Bagas sudah bergabung bersama empat sahabatnya.
Euis berdiri di depan kios. Beni merangkul Rini sambil ketakutan. Rini merangkul Beni sambil mengelus-elus kepalanya. Untuk Rian, dia hanya diam berdiri di tempat sambil melihat Bagas dengan sangat kesal.
Bagas yang merasa tidak enak meminta maaf. "Y – yo, maaf ya, aku bener-bener lupa kalau hari ini aku punya tugas."
"Enak ya, jadi dirimu, santuy mulu bawaannya."
Rian tak punya kata-kata lain selain satu kalimat itu. Mungkin karena disitu ada Euis, Rian bisa menahan emosinya. Kalau tidak, dia mungkin sudah menelintir kaki Bagas jadi dua.
"Tapi teman sekelasmu itu, dia bener-bener marah walaupun pekerjaan kalian gak seberat berlatih di gunung dan mengalahkan beruang ya, Bagas."
Rini yang sangat terkejut dengan pemandangan sebelumnya angkat bicara. Sebagai teman lama yang sudah bertetangga sejak lahir, Rini sampai ingin mengangkat tangannya kalau Jidan sampai menyakiti Bagas. Untung saja Jidan tak melakukan hal lain selain memarahinya.
"Aku yakin, kalau kita punya editor untuk mengawasi pekerjaan kita, dia pasti bakal sekejam itu."
Beni yang masih bergetaran di dalam rangkulan Rini angkat bicara.
Di sisi lain, Euis malah tertawa geli dan itu membuat semua orang melihat ke arahnya.
"Kenapa kamu tertawa, Euis?"
"Ah, ahahaha, Rini, kamu ingat sewaktu Pak Elang memarahi Bagas? Waktu itu sama persis seperti yang terjadi sebelumnya, kan."
Kata-kata Euis membuat mereka semua kembali mengingat, dimana seorang guru yang nyentrik, memarahi Bagas sama persis Jidan lakukan sebelumnya. Tak diduga, Bagas juga merespon dengan berekspresi yang sama.
"Temen Bagas yang tadi bener-bener menggambarkan watak Pak Elang ya, Euis?"
"Tadi aku juga gak kaget, seperti, kayanya pernah lihat adegan seperti itu sebelumnya."
Dua gadis dalam kelompok tertawa dalam nostalgia. Senyum indah mereka mengundang senyum pahit para laki-laki.
Meskipun teman sekelas Bagas sebelumnya mendapat nilai positif dari sahabat perempuan mereka, Beni tak terima.
"Hah! Apanya yang mirip Pak Elang? Pak Elang itu pria dengan sejuta passsion – " "Passion, cuk." " – kalau dibandingkan dengan pemuda manusia biasa tadi, dia tidak ada apa-apanya."
Perkataan Beni membuat teman-temannya bingung. Sebenarnya apa yang ingin dia sampaikan?
Teringat sesuatu, Rian melihat ke sahabat Jepang-nya itu. "Oh, iya, ceng, kenapa kau dituntun kemari?"
"Ha? Uhh, itu, dia bilang karena aku sahabatan dengan markucuk, itu berarti aku sahabatan denganmu juga, lek. Jadi dia bilang begini, 'karena kau sahabat mereka, kenapa gak bantu mereka aja?'. Ha, enak aja, aku datang kan buat – "
Sebelum Beni bisa menyelesaikan perkataannya, Bagas merangkul dan berkata. "Karena kau sahabat kami, kenapa kau gak bantu kami, cuk?"
"Anak setan!"
Beberapa saat berlalu.
Bagas dan Beni bergabung bersama Rian, atau bisa dibilang, menempati posisi kosong dari dua kios yang dijaga oleh Rian sebelumnya.
Dari depan, Rini dan Euis hendak pergi ke tempat lain.
"Kalau gitu, kami duluan."
"Cari uang yang banyak, ya."
Dengan Euis merangkul tangan Rini, mereka mulai berjalan menjauh. Berniat untuk menikmati festival. Meninggalkan tiga sahabat laki-laki mereka.
"Oi, Ian, kenapa kata-kata Euis tadi mengisyaratkan agar kau benar-benar cari uang yang banyak, apa kau mau ngelamar dia atau gimana?"
"Apa maksudmu? Aku gak ngerti."
Di tengah senyap, Bagas menanyakan sesuatu yang benar-benar membahayakan. Meskipun Rian ingin membicarakan hal itu, namun sepertinya waktu itu sangat tidak tepat, jadi dia bersyukur dia bisa mengelak.
Posisi mereka saat itu adalah, Rian di tengah. Dia menjaga kios yang menjual makanan tusuk yang digoreng. Menunya adalah sosis dan telur gulung.
Bagas yang di samping kanan, bertugas untuk menjual makanan goreng kering. Menunya adalah kerpikir singkong dan pisang.
Di samping kiri, Beni menjual minuman. Menunya adalah cendol dan sirup jeruk.
Mereka bertiga memakai pakaian biasa. Hanya saja diperkenankan untuk memakai kain lap yang memiliki tulisan 'Panitia'.
Rian karena bertempat di depan kompor dan minyak panas, hanya memakai kaos singlet. Memperlihatkan tubuhnya yang berotot. Kain lap seragamnya dia ikat di kepala. Menambah kesan kalau dia seperti mamang-mamang yang sedang jualan gorengan.
Di samping kanan, Bagas tak memiliki sesuatu yang spesial. Kain lap seragamnya tak dia pakai dan sedang tergeletak di lantai. Dengan wajah datar tak puas, dia melayani pelanggan dengan enggan.
Di samping kiri, Beni seperti sedang tercerahkan akan sesuatu. Di depan pelanggan wanita yang datang untuk memesan, dia mengeluarkan tutur kata yang cukup indah.
"Oh, di saat mentari sedang membara di atas sana, pasti membuatmu ingin minum dan melihat sesuatu yang segar, kan."
Pelanggan-pelanggannya, yang tergoda akan tampang dan tutur katanya, pergi dengan wajah yang kesemsem. Rasa puas membuat mereka membicarakan Beni yang dengan menggodanya membuat mereka tersegarkan di hari yang panas.
Pindah ke bagian tengah, kios jualan Rian entah kenapa ramai akan pengunjung laki-laki. Banyak di antara mereka adalah mahasiswa kampus, atau anak sekolah yang masih memakai seragam. Mereka tampak kagum dengan bagaimana Rian menahan hawa panas dari api dan cuaca.
Pindah ke bagian kanan, cukup mengejutkan, tidak ada yang mau mampir ke kios jualan Bagas. Menghindari rasa sepi, dia yang sudah muak mulai bicara.
"Ayo mas, mbak, dibeli keripik singkong dan pisangnya. Enak loh. Maknyus loh. Krenyes-krenyes gimana gitu."
Padahal dia berpikir, kalau disitu ada makanan, pasti disitu berbiji-biji manusia akan datang untuk membeli. Namun sangat disayangkan, tidak ada yang datang padanya.
Ketika dia melirik ke samping kiri, pemandangan yang tidak mengenakkan masuk dalam pandangan. Dua sahabatnya dengan sangat bergairah, menjual barang jualan mereka dengan laris. Malahan, mereka seperti terlihat sedang bersaing satu sama lain.
Hati kecil nan mungil Bagas hancur karenanya.
Beberapa saat sudah berlalu semenjak tiga sahabat memulai debut usaha mereka.
"Waaahh, gak terasa jualan kita habis, lek," ucap Beni ke Rian.
"Padahal kupikir kita bakal cukup lama disini." Rian berhenti bicara lalu melihat jam di ponselnya. "Rupanya gak sampai tengah hari, dagangan kita udah laku habis terjual."
Perbincangan antara Beni dan Rian sudah persis seperti mamang-mamang yang bersyukur dagangan mereka habis terjual. Atau malah bisa dibilang, mereka sudah seperti dua pasangan penjual yang sukses membuat panas dan adem suasana. Dengan Rian menjual gorengan dan Beni menjual minuman.
Menyadari kesuksesan, mereka berdua tersenyum sambil melakukan tos.
"Ayo mas, mbak, dibeli keripik singkong dan pisangnya. Enak loh. Maknyus loh. Krenyes-krenyes gimana gitu."
Saat mereka berdua merayakan kemenangan, suara tidak enak masuk ke telinga. Sontak mereka melihat ke arah sumber, dan menangkap pemandangan, Bagas sedang berdiri di depan kios jualannya, dengan masih berusaha untuk menarik pelanggan.
Meskipun banyak laba-laba mulai membuat sarang di beberapa bagian tubuhnya, dia masih tak menyerah. Meskipun dagangannya masih belum terjual, dia tak berhenti.
Pemandangan yang tak mengenakkan itu, cukup membuat hati Rian dan Beni merasakan perih.
Rian yang hendak pergi, berjalan mendekat ke Beni, meletakkan satu tangannya di bahu Beni dan berkata pelan.
"Ceng, aku mau panggil panitia lain untuk mengatasi kios ini, kalian tunggu sebentar."
"Oke."
Setelah mendengar jawaban, Rian langsung pergi.
Beni yang hatinya tersakiti, melihat dan mendengar sahabatnya yang tak laku berdagang keripik singkong dan pisang, berjalan perlahan, mendekati sahabatnya. Sewaktu sudah dekat dia berkata.
"Cuk, udahan yuk, kita cari tempat buat istirahat."
"Ayo mas, mbak, dibeli keripik singkong dan pisangnya. Enak loh. Maknyus loh. Krenyes-krenyes gimana gitu."