Chereads / Pengantin Lima Ratus Juta / Chapter 44 - Festival Musim Panas (11)

Chapter 44 - Festival Musim Panas (11)

"Eeeeennggaaaaaaakkk!"

Teriakan Beni yang cukup kencang dapat terdengar di dalam sebuah ruang ganti gedung fakultas kesenian.

Di tempat kejadian, kedua tangannya di genggam oleh dua mahasiswi dan semua pakaian luarnya perlahan di lepas oleh satu orang lagi.

Beni berusaha memberontak dengan sekuat tenaga. Namun siapa sangka, kekuatan Beni tak lebih kuat dari dua mahasiswi yang memegangnya. Malahan hal itu membuat mereka berpikir, 'Lemah banget ini, cowok.'.

Bajunya hendak di lepas paksa oleh para mahasiswi yang dimintai tolong. Meskipun tenaganya tak besar, gerakan yang dibuat membuat mahasiswi yang ingin mengganti pakaiannya cukup kerepotan.

Melihat ke arah sahabat yang dengan tenang memandangi perlakuan yang tak mengenakkan itu, Beni berteriak :

"Enggak. Enggak. Enggak. Cok! Kenapa!?"

Ekspresi Beni kesal, marah dan di saat yang sama hampir pasrah.

Bagas meminta para mahasiswi yang dia mintai tolong untuk berhenti sejenak. Berjalan mendekat dengan memegang kain yang dilipat, Bagas menjawab.

"Maaf, cuk. Tapi, ini yang terbaik untuk kita, jadi kumohon, bertahanlah."

Bagas menjawab kekesalan Beni sambil membungkam mulut Beni menggunakan kain yang dia bawa.

Diperlakukan seperti itu tentu saja membuat Beni sangat terkejut dan terpukul. Meskipun begitu, dia tak bisa melakukan apa-apa lagi dan merespon perkataan Bagas dengan ekspresi menyerah. Wajahnya ditundukkan ke bawah sembari nyeloteh dalam hati, 'Jancok ini anak.'.

Setelah keadaan di dalam menjadi sedikit lebih tenang, dua orang gadis bersama dengan satu pemuda yang menunggu di luar menjadi cukup risau.

"Apa Beni baik-baik aja, ya?"

Euis cukup khawatir apa Bagas sudah bertindak terlalu berlebihan. Di sebelahnya, Rini melihat ke Rian dan bertanya.

"Apa bener kalian gak mau meminta bantuanku?"

"Enggak perlu," jawab Rian tegas. "Lagipula ini masalah internal yang harus kami tanggung jawabi sendiri."

Sepertinya mereka sudah menetapkan diri untuk tak meminta bantuan Rini. Namun tetap saja Rini masih merasa khawatir.

Di saat suasananya menjadi senyap Euis merasa penasaran. "Apa sih yang mereka berdua lakukan di dalam sana?"

Pertanyaan Euis tak bisa dijawab oleh dua sahabat yang bersamanya. Dan hanya waktu yang bisa memberitahu.

*

Trio Pas-Pasan. Mereka menyebut kelompok kecil mereka dengan sebutan itu. Meskipun tak ada orang lain yang tahu dan mereka lebih sering di cap sebagai trio pembuat masalah, itu tidak masalah bagi mereka.

Anggota Trio Pas-Pasan terdiri dari Tukijo, Si ketua yang berwajah menyeramkan, memakai ikat kepala berwarna merah. Dua anggota di antaranya, Riki – si pemuda yang cukup tampan dengan rambutnya yang dicat pirang, dan Udin – pemuda kurus biasa saja yang bisa ditemui di jalanan.

Saat itu mereka sedang bersembunyi di salah satu kelas yang berada di sisi selatan kampus. Mengulang kembali kejadian yang tak enak yang baru saja mereka lalui.

"Bos, apa kepalamu baik-baik aja? Gak ada tanda-tanda kerusakan lebih lanjut, kan?" tanya Riki ke bosnya yang sedang menggaruk-garuk bagian kepala yang diremas sebelumnya.

"Matamu suek! Gak berasa kalo cuma di remet gitu doang. Eh, maksudmu apa 'bilang gak ada kerusakan lebih lanjut?'" cetus si bos kesal.

"Ngomong-ngomong, itu orang hebat juga bisa membuat bos sampai tunduk kesakitan begitu?" Udin cukup terkesan mengingat kembali kejadian tak enak yang menimpa bosnya.

"Yah, untung aja yang kena bos. Kalau tadi itu aku, aku pasti udah teriak ampun-ampun." Riki menggeleng sambil sedikit bersyukur.

"Eh, jambut, lu ngajak ribut apa begimana, sih?!"

Perbincangan mereka terus berputar di satu titik yang sama. Namun mereka memakai kalimat yang berbeda di setiap sesi.

Meskipun tak ada yang tahu nama kelompok mereka adalah Trio Pas-Pasan, tapi kalau ditanya kenapa mereka memilih nama itu karena, sederhananya, setiap mereka melakukan sesuatu mereka akan melakukannya setengah-setengah, dalam kata lain pas-pasan.

Namun salahnya, setiap hal yang mereka lakukan itu berkaitan dengan kejahatan. Meskipun bukan kejahatan yang serius, tetap saja mereka dianggap sebagai pembawa masalah.

Tertulis setelah kedatangan mereka di universitas, mereka sudah melakukan cukup banyak kejahatan yang setengah-setengah. Seperti mengintip toilet perempuan. Sok asik terhadap orang lain. Dan tak segan untuk mendatangi perempuan yang sedang sendirian.

"Asuwlah. Padahal niat kita itu untuk menemani si eneng tadi sampai temennya tiba."

Tukijo yang kesal menggaruk rambutnya dengan cukup kuat.

Dari samping, Riki bisa mengerti sedikit perasaan kesal si ketua. "Iyah, padahal si eneng tadi cukup cakep. Tapi karena muka serem si bos, dia jadi ketakutan pada pandangan pertama."

"Eh, ki*til, jadi yang tadi itu salahku?!"

"Ya, ya, bukan sepenuhnya bos, tapi setengahnya aja."

Mendengar kata setengah dari anak buahnya, Tukijo cukup senang dan menarik buah tangan yang hendak diberikan ke wajah anak buahnya itu.

Di saat si ketua dan satu anggota sedang cekcok, Udin yang sebelumnya mendengar langkah kaki melihat ke arah belakang. Ke satu arah di jendela kaca yang di sisi jendela kaca itu berdiri sesosok bayangan seorang perempuan.

"Bos, bos, liat."

Udin menarik perhatian dua anggota kelompok lain untuk melihat ke arah yang dia lihat.

Setelah mengonfirmasi kalau itu benar sosok manusia, mereka bertiga mengintip dari balik pintu. Dari situ mereka bisa melihat ada sesosok perempuan yang sedang berdiri diam di depan kelas.

Perempuan itu berambut hitam panjang sepunggung. Memakai kebaya bermotif bunga melati berwarna ungu. Terlihat sangat elegan.

Trio sempat ternganga melihat sosok indah itu berdiri diam di tempat.

Kalau tidak salah, ada sebuah rumor yang mengatakan kalau ada seorang mahasiswi cantik yang setiap saat mengenakan kebaya. Mereka tak tahu pasti siapa namanya, tetapi kalau ada seorang perempuan berkebaya selain dari kios kafe milik fakultas seni, berarti dialah orangnya.

Tanpa basa-basi, mereka langsung saja melancarkan serangan.

Tukijo yang pertama kali keluar dari persembunyian. Dengan suara serak yang dia punya, beberapa kata dikeluarkan, "Halo, eneng, lagi apa diem aja di situ."

Si perempuan berkebaya cukup terkejut saat mendengar Tukijo tiba-tiba berbicara dari belakangnya.

Di saat jarak mereka semakin mendekat, si perempuan berkebaya yang melirik mereka sesaat langsung saja berlari ke arah sebaliknya.

"Eh, neng, tunggu!"

Tanpa pikir panjang mereka mengejar perempuan itu.

Dari belakang, Riki yang menyadari ada sesuatu yang aneh dengan perempuan yang mereka kejar berkata :

"Bos, kok perempuan itu larinya lumayan kenceng, ya?"

Tak hanya itu, gaya lari si perempuan juga tak berkesan feminin sama sekali.

Namun, si bos yang bodoh membaca situasi tak memikirkan hal semacam itu. "Udah, jangan banyak bacot, kejer aja dia."

Dengan begitu, sudah ditetapkan mereka akan terus mengejar sampai perempuan itu didapat.

Mereka sudah cukup jauh berlari, dan sewaktu mereka akan melewati lorong yang membelok, perempuan berkebaya di depan berbelok ke lorong.

Trio langsung saja mengikuti perempuan itu. Saat mereka membelok, mereka mendapatkan pemandangan kalau ada seorang laki-laki berambut merah yang menunggu mereka.

Si perempuan yang mereka kejar bersembunyi di belakang si laki-laki yang berekspresi menantang.

Situasi itu cukup tak disangka, dan satu-satunya yang menyadari hal itu hanyalah Riki. Sedangkan, ketua yang dia ikuti dengan merasa sok superior berjalan ke depan dan berbicara lantang.

"Woi, ngapain lu di sini?"

Yah, sebenarnya, ngapain juga kita ngikutin perempuan itu sih, pikir Riki heran.

Si laki-laki yang terlihat melindungi si perempuan berkebaya maju satu langkah. "Oi-oi, harusnya aku yang tanya, untuk apa kalian mengejar gadis manis tak berdaya ini?"

-

Pertanyaan Bagas masuk diakal. Dan meskipun Riki berada di sisi yang berbeda dengannya, dia sangat mendukung sosok Bagas yang mempertanyakan kebodohan ketua yang dia ikuti.

"HA!? Ya, itu karena eneng itu kelihatan punya masalah, jadi ya kami kejar."

Jawaban dari Tukijo terdengar masuk akal, tetapi juga terdengar bodoh di saat yang bersamaan.

Bagas cukup kagum mengetahui kebodohan ketua Trio Pas-Pasan itu. Di sisi lain, Riki menggeleng sambil memegang kening kepalanya.

Ada dua alasan kenapa perempuan kebaya itu terlihat memiliki masalah. Pertama, perempuan berkebaya itu adalah Beni yang didandan secantik mungkin sebagai penyamaran memancing Trio Pas-Pasan keluar. Tentu saja, hal itu sangat bermasalah baginya. Karena dia seorang pemuda yang percaya diri dengan tampang dan jenis kelaminnya. Namun saat itu dia sedang menyamar sebagai perempuan tulen yang membuat cukup banyak perempuan lain iri saat melihatnya.

Alasan kedua, tak perlu ditanya lagi.

"Dia lari karena kalian tiba-tiba berbicara dengannya."

Ingin rasanya Bagas menambahkan kata 'bego', di akhir kalimat. Namun niatnya diurungkan agar tak terlalu memanasi suasana.

Mendengar pernyataan Bagas, Tukijo dan Udin seperti, 'Ha, beneran?'.

Ya, kebodohan mereka berdua berada di tingkatn yang cukup mengkhawatirkan sampai Riki bingung kenapa dia bisa terperangkan bersama dua orang tak jelas itu.

"Ya, btw, aku gak bisa memaafkan kalian karena beberapa hal. Jadi, aku akan mengakhiri jalan ninja kalian di sini."

Bagas yang ingin mengakhiri masalah mereka dengan cepat mengatakan sesuatu yang terdengar (sok) keren. Meskipun di belakang, Beni yang membisu sangat kesal dengannya merasa sok pahlawan begitu.

Dari depan, kelompok Trio Pas-Pasan sedang sibuk dengan diskusi mereka sendiri.

"Jadi, gimana nih, bos?" tanya Riki bingung.

"Hmm, yah, mau gimana lagi, kalau dia ngajakin berantem ya kita ladeni," cetus Tukijo yang mulai bersemangat.

"Btw, hebat juga dia bos, mengakui kita sebagai ninja."

Diskusi singkat mereka di akhiri dengan kalimat Udin yang entah penting untuk didengarkan atau tidak.

Bersiap dengan pertempuran yang akan dilakukan, Tukijo maju satu langkah sambil menjentikkan setiap jarinya. Dua anggotanya di belakang juga melakukan peregangan sebelum bertempur.

Meskipun di depannya berdiri tiga orang yang lebih bugar dan sehat, Bagas tak menampakkan tanda-tanda khawatir sama sekali.

"Wah-wah, ternyata kalian cukup bersemangat, ya. Tapi sayang, kalian akan kuhajar habis-habisan."

"Halah, banyak bacot lu."

Tukijio tak ingin membuang-buang waktu dan maju selangkah demi selangkah mendekati Bagas dan Beni.

Dari belakang Beni merasa cukup khawatir karena Bagas masih saja diam, padahal musuhnya terus berjalan mendekat.

"Hm, kalian pikir bisa mengalahkanku," ujar Bagas dalam diamnya. "Kalau kalian memang sepercaya diri begitu. Akan kubuktikan kalau aku bisa mengalahkan kalian tanpa bergerak seinci."

"Banyak bacot juga ini anak."

Tukijo benar-benar heran dan tak habis pikir kenapa sebiji pemuda di depannya harus banyak bergaya sebelum pertarungan mereka. Namun tak disangka, dia meneriakkan, "STAND POWER : RIANCOK PLATINUM", di saat kelompok Trio Pas-Pasan hanya tiga meter di depannya.

Sewaktu Bagas meneriakkan kata magicnya, Trio Pas-Pasan berhenti berjalan karena reflek, lalu tak lama kemudian, seseorang menjegal Tukijo lewat kakinya seperti yang dilakukan siang tadi.

Sewaktu dijegal Tukijo sempat keheranan. "Eh?". Dan saat kedua lututnya sudah menyentuh lantai, bagian buhunya dipukul sangat keras. "AK!"

Teriakan si bos yang tiba-tiba membuat dua anggotanya sangat kaget. Secara reflek mereka melihat ke samping, di mana si ketua mulai terjatuh ke lantai tak sadarkan diri.

Tak bisa bereaksi lebih cepat, sebuah punggung tangan melesat dan menargetkan wajah Udin. "ADOH!". Wajah Udin menjadi korban pukulan, tak hanya itu, tubuhnya dibuat terhempar cukup kuat sampai dia menabrak tembok.

Riki yang melihat kejadian mengerikan itu menyadari kalau ada sesosok makhluk buas berkacamata yang haus akan darah mereka.

Setelah selesai dengan Udin, makhluk buas berkacamata itu melirik ke Riki. Bulu kuduk Riki langsung saja tersetrum hebat. Dengan cepat dia berbalik ke belakang dan langsung menyiapkan kakinya untuk mulai berlari.

Namun sayang, setelah Riki melangkahkan lari pertamanya, kakinya dijegal dan dia terjatuh cukup kuat ke lantai.

Di lantai jorok dan lorong yang gelap, Riki membalikkan badannya untuk menghadap ke makhluk buas berkacamata. Berniat meminta ampunan.

"Ampun! Tolong! Kalian bisa menangkap mereka! Aku cuma ikut-ikutan doang! Jadi tolong lepasin aku!"

Makhluk buas berkacamata berhenti sejenak dan melihat ke belakang. Meminta konfirmasi ke tuannya apa yang harus dia lakukan.

Dari belakang, Bagas memberikan pose eksekusi – gerakan memotong leher, untuk memberitahu kalau Riki tak ada harapan lagi.

Setelah mengkonfirmasi kalau makhluk buas itu disuruh untuk menghabisinya, Riki menggulung tubuhnya dan berteriak, "EMAK!"

Makhluk buas berkacamata merasa cukup kasihan dengan pemuda yang ternyata penakut itu. Sebagai ganti untuk menghilangkan kesadaran, makhluk buas memilih untuk menyepak tulang kering kaki kanan Riki sebagai gantinya.

Meskipun sepakan itu merupakan ampunan, rasa sakit yang diberikan bukan main. Riki sampai kesakitan dan berteriak dalam senyap.

Masalah sudah dibereskan. Dan rasanya lebih mudah dari perkiraan.

Bagas yang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana mengucapkan kalimat terakhir dalam pertempuran, "Yare-yare daze."