Masalah sudah terselesaikan. Para anggota panitia lain yang datang cukup terkesan dengan bagaimana Bagas menyelesaikan masalah yang cukup ribet.
Trio Pas-Pasan ditangkap dengan keadaan mereka yang bisa terbilang cukup kasihan. Salah satu dari mereka berjalan dengan bahu sedikit bergetaran. Salah satu berjalan sambil mengelus-elus pipi yang berubah warna biru. Yang terakhir berjalan dengan kaki pincang.
Dengan tiga orang pembawa masalah sudah ditangkap, itu berarti Bagas sudah terbebas dari tugas menjadi panitia.
Meskipun begitu dia harus menghabiskan waktu sebentar dengan para panitia ketua bagian untuk dimintai keterangan. Rian juga ikut mengantarkan tiga orang pembawa masalah yang habis dia hajar.
Meninggalkan Beni di belakang.
Beni yang masih berada dalam pakaian crossdressingnya mulai merasa pusing. Kepalanya di elus-elus dengan tangan kanan untuk meminimalisir rasa sakitnya.
Rasa sakit di kepalanya itu datang dari perasaan yang tersiksa karena dia dipaksa untuk memakai kebaya dan berdandan sebagai seorang perempuan.
Parahnya lagi, ketika dia menuju tempat di mana Trio Pas-Pasan bersembunyi, baik cewek dan cowok lain yang melihatnya merasa terpukau akan kecantikannya.
Hnggg, jancoklah!
Perhatian orang yang ditujukan kepadanya-lah hal yang paling membuatnya merasa tersiksa. Bahkan di saat dia sedang berdiam diri menjauh dari kelompok, beberapa orang anggota panitia mencuri pandangan ke arahnya.
Ngeliatin apaan kalian, suw!
Kesal dan marah. Ingin sekali rasanya Beni melepas semua pakaiannya agar perhatian itu berhenti datang. Namun akan lebih malu lagi rasanya kalau dia membuka semuanya di tempat itu juga.
Berpikir untuk segera mengganti pakaian, 'Alamak, di mana lagi gedung fakultas seni itu?'.
Karena terlalu sibuk mengurusi rasa malu dan kesal, Beni sampai lupa jalan pulang ke ruang ganti di mana semua pakaiannya tertinggal.
Rasa bingung membuatnya menggaruk kepala.
Mau meminta bantuan Bagas sekarang, ada kemungkinan kalau mereka akan mempermainkan penampilannya.
Uughh, sampe kapan sih mereka mau diskusinya?!
Beni sudah menunggu kelompok Bagas cukup lama untuk mengakhiri perbincangan mereka. Namun rasanya mulut mereka tak mau berhenti untuk bergerak.
Suntuk melanda pikiran Beni.
Di saat itu pula, sebuah selendang melewati wajahnya dan berhenti di mulut. Selendang itu membungkam mulut Beni dan menariknya ke belakang.
Eh-eh-eh-eh!
Beni tahu siapa pelaku dari penculikan dirinya itu.Tetapi pertanyannya, 'kenapa setiap kali harus seperti ini sih?!'.
Setelah menarik Beni cukup jauh dan di tempat yang tak terlihat, selendang di renggangkan dan akhirnya Beni bisa bernafas lega.
"Heehh!"
Tarikan selendang sebelumya cukup menguras tenaga karena Beni harus berjalan mundur sambil berusaha menyeimbangkan tubuhnya.
Sesaat setelah dia mengambil nafas lega, bahunya di tarik lalu tubuhnya didorong dan menempel di dinding.
Yang melakukan hal itu tak lain dan tak bukan adalah Arisa.
Beni sebenarnya tak terkejut melihat sosok Arisa menemukan dirinya. Tetapi hal yang lebih gawat lagi, 'kenapa Kak Arisa memojokkan tubuhku sambil menatap penuh nafsu?!'.
Arisa yang mengunci Beni dengan menekan dua tangannya ke dinding dan menatap Beni dengan ekspresi yang sangat tertarik dengan sesuatu, membuat Beni cukup takut.
Di saat jantungnya berdegup kencang dan pikirannya entah mencoba pergi kemana, Beni membuka suara, "Um, Kak?"
Keringat mulai berkucuran dari wajah Beni saat Arisa tersenyum merespon pertanyaannya.
"Kamu, manis banget."
Tuh, kan!
Apa yang ditakutkan Beni menjadi kenyataan.
Penampilan Beni saat itu sudah menarik banyak sekali perhatian. Kalau saja sebelumnya dia tak berjalan dengan Bagas, mungkin akan ada beberapa orang yang mencoba mendekatinya.
Dengan begitu tak menutup kemungkinan kalau Arisa yang hadir di festival mengetahui soal penampilan Beni dan menjadi sangat tertarik dengan itu.
"Uh, kak, tolong jangan lakuin hal yang macam-macam?"
Merespon rasa cemas Beni, Arisa hanya tersenyum sambil memperbaiki posisinya.
Beni akhirnya bisa menghirup nafas lega kembali karena mungkin Arisa mau mendengarkan permintaan kecilnya, mungkin.
Di saat Beni pikir akhirnya dia terlepas dari masalah, Arisa dengan santai mengikat pergelangan tangan Beni menggunakan selendang miliknya.
Beni mengangkat tangannya yang diikat, menatap Arisa heran, dan bertanya :
"Kak, untuk apa ini?"
Sekali lagi, Arisa hanya tersenyum menggoda merespon pertanyaan Beni.
Kemudian dia menarik tangan Beni sambil berkata ceria, "Ayo, nikmati festival ini selagi kita bisa!"
Aura dan senyuman yang sangat cerah yang tak pernah Beni lihat sebelumnya membuat Beni tak bisa berkata apa-apa selain mengikuti kemana Arisa menuntun mereka.
Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah wahana rumah hantu yang dibuat oleh mahasiswa fakultas teknik.
Kenapa ke sini!?
Jujur, Beni tak cukup kuat untuk mengatasi rasa takutnya dengan hantu. Tetapi tangan Arisa yang menggenggamnya, mengajaknya masuk ke dalam wahana, membuatnya tak bisa menolak.
Di dalam wahana rumah hantu, mereka berdua berjalan melewati setiap rintangan dan rasa kejut yang diberikan.
Seperti yang dibilang, Beni tak cukup kuat untuk mengatasi rasa takutnya. Namun, Arisa yang berada tepat di sampingnya, menggenggam erat bahunya dengan kedua tangan, membuat Beni diam terpukau.
Arisa yang merasa ketakutan benar-benar terlihat manis dalam pandangan Beni.
Di saat itu juga, mereka terhenti sejenak. Arisa langsung saja menatap Beni yang tiba-tiba menghentikan langkah kaki mereka.
Di dalam ruang gelap yang cukup menegangkan, sebenarnya mereka merasa lumayan senang.
"Mau coba lari sampai jalan keluar?" ujar Beni.
Arisa sedikit terkejut sewaktu Beni tiba-tiba saja menjadi cukup agresif. Hal itu membuatnya tersenyum bahagia dan langsung saja menjawab, "Yuk!"
Dengan begitu, mereka berlari sampai jalan keluar. Berteriak dan merasa terkejut bersama-sama sepanjang wahana.
Setelah mereka keluar, Arisa tertawa ceria karena rasa senang yang mereka dapatkan. Di sisi lain, Beni merasa jantungnya mau copot karena ketegangan yang terasa tiada akhir.
Satu hal yang mereka bagi bersama adalah rasa sesak akibat berlari sambil dikejutkan sepanjang jalan.
Setelah merasa cukup tenang, Arisa melihat ke arah Beni yang masih memegang dadanya sambil masih merasa ketakutan.
Arisa mendekat ke Beni dan mengambil tangan kanannya. "Cari minum, yuk."
Arisa mengajak mereka berdua untuk pergi ke salah satu kios yang menjual minuman.
Sewaktu Arisa membeli minuman untuk mereka berdua, Beni disuruh menunggu dan hal itu membuatnya menjadi bahan penarik perhatian.
Banyak pasang mata melihatnya dengan rasa kagum dan penasaran.
Hal yang pasti dari pandangan mereka adalah pertanyaan yang menanyakan, siapa dia dan apa hubungannya dengan Arisa?
Sebelum dua pertanyaan itu mendapatkan hipotesa, Arisa sudah kembali dengan dua gelas plastik berisi minuman.
Arisa memberi satu ke Beni, lalu mengajak mereka pergi ke tempat selanjutnya.
Berjalan ke satu tempat yang Beni tak tahu di mana, yang bisa dia lakukan hanyalah mengikuti Arisa dari belakang. Dengan tangan kanannya masih terikat dengan selendang Arisa yang dibuat untuk mencegah Beni agar tidak kabur.
Dari posisi itu, Beni bisa melihat dengan cukup jelas sosok yang dia lamar sebulan lalu. Tak disangka, sosok itu lebih kecil dari terakhir kali Beni melihatnya.
Kalau dibandingkan, tinggi Arisa dengan Beni saat itu berada kurang lebih sepuluh cm. Kalau saja mereka berdua berdiri berdampingan, maka tinggi Arisa berada di bawah hidung Beni.
Terakhir kali mereka berdua berdiri berdampingan pada sewaktu Arisa menolak permintaan Beni. Saat itu tinggi mereka masih sama. Yang berarti dalam waktu satu tahun tinggi Beni meningkat cukup drastis.
"Ni... Juni."
Tak sadar dirinya sedang melamun sambil berjalan, Arisa berhenti dan memanggil Beni dari depan.
Beni akhirnya sadar kalau dia sedang melamun, tapi, "Ada apa dengan panggilan itu, kak?"
Arisa memiringkan kepala, cukup heran dengan pertanyaan Beni.
"Ya, kalau aku panggil kamu dengan nama panggilan biasa, pasti orang-orang yang mendengar akan bertanya-tanya, kan?"
Nama panggilan biasa?
Dibuat berpikir sejenak, Beni akhirnya tersadar. Oh, maksudnya orang-orang bakal heran kalau dia manggil aku dengan sebutan Beni.
"Tapi, kenapa Juni?"
"Singkatan dari Jun dan Beni."
Aceng, Jun, Sabeni. Arisa mengambil Ju dari Jun, dan Ni dari sabeNi. Cukup masuk akal.
Masih dalam mode berpikir, Arisa menarik-narik tangan kanan Beni lewat selendang.
"Hei, ayo, pertunjukannya mau dimulai itu."
"Pertunjukan?"
"Udah, ikut aja."
Entah apa yang merasuki Arisa, tetapi dia terlihat sangat cerah dibanding biasanya.
Beni sebenarnya menyukai sikap dingin dan keren dari Arisa yang biasanya. Namun dia tak menolak kalau diberikan Arisa yang mudah tersenyum dan berinteraksi dengannya.
Rasanya seperti mendapatkan bidadari bersayap hitam dan putih. Memiliki dua sifat yang berbeda tergantung situasi dan waktunya berada.