"Wwwooooohhhhh~"
Di depan gerbang universitas yang terbuka lebar, Bagas dan Beni berdiri.
Orang-orang dari berbagai kalangan bergantian masuk ke dalam. Dari yang tua sampai yang muda. Dari yang memakai pakaian biasa sampai yang memakai pakaian sekolah. Yang cantik, yang apa adanya, sampai yang buluk. Semua terlihat sama, sangat bersemangat dengan acara yang sedang diadakan.
Ada sekitar ratusan orang yang berada di dalam, dan ratusan lagi yang menuju ke acara. Wilayah depan yang memiliki luas sekitar 400x200 meter penuh dengan keramaian dan kios makanan dan minuman.
Beni yang dipenuhi dengan gairah masa muda bertanya ke Bagas. "Cok, kita pernah punya Festival Seni di sekolah, tapi Festival Musim Panas di universitas, bener-bener sesuatu banget."
Rasa kagum yang tak terucapkan tertanam di wajah Beni.
Di sisi lain, "Hmm...", Bagas dengan hati-hati melirik ke setiap arah di dalam lingkup penglihatannya. Sedang mencari sesuatu yang membuatnya sampai harus meningkatkan kewaspadaannya.
Bagas harusnya menjadi pemandu di situ. Karena mengingat kalau dia adalah mahasiswa yang beranjak ke semester tiga.
"Cok, kau kenapa sih? Sejak datang tadi ngelirik kesana-kemari terus." Beni jadi cukup kesal karena kewaspadaan Bagas. Tidak sabar, dia mulai berjalan. "Kalau kau mau tetap di situ aja, kutinggal ni – huek!"
Bagas menahan Beni dengan merangkul lehernya, mengakibatkan Beni tercekik sesaat.
Dia yang menahan Beni memang terlihat wajah, tapi apa dia harus sampai mencengkram bahu Beni sangat kuat sampai Beni mulai merasakan sakit.
"Jancok, sakit asu."
Setelah mereka menyelesaikan urusan yang tak penting, mereka mulai berjalan. Dengan Beni berjalan lebih dulu, dan Bagas mengikuti tepat di belakang.
Beni tak keberatan kalau dia berjalan duluan, tetapi, Bagas yang berjalan tepat di belakangnya, dan akan menyetirnya kalau mereka hendak berhadapan dengan panitia acara, cukup membuatnya kesal.
Ketika rasa kesalnya sudah hampir memuncak, sesuatu datang ke kepala Beni. 'Woi, tunggu dulu, memangnya kenapa kita harus ngehindari panitia acaranya sih. Apa jangan-jangan?'. Dengan pemikiran itu sebagai pertanyaan, Beni berhenti berjalan.
Bagas yang masih menyetir Beni tentu saja bertanya. "Cok, kenapa berhenti?"
"Cok, jangan bilang – "
Beni dari depan memberikan aura yang tak mengenakkan. Membuat Bagas mulai tak sabar dengannya.
"Oi, cepetan jalan, kalau enggak – "
"Kalau enggak apa?"
Seseorang tiba-tiba saja berdiri dan merangkul Bagas dari belakang. Hal yang sangat mengejutkan itu membuat Bagas sekuat tenaga melepas rangkulan dan mulai berlari.
Bagas sudah bersiap untuk kabur. Namun tepat setelah dia memulai berlari, seseorang menjegalnya.
Perilaku tidak mausiawi itu membuat Bagas terjatuh dengan bahu kanan sebagai bantalan. Tepat saat terjatuh Bagas berteriiak, "Wo – asu – tuti!"
Bahu kanan Bagas yang bertabrakan dengan permukaan aspal terasa sangat sakit. Dia bahkan mulai mendesah kesakitan karenanya.
"Ei, aku cuma menjegalmu pelan, jangan sampai berlebihan begitu, dong."
Seseorang yang menjegal Bagas barusan tak lain dan tak bukan adalah seorang teman yang bisa sangat mudah menjahilinya, Jidan.
Jidan menampakkan dirinya dengan mengenakan kemeja putih dan celana hitam, dia juga memakai almameter kampus dengan rapi. Di bahu kanan almameternya tertancap tanda nama 'panitia acara'.
Jidan melihat ke arah Bagas yang jatuh dengan aura yang mengatakan, kalau dia sedang sangat kesal.
Melihat sahabatnya di jahili, Beni tak terima. "Oi, bang*at, kenapa kau begitu mudahnya menjahili ini anak? Satu-satunya yang boleh menjahili dia cuma aku dan Danicok."
Beni mengatakan protesnya dengan ekspresi yang tak enak didengarkan. Hal itu membuat Jidan mengalihkan perhatiannya dari Bagas ke dia.
Mengetahui kalau Jidan cukup berbahaya, Beni memasang posisi bertarung.
"Apa, huh, kau pikir karena kau punya badan yang bagus aku takut padamu," ucap Beni sambil melakukan berbagai macam gerakan aneh.
Gerakan aneh yang dilakukan Beni sejenak seperti belalang, sejenak seperti ular, sejenak seperti burung. Tak ada satu gerakan konsisten yang dia lakukan. Yah, dari awal dia memang tak pernah melakukan latihan bela diri apapun. Jadi dia sendiri juga tak tahu kenapa dia bergerak seperti itu.
Jidan tak melihat Beni sebagai ancaman atau sesuatu yang bisa membahayakan dirinya. Jadi dia tak menganggap perkataan Beni barusan sebagai sesuatu yang serius. Malahan, dia mulai tertarik dengan Beni.
"Hei, maaf menanyakan ini, tapi kau bukan asli berdarah Indonesia, kan?"
"Ha? Memangnya kenapa? Cuma karena kau nak rang Jowo, Sundo, ato Ponorejo asli, kau pikir aku takut padamu?"
Beni merespon Jidan masih sambil melakukan gerakan-gerakan aneh. Di sisi lain, Jidan mulai tersenyum karena ketertarikan. Namun matanya menyempatkan untuk melihat seseorang yang terjatuh sebelumnya.
Saat Jidan kembali memalingkan matanya ke Bagas, sebiji anak itu menghilang. Jidan hanya memalingkan pandangannya tak lebih dari semenit, dan Bagas bisa kabur karenanya.
"Wahh, kalau soal melarikan diri dia nomor satu, ya."
"Haha, dasar manusia biasa, baru melihat kecepatan tingkat rendahan seperti itu sudah terkagum-kagum," ucap Beni yang kali itu mulai melakukan sebuah tarian dengan menyatukan gerakan-gerakan anehnya.
Bagas sudah menghilang, meninggalkan sahabatnya di belakang.
Jidan sebenarnya tak mau terlalu keras dengan Bagas, namun dia tak memiliki pilihan lain.
"Hei, namaku Jidan, kalau kau?"
"Ha, kau pikir aku mau memberikan namaku yang berharga ke manusia biasa sepertimu? H – hei, kenapa? Kau beneran mau berantem, ha? H – hei, jangan tarik-tarik aku! W – wo – woi, coook, tolooong!"
-
Bagas berhasil melarikan diri. Namun dia harus mengorbankan sahabat terbaiknya untuk melakukan itu.
"Maafkan aku cuk, akan kupastikan, kalau pengorbananmu tak sia-sia."
Saat itu Bagas sedang ada di bagian kanan halaman luar kampus. Bagian itu adalah bagian yang tak terlalu memiliki banyak pengunjung dan kios jualan, jadi Bagas merasa aman.
Panitia acara juga tak terlalu berseliweran di sana. Jadi dia tak perlu takut tertangkap. Lagipula, yang mengejarnya hanya Jidan. Walaupun Jidan punya kemampuan melacak yang sangat tajam, apalagi kalau yang dia incar itu Bagas.
"Itu anak bener-bener sesuatu, dah."
Bagas sampai tak bisa menyembunyikan kekagumannya kepada sebiji pemuda itu.
"Tapi, ini area bener-bener sepi dah. Padahal ini tempat yang paling nyaman di antara semua area."
Bagas memang berkata seperti itu, tetapi di dalam hatinya mulai tumbuh rasa iri, karena tepat di area lingkup penglihatannya, ada banyak pasangan kekasih yang memanfaatkan area itu sebagai area lovey-dovey-munch-muah-muah mantul.
Hati Bagas mulai panas karenanya.
Di saat Bagas mengisi tank kemarahannya, dia melihat pemandangan yang tak biasa. Rian, sahabatnya yang seharusnya jadi panitia acara, sedang berdiri di dalam salah satu dari tiga buah kios. Melayani dua orang pasang kekasih.
Bagas yang mulai merasa kasihan dengan sahabatnya itu, menangkap sesuatu yang tak biasa lagi. Pemandangan itu adalah dua pasang kekasih yang berdiri di depan kios Rian sebenarnya adalah Rini dan Euis.
Rini yang sejatinya seorang tomboy yang gaya berdirinya saja sudah seperti laki-laki, ditambah dia memakai pakaian berbahan jeans, membuat kesan kelakiannya semakin menambah. Sebab itulah dari belakang dia salah menilai kalau Rini adalah seorang cowok.
Ditambah lagi, Euis yang kelihatan cantik dengan gaun one piece dan kemeja tambahan, dan juga rambutnya dikucir kuda yang membuatnya tambah dewasa, membuat Bagas salah menilai kalau dia mbak-mbak umur 25-an.
Bagas masih diam karena cukup terkejut bisa menemukan dua sosok sahabatnya yang seharusnya ada di desa. Tetapi entah bagaimana, Euis melirik ke belakang dan menyadari keberadaannya.
"Hei, bukannya itu Bagas? Bagas!"
Rini dan juga Rian langsung saja melihat ke arahnya.
Dari depan dua sahabatnya yang cantik dan menawan, Rian berpakaian seperti mamang-mamang yang sedang berjualan. Dia memakai ikat kepala yang membuatnya terlihat seperti orang lain. Ditambah dia hanya memakai kaos singlet di bagian atas tubuhnya.
Kalau itu adalah sebuah cerita novel, Bagas bisa memberikan judul yang terinspirasi dari mereka bertiga dengan : "Demi dirimu, aku akan berjualan seribu batang sosis dan mengalahkan Pria Songong itu."
"Kenapa kamu tiba-tiba mulai bergumam seperti itu, Bagas?"
Dua sahabat perempuannya tersenyum lebar melihat wujudnya, di sisi lain Rian entah kenapa merasa kesal dengan wajah datarnya.
Tanpa ragu Bagas mulai berjalan mendekat ke sahabat-sahabatnya. dari depan, Rini yang melihat ke arah Bagas menyadari sesuatu.
"Hei, bukannya itu Beni?"
"Iya, tapi dia bersama siapa? Teman?"
Euis menanyakan sesuatu mengenai dengan siapa Beni berjalan. Bagas memiliki perasaan tidak enak, jadi dia tak berani untuk melihat ke belakang. Meskipun begitu...
"Yo, enak ya, setelah sekian lama, kalian para sahabat yang terpisahkan akhirnya berkumpul kembali."
Jidan – dengan merangkul Beni yang menangis di tangan kanan – merangkul Bagas di tangan kiri, mengucapkan sesuatu yang manis dengan rasa kesal.