Keesokan harinya.
Bagas yang sedang fokus melihat ponsel pintarnya tiba-tiba menggaruk-garuk kepala, bingung.
"Cok, menurutmu kita harus gimana ini?"
Dia yang kebingungan berusaha mencari bantuan, tetapi bantuan yang dia minta tak kunjung datang.
Beni di depan meja, dengan semangat 45, masih menggambar sketsa desain lain yang diperintahkan pimpinan proyek, Bagas, untuk digambar.
Bagas dari belakang sedikit kecewa karena satu-satunya orang yang bisa diandalkan belum bisa membantunya saat itu.
Hari itu masih siang dan hari dimana Bagas memulai libur panjang dari kuliah.
Ada sekitar kurang dari empat bulan ke depan Bagas diberikan waktu libur sebelum semester baru dimulai. Dalam kurun waktu empat bulan itu, dia sudah harus memiliki jalan yang dia pilih untuk mereka – dan tim masa depan nanti – tempuh untuk mewujudkan tujuan.
Dengan tekad yang kuat terbenam di kepala, Bagas sudah siap untuk bekerja sekeras apapun. Namun saat itu dia dihadang oleh masalah yang cukup sulit untuk dia hadapi sendiri.
"F, ga ada tempat kos-kosan yang deket tapi murah apa? Asuw lah."
Bagas di himpit oleh beberapa pilihan yang cukup sulit untuk dipilih.
Sebenarnya mengenai masalah itu yang harus memutuskan adalah Bagas dan Beni, karena mereka tak bisa tinggal berdua di satu rumah yang sempit itu.
Sewaktu di pagi hari Rian menitipkan pesan : "Kuserahkan masalah ini pada kalian. Lagipula kalian yang mau tinggal di tempat baru itu, dan aku ga masalah kalau selama setahun kalian udah bisa menghasilkan sesuatu dari proyek."
Dengan beban itu di kepala, Bagas yang suka bimbang dalam memilih suatu hal sedang terpojok.
Beni baru saja memulai pekerjaannya sekitar dua jam yang lalu. Untuk menyelesaikan satu set penuh sketsa desain, memakan waktu sekitar enam jam, dan Bagas harus menahan pikirannya untuk tak terbebani selama itu.
Merasa suntuk Bagas bangkit dan pergi ke luar rumah. Tepat setelah pergi ke luar dia merasa lapar. Karena ketepatan mengantongi dompet, Bagas berniat untuk mengisi perut di taman.
Lapak luas sekitar 20x20 meter. Tempat khusus untuk para penjual makanan kaki lima. Tempat yang sangat cocok untuk mengisi perut dan meluangkan waktu di pinggir taman.
Bagas menargetkan untuk makan sesuatu yang bisa membuatnya merasa segar. Jadi dia berdiri di pinggir lapak untuk melihat-lihat sejenak.
"Rujak Es Krimnya, mas!"
Tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang bapak penjual menawarkan dagangannya.
Itu adalah penjual dengan gerobak sorongnya yang menyajikan rujak es krim untuk dijual. Makanan khas kota yang menyampurkan Rujak yang diberikan toping es krim di atasnya.
Bagas tertarik untuk pergi, lagipula dia juga sudah pernah makan disitu dan merasakan betapa enak dan segarnya rujak es krim.
Kedatangannya di sambut oleh penjual. Dengan membawa satu buah kursi plastik si penjual mempersilahkan Bagas duduk.
"Silahkan. Mau pesan berapa, mas?"
"Satu aja, pak."
"Ngentosi sekedap nggih..."
Si penjual meminta Bagas untuk menunggu, dan Bagas mengangguk menandakan mengerti.
Dari samping Bagas tak sadar kalau ada pelanggan lain. Seorang laki-laki yang nampaknya lebih tua sepuluh tahun darinya.Memakai pakaian biasa yang menunjukkan kalau dia adalah pria yang sederhana, walaupun nampak dari wajah kalau dia adalah salah satu kategori pria yang sukses dalam menjalani hidup.
Menyadari sedang dipandangi, laki-laki itu melirik Bagas. Bagas yang merasa tak sopan mengangguk ke teman makan siangnya. Si teman makan siang juga mengangguk menandakan tak keberatan.
Suasananya sangat tenang di taman saat itu. Ditambah di tempat lapak jualan, pohon-pohon yang tinggi melindungi lapak dari terik sinar matahari.
Angin sepoi juga menambah rasa nikmat yang dirasakan. Bagas menarik nafas panjang, menghirup udara segar dengan upaya untuk menyegarkan kepalanya.
Kalau diingat-ingat lagi, selama dia mengambil tantangan 500 juta, dia tak pernah setenang itu saat sendirian.
Karena setiap hari dia harus memikirkan bagaimana cara untuk mengatasi tantangan itu, stress terus menumpuk dan tanpa sadar tubuhnya sudah semakin kurus.
"Ini, mas, pesanannya."
Si penjual datang mengejutkan Bagas sedikit dengan satu mangkuk keramik berisi potongan buah-buahan yang disajikan dengan kuah oleh air gula merah dengan beberapa sendok es krim merah jambu sebagai topping di atasnya.
Selera makan Bagas langsung naik dibuatnya.
"Matur nuwun, pak."
"Nggih."
Setelah mengucapkan terima kasih, Bagas langsung menyendok beberapa potong buah-buahan. Dengan menghindari es krim di atasnya, Bagas memprioritaskan untuk menghabiskan setengah dari rujak lebih dulu.
Waktu makan tak terasa berlalu cepat. Rujak es krim yang terasa baru saja dinikmati sudah habis. Hanya menyisakan sedikit kuah yang sudah tercampur dengan warna es krim.
Bagas tanpa sadar menghela nafas. Piring rujaknya dipegang dengan dua tangan di atas paha, wajahnya di arahkan ke pohon-pohon hijau rindang yang daun-daunnya dihembus oleh angin sepoi-sepoi.
"Esensi dari Rujak Es Krim adalah untuk memberikan penikmatnya rasa pedas, manis, dan yang terutama segar saat memakannya. Dengan ketiga rasa itu akan menimbulkan efek kesegaran yang 90% bisa membuat penikmatnya merasa segar kembali."
Dari samping terdengar suara seseorang berbicara pada Bagas.
Bagas menoleh ke sumber suara dan menemukan teman makan siangnya tadi masih duduk di tempat. Dengan menghisap satu batang rokok dan bergaya selayaknya orang dewasa, laki-laki itu mengungkapkan sesuatu yang Bagas tak tahu apa konteks dan kenapa dia bicara seperti itu.
"Setelah mengetahui hal itu, kau masih belum mengerti apa yang kumaksud, anak muda?"
Bagas mengernyitkan dahinya. Bingung sekaligus sedikit kesal karena tiba-tiba saja dia merasa dinasihati.
Melihat Bagas berubah menjadi kesal, si teman makan siangnya menghisap rokoknya sejenak lalu berbicara.
"Sorry-sorry, bukannya bermaksud menasehati, cuma, cukup disayangkan karena makanan yang baru aja kau makan yang harusnya membuatmu jadi segar, malah membuatmu jadi makin gundah kaya tadi."
Bagas sontak terkejut. Dia akhirnya mengerti apa yang dimaksud oleh teman makan siangnya.
Merasa bersalah pada makanan yang baru saja dia makan, Bagas menunduk, menutup kedua matanya lalu menghirup oksigen sekali lagi. Setelahnya dia menunjukkan ekspresi yang lebih segar pada teman makan siangnya.
"Terima kasih, umm, bang...?"
"Bang Putra, panggil aja begitu. Dan juga, jangan terlalu formal. Lagipula umurku masih dua puluh tujuh."
Teman makan siang Bagas, Putra, menghisap rokoknya sekali lagi dengan perasaan nikmat. Merasa puas karena juniornya dalam kehidupan menangkap maksud yang dia katakan.
Bagas tersenyum kecut karena berpikir Putra jauh lebih tua darinya.
Dilihat lagi, Putra juga sosok pemuda yang santai dan terlihat mudah diajak bergaul.
-
Dengan gaya merokok dengan lepas, Putra menikmati setiap hisapan dengan perasaan puas.
Melihat anak laki-laki yang lebih muda darinya tadi membuatnya teringat di masa-masa dia masih sibuk dengan kuliah dan awal-awal dia memulai usahanya.
Saat itu benar-benar waktu yang merepotkan. Dia harus membagi waktu antara kuliah dan pekerjaannya dengan teratur. Ditambah dia tak memiliki banyak waktu untukdirinya sendiri.
Melihat pemuda tadi benar-benar membawanya kembali ke masa-masa dimana dia selalu menjalani hari-hari dengan stress.
"Jadi, bang Putra, boleh aku minta saran?"
Pemuda itu mendekatkan kursinya setelah mengembalikan mangkuk. Kelihatannya dia mau memulai sebuah pembicaraan kecil dengannya.
"Silahkan."
"Oh iya, sebelum itu, perkenalkan, namaku Bagas."
Pemuda di sampingnya, Bagas, mengulurkan tangan kanan, memberi isyarat kalau dia mau berjabat tangan pada Putra.
Bagas yang duduk di samping kiri Putra, membuat Putra harus memiringkan tubuhnya sedikit untuk menjabat tangannya.
"Udah dibilangin, ga usah terlalu formal begitu."
"Oh, iya, sorry. Tapi bukannya itu yang dilakukan oleh seseorang yang lebih muda ke yang lebih tua."
Putra dibuat nyengir dan menggeleng.
"Jadi, apa yang membuatmu galau begitu? Perempuan?"
Putra menduga akar masalah yang membuat Bagas pusing.
Bagas tak mengelak dari dugaan itu dan tersenyum kecut sembari menjawab, "Yah, gak sepenuhnya salah dari pemilik gender itu sih. Tapi ini ga seperti yang abang pikirkan juga."
"Terus?"
Bagas menggaruk kepalanya, bingung bagaimana harus menjelaskan keadannya sekarang.
Di sebelahnya, Putra selesai menghisap beberapa milimeter garis batang rokoknya, membuang asap keluar lewat mulut lalu berbicara.
"Hmmm, karna orang tua dari si perempuan?"
"Yaahh, begitulah," jawab Bagas sambil tertawa kecil.
Melihat seorang pemuda yang terlihat sedang berusaha keras di umurnya yang menginjak dewasa, Putra tak bisa menahan senyum kecutnya. Bagas melihat senyum kecut itu dan menunjukkan ekspresi heran.
Sebelum menjawab Putra berdiri dan menghabiskan rokoknya, lalu bagian tersisa yang tak bisa dihirup dia sentil ke arah tong sampah dan masuk tepat ke dalam tongnya.
"Ya, kalau kau emang cinta dia, itu berarti kau rela untuk berkorban, kan? Jadi kenapa harus dibikin pusing?"
Itu tidak salah, tapi...
"Lagipun, selama masa mudaku, aku cuma memikirkan harus melakukan yang terbaik untuk diriku sendiri. Tak ada banyak orang yang tahu seberapa kuat aku berusaha. Setiap kali mereka melihatku lelah, yang mereka lakukan malah hanya menilaku. Itu sangat berat, kau tahu."
Putra menatap ke arah taman, dimana tanpa sadar ada banyak anak muda – yang lebih muda dari mereka – bermain bersama. Perasaan nostalgia menyelimuti perasaan Bagas. Di saat itu pula Putra lanjut bicara.
"Apalagi, ketika kau melakukan sesuatu hanya untuk dirimu sendiri, terkadang ada perasaan malas yang bisa menyerang. Dan itu hal yang sangat berbahaya. Karena bisa tanpa kau sadari, kemalasan itu akan bertanya padamu, 'kenapa kau melakukan hal sekeras ini hanya untuk membuat dirimu senang?', kalau ditanya seperti itu, jawaban apa yang akan kau berikan?"
"Ha?"
Tiba-tiba diberikan pertanyaan yang absurd, tentu saja membuat Bagas bingung. Namun otak jeniusnya dia coba kerahkan untuk mencari jawaban. Dia masuk ke dalam mode serius sejenak. Pemandangan yang tak biasa itu dilirik oleh Putra, dan itu membuat Putra sedikit kagum karenanya.
"Aku agak kurang mengerti apa maksud dari pertanyaan abang, cuma kalau memang disuruh menjawab, jawabanku pasti..."
Karena hal itu membuatmu senang, maka kau akan bersungguh-sungguh dalam melakukannya. Jadi untuk apa ragu melakukan apa yang kau sukai. Apalagi hal itu bisa menjadi kunci untuk kesuksesanmu di masa depan nanti.
Itulah yang dinamakan Perjuangan.
-
Tanpa sadar Bagas mendapatkan jawabannya. Meskipun itu tak menyelesaikan masalah, setidaknya dia jadi lebih tenang dan jernih.
"Karna kau udah mendapatkan jawabannya sendiri, kupikir aku gak perlu berkata apa-apa lagi."
Putra merasa bangga karena Bagas bisa menemukan jawabannya sendiri. Rasa kagum dan senang memenuhi wajahnya. Bagas juga berekspresi sama sambil berdiri, memberikan tangan kanan sebagai tanda salut.
"Makasih atas pencerahannya, bang."
Putra agak terkejut dengan perubahan sikap itu, tetapi dia tak menolak dan menerima rasa salut Bagas.
"Oke. Aku gak tahu apa yang lagi kau incar, tapi, kalau kau udah berada di puncak, kita pasti akan bertemu lagi."
"Tentu saja."