"KENAPA, APA YANG SALAH!?"
Teriakan kencang karakter utama kita meledak dari dalam rumahnya.
"Apa yang salah, bangs*t?"
Memukul meja dengan kedua tangan, Bagas sedang berada di ujung keputusasaan.
"Ya, kan udah kubilang, jangan coba-coba buat benar-benar menyaingi judul cerita orang lain. Kau pasti bakal stuck."
Beni sedang duduk di atas kasur, memegang tablet di tangan kiri dan pen digital di tangan kanan, merasa kasihan terhadap sahabatnya.
"Aku udah pernah coba lakuin itu, tapi hasilnya," ucap Beni sambil menggeleng.
Kondisi yang menyebabkan situasi itu terjadi karena dua jam sebelumya.
Pagi hari, jam delapan tepat. Dua karakter utama kita sudah bangun setelah tidur pulas. Siap untuk mengeksekusi rencana mereka ke poin utama.
Di saat mereka sudah selesai sarapan pagi, Beni mengambil peralatan tempurnya dan beranjak ke kasur Bagas.
Sebagai desainer dari apa yang akan mereka ciptakan, masih ada sangat banyak pekerjaan yang harus Beni selesaikan. Hanya membayangkannya saja sudah membuatnya pusing. Namun untuk sang kasih yang tercinta, "Aku akan bertarung sampai titik darah penghabisan, yoooss, ganbaru sooo!"
"Jangan sampai titik darah penghabisan juga cuk, entar lu tewas beneran gimana ceritanya." Bagas yang duduk di meja belajar merespon Beni.
Tugas Bagas saat itu hanya satu, untuk memastikan apa yang akan mereka buat memiliki cerita yang bagus, terstruktur, dan juga, tidak mengandung unsur yang bisa dibilang menjiplak. Akan tetapi...
"Kenapa? Padahal aku udah kerahkan semua kemampuan, kemauan, dan juga pengalamanku, tapi kenapa plotnya malah jadi kaya cerita fanfiction murahan yang cuma beda karakter doang."
Dua jam setelahnya, Bagas menangis. Menutupi mukanya ke meja dan mengeluh. Laptop dihadapannya sedang membuka aplikasi Mikrosup Word. Lembaran di dalam aplikasi saat itu penuh dengan curahan hati, semangat, dan juga keinginan Bagas, akan tetapi...
"Padahal aku cuma mengikuti konsep ATM."
"Walaupun kau bilang kau udah amati dan tiru, kayanya proses modifikasinya lumayan berat ya."
Beni berusaha menenangkan Bagas dengan tetap memberikan aura positif. Tersenyum dan tetap semangat mengerjakan tugasnya.
Bagas melirik Beni yang performa kerjanya tak sekalipun menurun. Rasa heran mulai muncul di pikirannya.
"Cuk," panggil Bagas.
"Ha?"
"Kenapa kau bisa setenang itu ngerjain desain zirahnya, padahal ceritanya belum aja jalan?"
Beni memasang ekspresi terkejut atas pertanyaan Bagas. Sekarang baru dia sadar, kenapa dia bisa setenang itu mengerjakan material dari cerita, padahal ceritanya belum berjalan sama sekali.
"Hmm, setelah kau singgung aku baru sadar, kenapa ya?"
Padahal dia yang ditanya, sekarang dia malah bertanya ke dirinya sendiri.
Bagas yang tak bisa melanjutkan pekerjaan, menghentikan gerakannya dan saat itu hanya menunggu, berharap Beni bisa memberikannya sesuatu yang bisa menyemangati.
Beni mendongak, melihat ke langit-langit ruangan. Pen digitalnya dimain-mainkan. Dia berpikir, mencari jawaban.
"Kalau kubilang aku sepenuhnya percaya samamu, itu jawaban munafik sih."
"Terus, kenapa?"
"Entahlah, cuk, cuma, sesuatu mengatakan padaku, kalau kau pasti bisa mengatasinya. Jadi ya, gitulah." Di akhir kalimat Beni menunjukkan senyum tulus pertemanan.
Bagas sebenarnya senang Beni memiliki perasaan seperti itu terhadapnya. Tetapi itu sama sekali tidak memberikannya dorongan apapun.
"Gak guna."
"Weh, anjay! Padahal itu berasal dari perasaanku yang terdalam!"
Bagas kembali menatap monitornya, dan Beni merasa sakit karena Bagas tega mengucapkan hal menyakitkan seperti itu.
Suasana kembali senyap untuk sejam ke depan.
Bagas fokus ke laptopnya. Sambil mengigiti jari jempol kanan, gregetan. Berpikir keras bagaimana dia harus mengakali plot yang kacau itu.
Di sisi lain, Beni menghela nafas, menghentikan gerak tangannya karena sudah menyelesaikan target tiga jam yang dia tetapkan.
Saat Beni sudah bisa bernafas lega, sahabatnya masih berada di ujung jalan. Tak bisa memutuskan harus pergi ke mana. Di saat seperti itu, sebuah pemikiran datang menyambar ke kepala Beni.
"Saat kau tersesat dan tak tahu arah jalan, kenapa kau gak kembali ke titik awal dan mulai rencanakan lagi harus kemana," ucap Beni lembut.
Bagas terpancing kata-kata Beni dan tersadar akan sesuatu. Dia yang mendapatkan pencerahan dengan reflek menatap sang pencerah. Di situ, Beni melihatnya dengan senyum menduga.
"Kau tahu, ada waktu di mana aku terjebak sewaktu menggambar sesuatu. Dan berpikir, 'ah bajigur', karena aku salah memulai langkah. Lalu di saat seperti itu, yang kulakukan adalah memulai ulang proses itu dari awal. Karena kalau kau udah terjebak, yang bisa kau lakukan cuma dua, berjalan terus dengan perasaan tidak puas, atau kembali ke awal dengan pemikiran baru."
Yang dikatakan Beni ada benarnya. Tidak, malahan, yang dia katakan sangat benar. Bagas sedang berada di posisi terjebak, dan dia hampir saja maju terus dengan perasaan tidak puas. Namun, setelah mendengarkan saran Beni, akhirnya ide baru datang kepadanya.
"Wah, cuk, ternyata pengalamanmu bekerja ada gunanya juga ya."
"Eh, jancuk, kau pikir selama ini aku cuma corat-coret gambar doang."
Bagas kembali menatap laptop dengan perasaan lega. Di sisi lain Beni sakit hati karena Bagas tega.
Dua sahabat, dua pilar utama yang tak tergoyahkan. Akan semakin kuat ketika mereka bersama. Meskipun harusnya ada satu lagi yang bersama mereka, hanya memiliki dua saja sudah membuat mereka tak terhentikan.