Siang hari berubah menjadi malam. Matahari yang sebelumnya terik menyinari saat itu digantikan oleh terangnya bulan.
Masih di wilayah kampus. Hampir seluruh mahasiswa yang berpartisipasi dalam acara berkumpul di lapangan rerumputan. Baik itu para panitia, pekerja dan bahkan ada beberapa dosen yang ikut meramaikan.
Bahkan tak hanya ada para mahasiswa kampus. Beberapa orang luar seperti Rini dan Euis juga masih ada di situ.
"Rian, kau yakin kami boleh ikut ke acara penutupan kalian ini?"
Rini yang diminta untuk menetap sedikit merasa bersalah.
Di samping, Rian yang duduk dan tubuhnya digunakan sebagai sandaran Euis yang sedang memejamkan mata menjawab, "Yah, kenapa enggak. Lagipula kau tadi udah membantu kami dalam menangkap tiga orang pembawa masalah itu."
"Eh, bukannya aku gak ngapa-ngapain?!"
Kalau Rini tak salah, dia malah membuat trio pembuat masalah itu kabur dan bukan menangkap mereka. Jadi dia bingung kenapa Rian bilang kalau dia membantu mereka.
"Udah, gak usah dipikirkan," jawab Rian enteng.
Rini masih merasa bersalah dan tak enak. Rian malah memberikannya jawaban yang tak memberikan efek positif apa-apa.
"Kau benar-benar payah dalam meyakinkan orang lain, ya."
-
Pindah posisi ke seorang pemuda berambur merah yang menatap kosong ke tengah-tengah kerumunan yang sedang mengelilingi tumpukan kayu.
Jujur Bagas sangat ingin pulang. Tetapi dia tak bisa karena kekasihnya meminta untuk tetap di situ setidaknya sampai pertengahan acara. Jadi bisa dibilang, saat itu Bagas sedang bosan.
"Si Aceng kemana, lagi?"
Sejak perpisahan mereka siang tadi Beni masih belum ditemukan. Meskipun laporan mengatakan kalau dia sudah ganti baju, setelahnya dia menghilang entah kemana lagi.
Dari dalam lubuk hati Bagas khawatir. "Kalau aja si jancok itu ngelakuin apa-apa ke Kak Arisa..."
Sebelumnya Beni bersama dengan Arisa. Kemungkinan mereka berdua berduaan di suatu tempat yang tak diketahui.
Tak heran sebenarnya kalau itu menyangkut Arisa yang bisa bergerak seperti hantu. Sosoknya sulit untuk dideteksi. Kalau orangnya sendiri tak punya niat sesuatu dengan seseorang, orang itu pasti akan sangat sulit untuk menemukannya.
Satu hal itulah yang membuat Bagas cukup takut berhubungan dengan sepupunya satu itu.
Ketika nestapa menghampiri di saat rasa bosan memuncak. Seseorang memanggil :
"Cok!"
Bagas langsung memutar kepalanya ke belakang dan melihat sahabat jepangnya berjalan menghampiri dengan tawa polosnya. Entah karena gelap atau Bagas yang kelelahan, wajah Beni tampak lebih segar dari sebelumnya.
"Oi, darimana aja lu?" tanya Bagas.
"Ahahaha, rahasia," jawab Beni sambil menggaruk-garuk kepala seperti orang bego.
Jawaban Beni yang berniat memberikan kesan masa bodoh malah membuat Bagas curiga.
Tak ada basa-basi Bagas mengambil smartphone miliknya dan mengaktifkan fitur senter.
"Ngapain, cok?"
Lalu senter itu diarahkan tepat ke wajah Beni.
"Eh! Cok! Silau bang*at!'
Sesaat setelah wajahnya di terangi Beni langsung menutup pandangan dan wajahnya. Dari jarak waktu yang cepat itu Bagas mendapatkan apa yang dia ingin lihat.
Sebelumnya Bagas melihat kalau ada bekas lipstik yang menempel di satu pipi Beni. Bekas lipstik itu membentuk bibir. Dan kita pasti tahu akan kemana arah dari adegan selanjutnya.
"APA AJA YANG UDAH KAU LAKUIN, BANGS*T!?"
"EH!?"
Bagas menarik kerah baju Beni dengan kedua tangannya lalu berteriak sangat keras. Teriakan Bagas sampai menarik perhatian sekitar. Eruin yang sedang bercanda dengan teman-temannya bahkan dibuat khawatir ketika pertama mendengar kemarahan Bagas.
"Apa maksudmu apa aja yang udah kulakuin, cok?!"
Bagas menjawab pertanyaan kaget Beni dengan menekan-nekan pipinya cukup kuat.
Beni yang awalnya bingung apa maksud Bagas menyentuh sedikit pipinya. Tersadar kalau ada sesuatu yang lengket di pipinya itu, dia langsung panik.
"Cok-cok-cok-cok-cok! Tunggu-tunggu-tunggu-tunggu! Aku bisa jelasin!"
Kemarahan Bagas yang tak tertahankan membuatnya mengeluarkan asap hitam di atas kepala dan warna matanya berubah merah. "Lebih bagus kau menjelaskan semua dengan detil!"
"Hiiii!"
Ekspresi Bagas satu itu mengingatkan Beni dengan Arisa yang marah dengannya. Tak heran kalau mereka berasal dari satu keluarga besar.
"Oke-oke-oke! Tapi sebelum itu sebaiknya kita mundur sedikit karena orang-orang khawatir dengan kita."
Merespon perkataan Beni, Bagas melihat ke sekitar dan mendapatkan pemandangan banyak pasang mata melihat ke arah mereka dengan khawatir. Satu di antara mereka adalah Eruin yang terlihat sangat resah.
Tak mau menarik perhatian lebih banyak lagi Bagas merangkul Beni, menariknya sedikit ke posisi belakang keramaian sambil menggosok-gosok kepalanya.
"Cok-cok-cok-cok! Sakeet!"
Perilaku Beni dan Bagas yang barusan setidaknya memberikan sedikit aura positif yang membuat orang-orang di sekitar tak khawatir lagi dengan mereka.
Menjauh sekitar 10meter dari posisi awal, Bagas menghentikan langkah kaki mereka. Selanjutnya dia melepaskan Beni dan memasang wajah serius.
"Sekarang. Jelaskan. Semuanya."
Tekanan yang diberikan Bagas membuat Beni sampai menelan ludah.
"Ok-ok-ok," ucap Beni mengawali sesi interogasi. "Pertama, kau harus percaya. Aku gak ngelakuin hal yang macam-macamg ke Kak Arisa."
"Terus apa maksud dari mulut yang ada bekas lipstrik itu?"
Bulu kuduk Beni langsung berdiri mendengar analisa Bagas yang Beni sendiri tak tahu itu benar atau enggak.
Sebelum memberikan penjelasan Beni memutar ke belakang sesaat untuk menyentuh sedikit bibirnya. Dan benar kalau bibirnya memiliki sedikit bekas lipstik.
Akan gawat rasanya kalau Bagas tahu Beni baru saja melakukan sesuatu yang tak terduga ke Arisa.
"C-cuk, kau gak ingat. Sewaktu crossdressing tadi kan mulutku dikasih lipstik," jawab Beni bergetaran.
Seluruh harapannya ditaruh semuanya ke jawaban yang Beni karang. Padahal dia juga tak ingat kalau bibirnya diberi lipstik atau tidak.
"Hmm. Ngomong-ngomong, aku suruh kau jelasin bukan ngeyakinkan aku kau gak ngelakuin apa-apa," ucap Bagas sembari memberikan tekanan yang lebih besar.
"Iya-iya-iya, maaf!"
Setelah dipaksa untuk melakukan satu perintah yang lebih jelas akhirnya Beni bicara.
Beni menceritakan kalau Arisa menariknya ke beberapa tempat tadi siang. Setelahnya mereka beristirahat sejenak. Di saat itulah dia mendapatkan sesuatu yang tak terduga dari Arisa.
"Cuma itu?"
"Ha?"
"Bagian kau dikasih ciuman di pipi. Cuma begitu, terus habis?"
Beni langsung mengeluarkan keringat dingin atas keraguan Bagas. Namun dengan usaha dan keberanian yang besar dia bisa meyakinkan Bagas kalau cuma seperti itu kejadiannya.
"Setelah itu aku dikasih kesempatan untuk ganti baju. Sewaktu semuanya udah beres, aku maunya langsung nyariin kau. Tapi Kak Arisa nyulik aku lagi buat dipertemukan ke dosen seninya. Dari situ aku diminta buat ngegambar Kak Arisa pake alat tradisional. Sesi sama dosen itu cukup memakan waktu yang lama. Sampai aku gak sadar kalau ini udah malem. Sehabis itu, aku langsung ke sini."
"Terus, Kak Risa kemana?"
"Hm, tadi aku disuruh pulang duluan sedangkan Kak Arisa masih sama si dosen. Tenang. Dosennya perempuan, kok."
Pantesan aja nih anak tenang, pikir Bagas merespon kalimat terakhir Beni.
Sesaat setelah sesi interogasi selesai, suara gerumuh mulai mengisi keramaian bersamaan dengan munculnya cahaya terang dari api unggun besar.
Bagas dan Beni mengakhiri sesi diskusi mereka lalu kembali ke kerumunan. Mereka berdua berpisah, Beni pergi ke kelompok Rian sedangkan Bagas ditarik Eruin menuju tengah keramaian.
Acara penutupan itu diiringi oleh lagu yang berasal dari gendangan yang dimainkan oleh kelompok mahasiswa pemusik khas daerah.
Semua orang yang bersemangat berjoget ria bersama dengan teman-teman, orang yang dikasihi, atau dengan seorang yang lebih tua dari mereka.
Acara berjoget ria sudah berlangsung selama lima menit tapi Bagas sudah merasa kelelahan.
"Kamu bener-bener gak cocok ada di acara beginian, ya," ucap Eruin sambil tertawa kasihan.
Bagas yang sudah menemukan tempat yang pas mendudukkan tubuhnya ke tanah rerumputan. Kepalanya yang pusing disandarkan ke lutut bersamaan dengan aura yang menekan orang lain untuk mendekat dikeluarkan.
Tak terpengaruh dengan tekanan yang dikeluarkan, Eruin dengan mudahnya duduk di samping kiri lalu mengelus kepala Bagas dengan lembut.
"Maaf, ya, udah maksa kamu untuk berjoget tadi."
Meskipun Eruin mengatakan maaf, senyum indah merekah dari bibirnya. Bagas melirik senyum indah itu yang membuatnya tak lagi murung. Kedua kakinya dilipat dan dia dengan bosan melihat ke depan.
Eruin cukup terkejut dengan perubahan sikap Bagas satu itu. Namun setidaknya itu bukan perubahan yang buruk.
Eruin menyandarkan kepalanya yang juga sebenarnya sudah kelelahan ke bahu Bagas lalu memejamkan mata.
Suasana masih sangat ramai. Orang-orang semakin banyak yang bergabung dalam sesi berjoget. Bahkan keempat sahabatnya yang lain juga berjoget berpasangan.
Euis yang sudah bangun menari ringan dengan Rian. Salah satunya tersenyum lebar sambil tertawa dengan satunya lagi juga menunjukkan senyumnya yang jarang sekali diperlihatkan.
Beni yang notabane terlahir dan besar di Jepang cukup menyukai berjoget ria. Bersama dengan Rini mereka menikmati suasana dengan jogetan ala om-om yang sedang dangdutan di pesta pernikahan.
Pemandangan itu cukup memberikan rasa bahagia ke Bagas yang sudah tak mau lagi bergerak.
Sebuah kenangan yang Bagas tak menduga kalau akan kembali lagi setelah setahun berpisah. Meskipun dia juga tak tahu tahun depan, tahun depannya lagi, atau tiga tahun lagi mereka akan tetap bersama seperti itu, setidaknya, dalam hati dia berharap dan bertekad.
"Aku akan berjuang sampai titik yang kita inginkan."