Di kampung halaman para tokoh utama kita.
Euis baru saja pulang dari mengajar di taman kanak-kanak. Bersama dengan tiga anak didiknya yang rumah mereka dekat dengan rumahnya, mereka berempat berjalan pulang bersama.
Tiga anak didik Euis berjalan di depan. Dua anak laki-laki dan satu perempuan. Mereka bertiga dengan semangat yang tinggi membicarakan mengenai betapa menyenangkannya sekolah tadi.
Momen yang indah itu mengingatkan Euis mengenai masa-masa lampau. Sama seperti yang terjadi sekarang, hanya saja perbedaannya, dua anak laki-laki itu adalah Rian dan Bagas, dan Euis kecil yang berjalan di antara mereka berdua.
Euis tanpa sadar tersenyum mengingat hari-hari yang indah itu. Perasaan nostalgia bahkan hampir membuatnya terisak saking bahagianya.
"Cikgu?"
Tiba-tiba anak murid perempuannya memanggil. Euis melihat ke arahnya dan menemukan kalau dia nampak mengkhawatirkan Euis.
Euis sadar, kalau ekspresi nostalgianya membuat anak didiknya itu khawatir. Jadi dia jongkok, menatap anak didiknya, dan bertanya.
"Ada apa, sayang?"
"Kenapa cikgu mau nangis?"
Mungkin karena di usia yang masih menginjak tujuh, anak didiknya menanyakan kondisinya dengan gamblang.
Euis tersenyum manis sebagai jawaban dari kekhawatiran anak didiknya.
"Cikgu gak nangis kok, cuma bahagia aja, cikgu bisa mengajari kalian setiap hari, berjalan pulang bersama, melihat kalian bermain. Karena itu, cikgu jadi sedikit terharu."
Mungkin karena kata-kata Euis yang terlalu manis, anak didik perempuannya jadi terlihat ingin menangis. Lalu dengan sekuat tenaga, dia menubruk tubuh Euis dengan kedua tangan di lentangkan.
"Eh – eh!"
Euis yang jongkok dibuat goyah oleh tubrukan sekuat tenaga anak didiknya. Untung saja dia berhasil untuk menghindari jatuh.
"Cikgu, terima kasih~"
Di dalam pelukan, anak didik perempuannya mengucapkan sesuatu yang manis padanya. Euis jadi semakin terharu dan kali itu dibuat benar-benar ingin menangis.
"Kami juga, makasih, cikgu!"
"Makasih, cikgu!"
Melihat teman mereka memeluk dan memiliki momen yang bahagia bersama guru mereka, dua anak didik laki-laki lainnya juga ikutan berterima kasih dan memeluk Euis.
Euis dirangkul oleh tiga anak didiknya. Momen itu benar-benar tak terduga dan Euis dibuat terisak bahagia.
"Kyaaa~ That's soooo kyuuuut!"
Saat Euis masih menikmati momen yang bahagia, tiba-tiba saja seseorang berteriak kegirangan. Euis membuka mata dan melihat ke depan, ke arah dua orang gadis yang terpesona melihat Euis di berikan kasih sayang oleh anak didiknya.
Siapa sangka, ttu adalah Eruin dan Rini.
"Eruin, leher-leher."
Eruin yang kegirangan mendekap Rini lewat lehernya. Cukup membuat Rini merasa nyawanya sedang dalam bahaya.
Tiga anak didik Euis langsung saja melepas pelukan mereka dan melihat ke arah Rini dan Eruin. Eruin yang sudah cukup tenang berjalan mendekat ke arah tiga anak didik Euis.
Tiga anak didik Euis entah kenapa merasa sedikit kagum melihat sosok Eruin.
Eruin yang sudah berada di depan tiga anak didik Euis jongkok, melihat ke arah tiga bocah dengan tatapan kagum.
"Apa kalian sayang sama cikgu?" tanya Eruin.
Pertanyaan Eruin seperti kuis berhadiah dadakan. Tak ada yang menduga kedatangannya. Meskipun begitu, tiga anak didik Euis menjawab serentak, "Iya!"
Satu kata yang terdengar sederhana, tetapi mengandung makna yang cukup dalam. Euis dibuat tersenyum sendiri dengan rasa bahagia karena itu.
Eruin yang entah kenapa bangga karena dirinya sendiri, memberikan masing-masing anak didik Euis elusan lembut di kepala.
"Bagus-bagus."
Di salah satu persimpangan desa, kelompok Euis dan anak didiknya berpisah. Itu adalah tempat biasa dan terdekat Euis bisa melepas kepergian anak-anak didiknya sendirian menuju rumah.
Dari belakang, Eruin merasa sangat bahagia dan dia meluapkan kegirangannya dengan memeluk tangan kanan Rini.
Eruin tersenyum sendiri melihat Euis melambai ke anak-anak didiknya. "Entah kenapa aku jadi merasa pingin jadi guru."
Dari samping, Rini senang mendengar Eruin terinspirasi karena Euis. Namun dia merasa harus menghentikan Eruin di situ.
"Jangan, berat, kamu gak akan kuat," ucap Rini dengan wajah masam.
"Ah masa? Yang kulihat sekarang, Euis malah sangat menikmati apa yang sedang dia kerjakan."
"Ya, itu karena kamu lagi lihat mereka berpisah setelah seharian gempar-gempur belajar di sekolah. Percayalah, Eruin, mengajar anak usia dini itu gak semudah yang kamu kira."
"G – gitu ya."
Walaupun sudah diperingatkan, Eruin tetap memiliki sedikit keinginan untuk merasakan. Bagaimana rasanya mengajari anak-anak yang masih sangat jujur dan tulus dengan perasaan mereka.
Di depan, anak-anak didik Euis mulai melakukan persaingan lomba lari siapa yang cepat sampai rumah. Euis di belakang merasa khawatir kalau sampai mereka terjatuh. Namun karena itu sudah menjadi rutinitas, dia tak harus sampai memperingatkan atau terlalu khawatir pada mereka.
Tiga anak kecil sudah pergi. Menyisakan tiga gadis yang terlambat melakukan salam persahabatan.
"Eruin!"
"Euis!"
Euis berteriak ke Eruin, begitu pula dengan Eruin. Mereka lari mendekat dan mendekap tangan satu sama lain.
"Kamu kok baru setahun ini baliknya, sih?!" tanya Euis dengan ceria.
"Maaf-maaf, masuk ke jurusan yang aku gak punya bekal banyak membuatku harus belajar lebih keras dari biasanya."
Pada tahap itu, Euis dan Eruin, keduanya bersikap seperti gadis belia yang sudah lama tak saling jumpa. Seperti halnya gadis SMA yang sudah setahun tak jumpa, keduanya benar-benar centil di saat hanya ada mereka berdua atau orang-orang terdekat di sekitar.
"Aku baru bisa balik sekarang juga karena libur akhir tahun semester berlangsung selama tiga bulan," ucap Eruin.
"Eh, selama itu?!"
"Ya, walaupun seminggu dari sekarang aku harus balik ke Inggris selama dua minggu, sih."
"Uhmm, gitu ya."
Dua gadis centil di dalam grup benar-benar menikmati perbincangan mereka. Seperti dua buah tangkai bunga yang terlihat indah kalau diperhatikan secara berbarengan.
Di belakang mereka, Rini hanya tersenyum dalam diam. Menikmati pemandangan kalau tiga gadis dalam grup mereka akhirnya bisa berkumpul kembali. Walaupun dia tak bisa mengikuti arah pembicaraan yang cukup berat itu.
Di saat Euis benar-benar menikmati pertemuannya dengan Eruin, Euis melihat Rini yang tak bisa mengikuti arah pembicaraan mereka. Itu membuatnya merasa bersalah.
"Oh iya, kita jangan berhenti di sini. Ayo, ke rumahku."
"Kuy!"
Rumah sederhana di pinggir desa yang desainnya tren di zaman 90-an. Memiliki lantai dan dinding rumah bagian depan di keramik. Di teras yang memiliki empat buah kursi kulit dan juga satu meja bundar, Eruin dan Rini duduk menunggu Euis.
"Udah lama gak pulang kampung, udaranya benar-benar beda dengan kota, ya. Terasa sangat menyejukkan."
Eruin yang menghabiskan satu tahun hidup di kota, di saat sewaktu SMA dia menghabiskan tiga tahun di desa, merasa sangat nostalgia dan segar.
Mungkin karena udaranya yang sejuk, atau lingkungan yang masih banyak diisi dengan warna hijau, Eruin benar-benar menikmati momen itu.
"Ah, masa? Aku biasa aja gitu."
"Itu karena kamu belum pernah merasakan udara kota, Rini."
Eruin tanpa sadar merendahkan sahabatnya. Karena hal yang tak dia sadari itu, Rini dibuat cemberut. Kedua pipi Rini digembungkan, dan dia menatap Eruin dengan kesal.
"Eh, maaf-maaf. Tapi beneran loh, kendaraan yang selama 24 jam tiada henti berlalu lalang. Radiator AC yang mendinginkan ruangan di dalam tapi memanaskan ruangan di luar. Dan juga bangunan-bangunan tinggi dengan sedikit pohon hijau, membuat udara di kota terkadang bisa membuatmu sesak."
"Hmm, gitu ya."
Setelah mendengar penjelasan, Rini akhirnya mengerti kenapa Eruin menikmati udara di desa.
Dalam bayangan Rini, yang benar-benar belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di kota. Kota adalah tempat bagi para pejuang kehidupan. Sama seperti sahabat-sahabat mereka yang terlihat stress setelah pulang ke kampung. Sebagai penilaian, kota adalah tempat yang cukup berbahaya bagi gadis desa seperti Rini.
"Eruin."
"Iya?"
"Apa di kota aku bisa terjebak dalam penculikan kelompok penjahat?"
"Tunggu, Rini, kamu bukan anak kecil berumur sepuluh tahun yang percaya apapun yang kamu lihat di TV, kan?"
Pertanyaan Rini sempat membuat Eruin khawatir dengan kemungkinan, kalau suatu hari nanti Rini akan pergi ke kota dan sesuatu yang buruk terjadi.
Melihat kekhawatiran Eruin, Rini tertawa lepas. "Ahaha, enggak kok. Aku gak sepolos itu juga. Tapi, setelah melihat dan mendengar keluhan kalian setelah balik dari kota, entah kenapa aku gamau hidup di sana."
"Benarkah? Terus, gimana kalau Dani udah pulang dari studi nya dari luar negeri, terus dia dapet pekerjaan di kota? Masa kamu mau ngerawat dia di desa terus."
"Eh? Ehhhh."
Rini melirik ke arah lain. Berusaha menghindari tatapan menggoda Eruin untuk memaksanya menjawab.
"Hm, gimana? Gimana?"
"Yaa, itu . . ."
Rini saat itu benar-benar tak ingin membicarakan mengenai seseorang yang spesial baginya. Dani. Salah satu anggota dari kelompok sahabat yang saat itu sedang berada di luar negeri. Masih menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu lebih dalam.
Alasan kenapa Rini tak mau membicarakan pemuda itu karena, Dani berjanji satu hal padanya. Karena itu Rini tak boleh merasa khawatir dan diminta untuk tetap tenang menunggu.
Di sisi lain Eruin masih menggoda Rini untuk mengeluarkan perasaannya yang sesungguhnya. Namun Rini tetap bersikeras untuk tak terpancing.
Untung saja, momen yang tak enak itu diredamkan oleh kedatangan Euis. "Ada apa ini?"
Euis akhirnya datang. Dengan membawa satu nampan yang di atasnya terdapat satu teko minuman, tiga gelas, dan satu toples kecil penuh berisi emping.
Euis meletakkan nampan ke atas meja, dan pemandangan satu toples emping membuat Eruin teralihkan.
"Wooh, emping! Udah lama gak makan keripik enak ini!"
"Memangnya di kota ga ada, Eruin?"
Eruin menjawab pertanyaan Euis dengan menggeleng, sambil membuka toples dengan mata berbinar-binar.
Makanan khas itu merupakan satu dari beberapa makanan khas favorit Eruin, dan dia tak bisa mendapatkan itu di kota dengan cukup mudah.
"Memang ada keripik lain yang di jual di pasar tradisional, sih. Cuma rasanya tetap lebih enak yang dimasak langsung dari kampung." Eruin menjawab lalu dengan antusias yang tinggi dia melahap setiap lembaran bulat emping.
Rini yang sebelumnya diganggu oleh gadis centil yang sangat penasaran itu akhirnya bisa merasa tenang.