjadi selanjutnya pada tiga orang yang baru saja dia hajar itu adalah, mereka akan diinterogasi terlebih dahulu, lalu nasib mereka akan ditentukan, apakah mereka akan diberikan ke pihak yang berwajib atau sanksi lain akan diberikan.
Rian sudah puas mengetahui hal itu dan mengangguk membalas Jidan.
Mulai berjalan keluar dari ruang kantor panitia, Rian berpapasan dengan Bagas yang baru saja datang bersamaan dengan panitia lain.
Mereka yang langsung bertatapan mendekat satu sama lain.
"Gimana keadaan mereka?" tanya Bagas.
"Gak ada yang parah. Cuma mental mereka langsung menyiut setelah dimasukkan ke sini."
"Yah, wajar aja sih. Lagipun aku bisa nilai kalau mereka hanya sekumpulan idiot yang tak ingin terikat dengan aturan."
Dari pengalaman singkat Bagas bertukar kata dengan mereka, Bagas bisa membaca sikap dan sifat mereka yang memang bisa dibilang, mereka sama sekali tak punya bakat untuk menjadi penjahat. Mereka hanyalah berandalan yang ingin melakukan apa yang ingin mereka lakukan.
"Ngomong-ngomong, kau mau kemana?"
"Karena urusanku udah selesai, aku mau langsung balik ke Rini dan Euis."
Rian yang mau pergi dari tempat itu mengingatkan Bagas akan sebiji sahabatnya yang sebelumnya diculik.
"Oh iya, kalau kau mau jalan-jalan sama mereka, bisa sekalian carikan Beni?"
"Beni, memangnya dia kemana?"
"Yahh, anak bego itu tadi diculik, jadi aku gak tahu di mana dia sekarang."
Diculik. Satu kata yang terdengar gawat itu tak memiliki kesan khawatir sedikitpun dari mulut Bagas.
"Ha, bukannya itu gawat?"
"Enggak-enggak-enggak, bukan diculik kaya begitu. Tapi, hmm, bisa jadi gawat juga sih. Soalnya kalau dia kelewat batas, mungkin nanti aku bakal hajar dia."
Beni yang diculik, tapi Bagas punya niat untuk menghajar sebiji sahabatnya itu. Rian tak habis pikir. Tetapi dia tak mau menganggap hal itu terlalu serius kalau Bagas memang bilang begitu.
"Ya udah, nanti kusempatkan."
"Oke."
Dengan salam perpisahan itu, Rian berjalan keluar dan Bagas berjalan ke dalam.
Meskipun terik matahari sedang berada di tingkat terpanas hari itu, volume keramaian masih bertahan seperti tadi pagi. Namun hal itu tak memengaruhi gerak dan postur tubuh sebiji pemuda kuat kita.
Matanya fokus ke depan. Posturnya bertahan tegak. Setiap kali hampir bertabrakan dengan orang lain, dengan ligat dia memiringkan tubuh tanpa memperlambat kecepatan.
Hampir sampai ke kafe tempat dia meninggalkan dua sahabat desanya, seseorang menghentikan langkah kakinya dengan menangkap wajah dan menutup matanya.
"Siapa hayo?"
Seseorang dari belakang mencoba permainan tebak-menebak.
Rian sebenarnya tak sedang dalam kondisi ingin bermain. Tetapi terdengar dari suara yang menutup matanya, suara itu berasal gadis yang dia lamar.
Tangan yang menutup matanya juga sangat lembut. Ditambah lengannya sedikit menyentuh bahu Rian.
Tinggi Euis berada di sekitar dagu Rian. Hal itu membuat Rian yakin kalau yang menutup matanya itu adalah, "Euis."
Sembari matanya dilepaskan, pemandangan kalau Euis yang merasa geli dan mengucapkan kata, "Salah!", membuat Rian cukup terkejut.
Rian yang terkejut langsung saja menoleh ke belakang dan melihat Rini baru saja berdiri dari sedikit membungkuk sebelumnya.
Rini juga terlihat geli dengan respon Rian. Namun ekspresi Rian yang bingung juga membuat Rini sedikit kesal.
"Kenapa, kau gak percaya kalau itu tanganku?"
Tinggi Rini berada di sekitar hidung Rian. Memang kalau dia mau membungkuk dan menyentuh bahu Rian sedikit dengan tangannya, otomatis membuat Rian berpikir kalau sebelumnya tadi Euis. Meskipun begitu, tetap saja, "Tak bisa dipercaya."
Kalimat Rian saat itu membuat Rini reflek meninju perut Rian dengan rasa kesal yang cukup besar.
"Kau pikir aku apa?"
Pukulan Rini yang cukup terasa membuat bagian yang dipukul sedikit berdenyut.
"Ya, maap."
Momen itu memang terlihat kasar. Namun Rini takkan segan-segan untuk memukul sahabat-sahabat laki-lakinya kalau mereka mempermainkan sisi kefeminimannya.
"Hei-hei, udah, jangan berantem. Karena kita udah berkumpul, kenapa kita gak mulai berkeliling?"
Ketulusan Euis dalam berkata membuat suasana menjadi lebih tenang. Namun selanjutnya dia malah teringat oleh sesuatu yang membuatnya khawatir.
"Eh, kamu masih bertugas, Ian?"
"Hm, seharusnya sih, enggak. Cuman aku bakal berusaha untuk membantu sedikit sambil menemani kalian."
Balasan Rian membuahkan senyuman ke Euis dan Rini.
Tanpa basa-basi mereka langsung saja berangkat. Namun sebelum itu, mereka melihat ke arah sahabat pirang yang sedang membawa piring kotor ke dapur.
"Eruin!"
Panggilan Euis membuat Eruin berhenti dan melihat ke arah mereka.
"Ya?!"
"Kami mau balik berkeliling!"
"Oh, iya-iya! Selamat bersenang-senang!"
Cukup sedih sebenarnya kalau mereka bertiga mau meninggalkan sahabat pirang yang masih sibuk bekerja itu. Namun kalau mereka tinggal, yang mereka berikan malah gangguan karena ada banyak orang lain yang ingin bergantian menikmati apa yang disajikan di kafe.
Dengan begitu, mereka langsung saja berangkat.
"Ngomong-ngomong, kita mau kemana?"
Selagi berjalan, pertanyaan Rini memberikan pertanyaan yang sama ke dalam kepala Euis yang semangat berjalan di depan.
"Hmm, kemana ya? Rian, mau kemana kita?"
Gadis itu yang paling bersemangat untuk pergi, tetapi dia malah melempar tanggung jawab akan pergi kemana ke pemuda yang juga tak punya pikiran mau pergi keman.
Rian yang dibuat berpikir sejenak mendapatkan sebuah ide.
"Sebentar lagi bakal ada drama yang dimainkan di ruang serba guna."
"Ha!"
Saran Rian mengejutkan Euis dan membuatnya mengambil satu pasang tangan dari dua sahabatnya.
"Kenapa gak bilang dari tadi, ayo buruan kejar sebelum terlambat!"
"Eh, Euis, bisa pelan-pelan aja?!" teriak Rini kecil sewaktu mulai diseret.
Euis menarik dua sahabatnya menuju tempat yang dibilang. Meskipun di tengah perjalanan dia berhenti karena tak tahu arah. Pada akhirnya Rian yang menuntun mereka sampai ke tempat.
Di dalam salah satu ruang serba guna yang disulap menjadi tempat pertunjukan teater.
Rian, Rini dan Euis duduk berdampingan dengan posisi Rian di tengah. Mereka duduk diposisi ujung belakang pertengahan kursi penonton.
Dengan pertunjukan dimainkan tepat sebelum mereka masuk ke dalam ruangan.
Pertunjukan yang sudah dimainkan selama tiga putaran itu memberikan kesan yang sangat menarik untuk ditonton. Hal itu pula yang membawa lebih banyak orang untuk datang. Sampai-sampai kursi yang disediakan tak cukup untuk menampung penontong yang datang. Untung saja mereka datang tepat waktu sebelum kursi dipenuhi.
Di tengah-tengah permainan, entah kenapa Rini merasa tak tertarik untuk menonton terlalu serius. Tak seperti dua sahabatnya di samping, mereka sangat serius dan terbawa oleh pertunjukan.
Bagi Rini yang tak terlalu mengerti dengan seni selain seni silat, pertunjukan itu tak lebih seperti film layar lebar yang ada di tv. Hanya saja pertunjukannya ditonton secara langsung.
Rasa bosan yang terasa lumayan mengundang Rini untuk melihat-lihat ke kiri dan ke kanan.
Ketika kepalanya di putar ke kanan, tak menyangka dia mendapatkan pemandangan seseorang yang dia kenal.
Eh, bukannya itu kak Arisa. Tapi, dia sama siapa?
Pemandangan kakak sepupu Bagas yang duduk di ujung kursi berdampingan dengan perempuan lain mengundang rasa penasaran ke Rini.
Hmm, rambut item panjang pake kebaya. Tapi kok rasanya, muka cewek itu gak asing?
Menganalisis sedikit mengenai perempuan yang duduk bersama Arisa, Rini dibuat untuk cukup serius memandangi mereka berdua. Ditambah, perilaku mereka cukup aneh.
Tiba-tiba saja Arisa menyandarkan kepalanya ke perempuan di sampingnya. Hal itu memang terasa cukup aneh, namun anehnya lagi, perempuan yang bahunya dibuat sandaran entah kenapa merasa sangat gugup.
Dalam kondisi dan situasi yang membuatnya tak bisa bergerak Rini memilih untuk membiarkan mereka sampai pertunjukan berakhir.
Pertunjukan berakhir dengan menuai sangat banyak tepuk tangan. Tepukan tangan penonton sampai tak berakhir dalam waktu beberapa detik.
Setelah keluar dari gedung pertunjukan, Rini memutar kepalanya ke beberapa arah, mencari dua orang yang ingin dia berikan pertanyaan.
"Rin!"
Euis memanggil dari belakang dan Rini memutuskan untuk tak terlalu berusaha mencari mereka berdua. Apalagi Rini sudah mengerti karakteristik Arisa yang sangat sulit untuk dicari.
"Kamu kenapa, kok kaya lagi nyari orang begitu?" tanya Euis.
"Oh enggak, aku tadi cuma kebetulan ngeliat kak Arisa."
"Kak Arisa! Hoo, jadi dia datang ke acara begini juga, ya."
Nama dari gadis yang bisa membuat Beni takluk dengan mudah memancing Rian untuk berpikir. Kalau tak salah Arisa mengatakan sesuatu yang penting dengan Beni, mungkin saja, maksud kalau Beni diculik itu dia diculik oleh Arisa.
Kalau memang begitu, Rian tak perlu khawatir dengan sebiji sahabatnya itu.
"Jadi, kita mau kemana lagi?"
Suara ceria dari Euis menyatukan kembali kesadaran Rian.
Gadis yang dia cintai itu tersenyum. Menunggu balasan yang bisa membuat semangatnya naik.
"Hm, kemana lagi enaknya, ya?"