Kali itu, giliran Rini yang melihat layar smartphone miliknya berwarna hitam. Rasa khawatir mulai menyerang perasaan karena berpikir mungkin sesuatu yang buruk telah terjadi pada Dani.
Tanpa perlu terlalu khawatir, dan setelah ditunggu beberapa detik, akhirnya Dani merespon.
"Maaf, aku, enggak apa-apa, kok. Cuma ..."
Dadanya terasa cukup sesak. Itu kali pertama Dani merasakan sesak yang cukup tak tertahankan setelah sekian lama.
Rasa sesak yang biasa dia rasakan berasal dari peristiwa masa lalu di mana dia sering diperlakukan tidak baik oleh teman sekolah yang membencinya.
Tetapi kali itu berbeda. Dan dia tahu kenapa. Karena itu dia tak berniat untuk mengelak.
"Rini, boleh aku jujur?"
Pertanyaan Dani yang terdengar serius itu membuat Rini menahan nafas sesaat. Tangannya mulai bergetar entah kenapa.
Meskipun hatinya tak siap, Rini tetap berkata, "Um, boleh."
Dani menghirup nafas sejenak setelah mendengar jawaban iya.
Smartphone-nya dinaikkan sedikit ke atas mulut, namun tak berniat untuk memperlihatkan wajah. Rini juga tak cukup kuat untuk melihat layar smartphone, jadi dia melakukan hal yang sama.
"Jujur, sejak waktu di mana aku membuatmu menangis, ada sebuah perasaan yang terus mengganjal hatiku. Aku gak tahu pasti apa rasa itu cuma rasa yang lewat belaka atau enggak. Tapi, setelah dua tahun lebih perasaan itu muncul, rasa itu tak pernah berubah. Malahan, rasa itu semakin kuat setelah aku semakin jauh darimu. Aku ingin melihat wajahmu lagi. Aku ingin mendengar suaramu lagi. Aku ingin bersama sosok yang sering kali membantuku ketika aku kesulitan. Setiap hari di sini kulewati dengan menahan keinginan-keinginan itu. Tapi, kepergianku malah membuatmu marah dan hal itu membuat keadaannya sulit untuk bisa bertemu denganmu lagi."
Dani menghentikan kalimat panjangnya sejenak. Namun, di saat senyap menyerang, dia mulai mendengar isak tangis seseorang. Hal itu tentu saja membuatnya terkejut.
"Ri – Rini?"
Dani bisa memikirkan, kalau penyebab tangisan Rini adalah kata-katanya yang terdengar cukup menyakitkan di hati. Namun dia tak menyangka kalau itu sampai bisa membuat Rini menangis.
Di sisi lain, Rini membungkukkan tubuhnya sambil menekan smartphone Bagas dengan sangat erat di dada. Berusaha menyembunyikan wajahnya yang terlihat menyedihkan dengan air mata yang terus berlinang.
Dani tak tahu apa yang harus dilakukan. Sampai suara pesan masuk datang dari kontak sahabat Jepangnya yang berkata, [Biarkan dia sejenak.]
Tak jauh dari posisi Rini yang menangis, Bagas, Beni, Euis dan Rini hanya melihat dari kejauhan. Euis dan Eruin tampak gelisah dan sangat ingin untuk membantu Rini, namun Bagas tak mengijinkan mereka. Dan Bagas dengan menggunakan smartphone Beni mengintruksi Dani untuk tetap tenang.
Meskipun suara isak tangis Rini tak terdengar, namun posisi dan suasana kesedihan yang ada di sekitarnya cukup bisa dirasakan oleh orang-orang yang memperhatikan.
Dari posisi Rian yang bersama dengan teman-teman panitia acara juga tampak mengkhawatirkan Rini. Namun Rian menghentikan mereka sebelum mereka mendekat. Melihat ke arah Bagas seolah meminta konfirmasi, Bagas menggeleng ke arahnya. Mengintruksi kalau jangan ada yang mengganggu Rini.
Isak tangis Rini sudah mulai mereda. Di saat itu juga pesan masuk datang lagi dari kontak Beni ke Dani yang berkata, [Dia udah mulai tenang. Bicara lagi.]
Bicara lagi? Tapi, apa yang harus ku bicarakan?
Dani mulai bingung. Kebingungannya itu terbaca oleh Bagas dan pesan masuk datang lagi. [Bicarain apa aja, bang*at. Tenangin dia.]
Dengan paksaan itu, sebuah ide datang ke kepala Dani.
"Rin, tahun baru nanti, aku punya rencana mau pulang. Jadi, kalau ada sesuatu yang kamu pengen, mungkin bisa ku belikan."
Setelah mengatakan hal yang menyedihkan semacam itu, Dani menepuk kepalanya. Padahal ada banyak hal yang bisa kubilang selain tadi.
Dani mengasihi dirinya sendiri yang bodoh dalam memperbaiki suasana hati seorang perempuan. Namun siapa sangka, Rini yang sudah mulai tenang angkat bicara.
"Oleh-oleh. Makanan atau terserah."
Makanan atau terserah? Apa itu artinya aku boleh bawa makanan apa aja buat dijadiin oleh-oleh? Tapi kalau dibilang terserah, berarti aku boleh bawa apa aja, dong. Tunggu-tunggu.
Dani berada dalam jurang kebingungan dalam mengartikan apa yang diinginkan Rini. Kepalanya mulai pusing. Di saat dia masih belum bisa memberikan jawaban, Rini memanggilnya.
"Dani."
"... eh, iya?"
"Pulanglah dengan selamat, ya."
Kata-kata sederhana yang diucapkan Rini terdengar sangat membahagiakan. Dani sampai terpaku sesaat mendengar kalimat yang tak terduga itu.
Dani membiarkan suasana menjadi senyap sesaat. Lalu ketika keberanian dan kepercayaan dirinya meningkat, dia berkata :
"Rini, Ich liebe dich."
"Eh?"
Rini yang perasaannya sudah cukup tenang dibuat bingung oleh kata-kata asing yang diucapkan Dani. Dia ingin menanyakan apa arti dari kata-kata itu, namun sebelum dia bisa bertanya...
"Riiinn!"
Eruin dan Euis terlanjur berlari ke arahnya. Mereka berdua langsung mendudukkan diri dekat dengan Rini dan melakukan apa yang ingin mereka lakukan.
Euis dengan cepat menghapus bekas air mata Rini dengan sapu tangannya. Di sisi lain Eruin merampas smartphone dari tangan Rini dan melabrak Dani yang saat itu kebetulan melihat ke layar.
"Daan! Apa yang udah kamu lakuin ke Rini?!"
"Eeh!?"
Eruin marah dan Dani bingung bagaimana harus merespon. Karena dia tak bisa begitu saja menjawab dengan, 'aku baru aja nembak dia?' atau semacamnya.
Untung saja, pemilik dari smartphone mengambil miliknya dari tangan Eruin.
"Aska! Aku belum selesai dengan Dani!"
"Ei-ei, kenapa kamu marah begitu? Kan udah kubilang, yang terjadi barusan bukan hal yang buruk, ya kan, cok?"
Bagas melempar pertanyaan ke Dani yang sedang tersenyum masem.
Kok kayanya, hubungan kami diperlakukan secara istimewa dalam artian lain, pikir Dani heran.
Sebelum Dani sempat menjawab, Eruin bangkit dan melihat ke layar smartphone yang dipegang Bagas. Di belakang Bagas juga ada Beni yang memberikan salam jari tengah ke layar sambil memberikan ekspresi menjengkelkan.
"Ya – yaahh, aku minta maaf karena gak bisa jadi lelaki yang jantan."
"Jantan matane, suw! Yang ditanyain apa dijawab apa."
Seseorang yang marah atas jawaban Dani adalah Beni yang saat itu sedang sensian.
Mengkonfirmasi kalau memang tidak ada sesuatu hal yang buruk terjadi, Bagas mengarahkan kata "Kan." ke Eruin yang yang masih kesal.
Meskipun begitu, Eruin tetap tak menerima kenyataan kalau sahabatnya dibuat menangis.
"Humph! Sebaiknya kamu ganti air mata Rini yang jatuh lain kali, Dan!"
Tuntutan Eruin memang ingin dilakukan oleh Dani.
"Oke-oke, tenang aja. Bisa diatur itu," balas Dani sambil cengengesan.
Setelah mendapat jawaban yang bisa dibilang memuaskan, Eruin beranjak menuju sisi Rini dengan wajah yang masih masam.
Bagas tersenyum sambil menggeleng melihat perilaku kekanakan kekasihnya itu. Di sisi lain, Beni yang berdiri di samping Bagas berperilaku seperti dia memusuhi Dani, memberikan salam jari tengah dengan kedua tangannya sekaligus sambil menunjukkan ekspresi menantang yang mengesalkan kalau dilihat.
"Jadi, kapan kau balik?" tanya Bagas.
"Kalau gak ada perubahan rencana, natal nanti."
"Ooh, nice. Jan lupa bawa oleh-oleh, cok!" Beni menjadi semangat ketika mendengar kata oleh-oleh.
"Ashiap santuy."
Dengan begitu perbincangan mereka sampai pada akhirnya.
"Dah, kuputus nih komunikasinya," ucap Bagas.
"Oke."
Dani hanya meng-oke-kan sambil tersenyum ke dua sahabatnya.
Dari belakang, sejenak sebelum Bagas menekan tombol merah di layar, Beni membuat wajah geram yang mengesalkan sambil masih memberikan Dani salam jari tengah. Merespon hal itu, Dani juga memberikan salam jari tengah. Dan komunikasi diputus.
Dengan terputusnya komunikasi dengan para sahabat, Dani menjadi sendiri lagi.
Di taman yang entah sejak kapan sudah penuh dengan berbagai macam kegiatan. Dani duduk terdiam di salah satu kursi taman.
Entah kenapa hatinya menjadi lebih tenang. Pikirannya jernih akan hal-hal yang membuatnya stress sebelum bertemu online dengan para sahabat.
"Obat stress paling ampuh memang para comrade, ya."
Dalam suasana segar yang lumayan panas Dani menghirup dan membuang nafasnya dengan lembut.
"Mungkin aku bakal tembak Rini kalau pulang nanti."
Memikirkan kalau dia memutuskan untuk memulai hubungan dengan sahabat tomboy-nya itu cukup membuatnya pusing karena satu hal.
"Tapi, kalau ketahuan sama si babe ntar bakal ribet urusannya."
Dia menggaruk-garuk kepala di kala sosok seseorang yang cukup dia takuti hinggap dalam pikiran.
"Tapi ya, paling cuma bakal disuruh ngelamar."
Meskipun nada bicaranya berkesan kerepotan, dua bibirnya tersenyum kekeh.