Chereads / Pengantin Lima Ratus Juta / Chapter 20 - Tujuan

Chapter 20 - Tujuan

Di sebuah lingkungan rumah yang masih kental dengan ciri khas kejawaan, duduk seorang gadis di tengah-tengah pendopo.

Seperti biasa, gadis itu memakai kebaya berwarna merah jambu manis, dan di pinggang terikat satu selendang yang dua ujungnya terbentang ke samping.

Di tengah-tengah pendopo dia duduk dengan menyilangkan kaki. Kedua tangan di letakkan di tengah-tengah dua betis. Lalu setelah beberapa saat, kedua tangannya dinaikkan dan digabungkan, seperti seorang putri yang menyalam seseorang dengan anggun.

Kedua tangan dan kepala mulai digerakkan dengan lembut ke kanan dan ke kiri. Setelah beberapa kali, dia berdiri dengan anggun, dan mulai memainkan selendang dengan tangan kanan.

Tak jauh dari pendopo, dua orang wanita berpakaian kebaya kelas menengah melihat ke arah si gadis.

"Bukannya itu Kanjeng Putri Arisa?"

"Iya, apa yang dia lakukan di situ?"

Saat mereka baru melihat Arisa, Arisa masih di posisi duduk. Baru setelah beberapa saat, dia melakukan tarian yang dua wanita itu yakini adalah Tari Golek Ayun-Ayun.

Tari Golek Ayun-Ayun biasanya dilakukan sebagai persembahan sebagai sambutan di acara-acara tertentu. Tarian yang menceritakan seorang perempuan yang menginjak dewasa, dan sedang senang-senangnya bersolek dan merias diri.

Dua wanita itu adalah pelayan rumah. Awalnya mereka berniat untuk mencari keberadaan Arisa dan mengajaknya kembali untuk latihan nari bersama. Namun setelah menemukan Arisa sedang melakukan tarian yang tak biasa itu, mereka berdua menilai, kalau Arisa sedang jatuh cinta.

Seorang putri yang terkurung dengan sistem keluarga yang rumit. Akhirnya menunjukkan kalau dirinya memiliki ketertarikan pada seseorang.

Dua pelayan itu merasa senang, namun mereka tetap merasa kasihan, karena mereka takut, kalau hubungan Arisa dengan seseorang yang dia cintai takkan berjalan lancar.

Arisa yang bukan seorang putri yang bodoh dan gegabah sebenarnya sudah tahu itu. Meskipun begitu, dia tetap menari dengan sangat indahnya. Setiap gerakan dia persembahkan kepada perasaannya yang sedang menggebu-gebu. Itu juga sebagai do'a, agar sang kasih berhasil meraih impian dan tujuannya.

*

"Jadi, berapa lama kamu tinggal di kampung, Eruin?" tanya Euis.

"Hmm, maaf, tapi aku cuma bisa sehari. Jadi besok pagi aku sudah harus pulang."

Euis sangat menyayangkan kepergian Eruin yang begitu cepat. Padahal mereka baru saja bertemu setelah setahun lamanya.

"Kalau gitu, ayo adakan acara menginap!" ujar Rini.

Rini yang dari tadi hanya diam menyuarakan sebuah ide. Ide Rini mengundang ekspresi senang ke wajah dua sahabatnya.

Eruin dengan antusias yang tinggi menawarkan sesuatu. "Kalau gitu kita adakan di rumah Mbok Sri aja gimana?"

"Boleh, tuh. Apalagi Neng Ani juga udah sama Pak Elang. Jadi kita bisa pinjem kamarnya yang kosong."

Dua suara menyetujui usulan. Namun satu suara tersisa tak kunjung datang.

Eruin dan Rini melihat ke arah Euis yang masih berpikir dengan acara menginap itu. Eruin yang tak sabar mendekatkan kursinya ke Euis dan mulai membujuk.

"Ayolah, Euis, setelah kita gak ketemu selama setahun, masa kamu gak mau menuruti keinginan sahabat terbaikmu ini?"

Bujukan Eruin memang terdengar memaksa, namun Euis juga menyayangkan kalau dia harus melewatkan kesempatan itu.

"Umm, oke deh. Tapi kita jangan tidur terlalu malam, ya. Soalnya besok aku harus bangun pagi untuk bersiap ke sekolah."

"Oke! Yee!"

Eruin yang senang mulai memeluk Euis dengan kedua tangan terbuka. Dia juga menempelkan wajahnya ke wajah Euis tanpa alasan.

"Eruin, jangan dengketin wajah kamu begitu dong!"

"Ehehe, habisnya, kamu jadi begitu menggoda setelah jadi guru selama setahun. Kecantikan, karisma, dan juga kasih sayang kamu jadi meningkat. Yang bakal jadi suami kamu pasti beruntung banget memiliki kamu."

Di saat Eruin mengucapkan kalimat terakhirnya, aura di sekeliling Euis berubah. Mulai muncul rasa bimbang dan khawatir di wajahnya. Eruin dengan cepat menyadari hal itu dan melepas pelukannya.

"Ada apa?" tanya Eruin.

Tak hanya Eruin, Rini juga mengkhawatirkan perubahan drastis dari perasaan Euis.

Menyadari kalau dia mengkhawatirkan dua sahabatnya, Euis tersenyum lepas sembari minta maaf. "Ehehe, maaf ya, tiba-tiba aku jadi muram gitu."

Euis berusaha menutupi rasa khawatirnya, namun dua sahabatnya bisa mengetahui hal itu dan tak mengijinkan Euis untuk menyimpannya sendiri.

Eruin menyentuh tangan Euis, lalu dengan lembut bertanya : "Euis, kalau ada apa-apa jangan disimpan sendiri. Kamu bisa bicara sama kami, kami kan bukan orang asing bagimu."

Kata-kata Eruin sangat manis. Euis sampai langsung dibuat takluk karenanya. Itu memang agak dipaksa, tetapi Euis tak ingin menyembunyikan kekhawatirannya, apalagi mereka adalah dua sahabat terbaiknya.

"Kemarin, Rian berjanji satu hal padaku."

"Janji, janji seperti apa?"

Pertanyaan Eruin membuat Euis sedikit bimbang. Dia memaksa untuk tertawa kecil untuk meringankan suasana, berharap dua sahabatnya tak menganggap masalah sepele itu terlalu besar.

Namun saat dia melihat ke arah dua sahabatnya, mereka melihatnya dengan tatapan serius. Tatapan mereka mengatakan padanya kalau mereka takkan membuatnya kecewa.

Dengan rasa bersalah Euis menunduk. Dia juga tersenyum kecut karena menganggap kalau dua sahabatnya akan bermain-main.

Di saat sudah siap untuk mencurahkan isi hati, Euis menaikkan kepalanya dan menatap serius ke dua sahabat.

"Rian berjanji untuk melamarku."

Saat kekhawatirannya tercurahkan, dua ekspresi terkejut karena bahagia merespon padanya.

Yang paling terkejut dan semangat di antara mereka adalah Eruin. "Waahh, bukannya itu bagus!"

Seperti seorang ibu yang mendengar kalau anak perempuannya dilamar, Eruin benar-benar bersemangat.

Akan tetapi, Euis malah merasa sedikit muram karenanya. Yang pertama mengetahui ekspresi yang disembunyikan itu adalah dia yang sejak tadi hanya memantau.

"Euis," panggil Rini dengan lembut.

Euis menoleh ke Rini. Eruin yang terlalu bersemangat akhirnya menyadari, kalau Euis sedang menyembunyikan kekhawatiran lain yang dia sulit untuk ketahui.

Ketika ada sesuatu yang terjadi antara sahabatnya, karena semua hubungan takkan selalu berjalan mulus, Rini adalah yang pertama untuk menyatukan mereka kembali. Karena itulah dia dijuluki sebagai Guardian – Penjaga.

Rini dengan wajah penuh keyakinan berkata : "Apa kamu pernah melihat Rian berbohong?"

Mendengar pertanyaan Rini, Euis seakan terpukul, tersadar akan sesuatu.

Dari samping Eruin juga sadar. "Selama tiga tahun aku sahabatan dengan Rian, aku gak pernah sekalipun melihat dia berbohong. Kalau dia tak bisa melakukan sesuatu, dia pasti bilang gak bisa, kalau bisa pasti dia bilang bisa. Aku berpikir, kalau Rian itu lelaki paling jujur sedunia."

Ingatan mengenai Rian yang sudah bersamanya selama hidup kembali ke Euis. Memang kalau diingat-ingat lagi, Rian selalu maju ke depan. Setiap kali dia bicara, berpikir, melangkah, dia akan selalu maju ke depan. Tak sekalipun berpikir untuk melirik ke samping kiri atau kanan. Karena itulah dia disebut-sebut sebagai 'pemuda yang tak tergoyahkan'. Hatinya akan selalu fokus pada satu hal. Dan Euis sudah mengenal laki-laki itu dari beberapa saat setelah Rian lahir lebih dulu.

Entah kenapa Euis tiba-tiba termenung. Rini dan Eruin tak ingin mengganggu dan membiarkannya seperti itu untuk beberapa saat. Namun setelahnya, Euis malah mulai terisak. Dia terdengar seperti ingin menangis.

"E – euis, kamu kenapa?"

Eruin dengan cepat berdiri di samping Euis, memeluknya dari punggung untuk menenangkan.

"Apa kamu pikir dia bisa, mencari 500juta selama tiga tahun?"

Dalam isakan Euis terbesit satu kata yang sangat mengejutkan Eruin dan Rini.

"Lima ratus..." "...juta."

Rini hampir tak percaya namun dia tak bisa berkomentar apapun. Di sisi lain, Eruin tersadar akan sesuatu karena kekhawatiran Euis.

Ingatan Bagas yang stress dan mengalami penurunan berat badan terbayang di dalam pikiran Eruin. Penyebab dari menurunnya kondisi Bagas adalah dirinya, dan itu berkaitan dengan hubungan mereka berdua.

Kalau dikaitkan dengan Bagas yang memulai pekerjaan tanpa dia ketahui, dan Rian yang berjanji untuk melamar Euis dengan jumlah mahar yang sangat banyak, tanpa mereka sadari kejadian itu berkaitan satu sama lain.

"Eruin, ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba juga ikutan melamun?"

Rini yang tak mengetahui kondisi, khawatir dengan dua sahabatnya. Dia sangat khawatir, karena merasa dia tak bisa membantu apapun dalam tahap itu.

"Ah, maaf, aku enggak apa-apa, kok. Cuma..." jawab Eruin dengan ekspresi masam.

Eruin menghentikan kalimatnya dan melihat ke arah Euis. Euis masih dalam kondisi yang sama, merasa bimbang dan bersalah.

"Sebelumnya aku mau menghentikannya dan berkata dia gak harus sejauh itu hanya untukku. Tapi, mengingat kalau itu dia, dia pasti gak mau mengingkari perkataannya dan terus maju ke depan. Tapi aku takut, kalau dia akan melakukan hal yang membuat tangannya kotor untuk mendapatkan semua uang itu."

Kalau dipikir-pikir lagi, Rian adalah anak dari ibu yang biasa. Dia juga bukan seorang yang istimewa yang bisa dengan mudahnya menghasilkan ratusan juta uang dalam waktu tiga tahun. Hal itulah yang selama seharian kemarin menjadi beban pikiran Euis.

Saat dirinya sedang berada dalam kegelapan, Eruin menepuk punggungnya dengan halus dan berkata : "Jangan khawatir."

Euis melihat Eruin yang menunjukkan senyum tulus baik-baik saja padanya. Senyum Eruin mengatakan kalau Euis tak perlu terlalu khawatir.

Euis bisa sedikit tenang karena Eruin.

Setelah menenangkan sahabatnya yang murung, Eruin kembali duduk. Karena suasana yang baru saja cukup berat, Eruin menyeruput minuman lebih dulu, baru bicara.

"Sebenarnya, hubunganku dengan Aska juga cukup mengkhawatirkan akhir-akhir ini."

"Eh? Kalian bertengkar?" tanya Rini khawatir.

"Bukan begitu. Aku gak begitu tahu dengan detailnya sih, tapi, ayahku melakukan sebuah perjanjian dengan Aska, dan taruhannya adalah hubungan kami."

Mendengar pernyataan Eruin, Rini dan Euis terkejut. Euis yang paling terkejut di antara mereka. Karena kedengarannya, kondisi Eruin dan Bagas saat itu lebih rumit dibanding dengannya.

"Selama seminggu ini, Aska keliatan sangat bekerja keras. Sampai kondisi tubuhnya menurun." Eruin menggenggam tangannya erat karena rasa khawatir. "Tapi setelah mendengar, kalau Rian berani melamar kamu dengan mahar sebanyak itu, aku yakin, kalau Aska ada kaitannya dengan itu."

"Bagas, ada kaitannya? Kenapa bisa?" tanya Rini.

"Aku melihat, kalau mereka berdua akhir-akhir ini mulai bersama lagi. Ditambah Beni juga balik dari Jepang."

Rini dan Euis dibuat lebih terkejut saat sosok sahabat mereka yang setahun lalu pulang ke kampung halaman, saat itu kembali lagi ke Indonesia.

"Dia pulang, tapi kenapa?" tanya Rini lagi.

"Memangnya apa lagi yang mau dilakukan Trio Idiot kalau mereka udah bergabung?"

Pertanyaan Eruin menyadarkan Euis dan Rini akan sesuatu. Kembali ke waktu di mana mereka masih berada di bangku SMA, dalam beberapa kesempatan Trio Jancox yang terdiri dari Bagas, Rian, dan Beni menciptakan momen yang luar biasa. Seperti sewaktu drama teater, atau cerita bergambar di festival seni, atau kerusuhan yang terjadi pada saat kelulusan.

Semua ingatan lucu namun menakjubkan kembali ke Euis dan Rini. Rasa geli dan takjub mulai mengisi wajah mereka.

Eruin berhasil meringankan sedikit beban pikiran Euis. Lalu untuk benar-benar menenangkannya, Eruin menepuk bahu Euis dan berkata : "Karena itu, Euis, jangan terlalu dibawa pikiran, ya?"

Euis yang sebelumnya masih terkejut, bimbang dan murung, kali itu akhirnya tersenyum. Sebagai balasan dia menjawab dengan 'um' sambil mengangguk.

Dari samping Rini merasa bersyukur, karena pada akhirnya, rasa khawatir akan kehilangan para sahabat kemungkinan takkan terjadi.

"Nah, karena suasananya udah ringan, gimana kalau kita mulai bicarakan rencana untuk nanti malam?"

"Bagus, tuh. Oh iya, Euis, kamu ikut, kan?!"

"Ehehe, iya, tapi, jangan tidur sampai larut malam, ya."

"Ye!" 2x

*

Bagas baru saja pulang dari taman dengan membawa pulang wajah yang tersegarkan dan satu kresek berisi rujak es krim untuk Beni.

Waktu sudah sore dan menunjukkan angka lima. Cukup lama dan memuaskan, ketika dirimu sedang diambang stress, yang harus dilakukan hanyalah keluar dan melihat pemandangan yang menyegarkan.

Bagas sudah berada di peron bangunan, beberapa langkah lagi sampai di pintu rumah. Saat itu juga, ponsel pintarnya berdering. Seseorang sedang memanggilnya.

Saat dia melihat ke layar ponsel, kontak dengan nama Dani berusaha menghubunginya lewat aplikasi Wazzup. Bagas menerima telepon vidio yang terhubung ke Dani.

Telepon vidio tersambung dan seorang pemuda seumuran langsung menyaut dengan semangat. [Oi, cuk! Lama gak jumpa!]

"Apa vidcall-an begini terhitung jumpaan? Bego lu."

[Hahaha! Iya juga ya!]

Dani berwatak sebagaimana pemuda Jawa berumuran 20. Memiliki rambut coklat panjang dengan gaya ikal yang natural.

[Gimana kabar?]

"Baek, kau sendiri?"

Terlihat dari gaya berpakaian dan tempat Dani berada saat itu juga, dia seperti baru saja mandi, memakai kaos hitam panjang dan sedang duduk di ruangan yang sepertinya ruangan santai.

[Aku lagi agak pusing ini.]

"Kau, bisa pusing? Apa jangan-jangan itu tumor yang lagi berkembang biak di kepalamu?"

[Weh, anjay! Jangan doa'in yang enggak-enggak dong!]

Seperti yang dia beritahu, Dani nampak seperti sedang kesulitan. Raut wajahnya bahkan sama seperti Bagas tadi siang.

"LOL. Memangnya kenapa? Apa kau lagi terjebak masalah?"

[Kalau dibilang masalah, kurang cocok sih. Cuma, aku sekarang lagi butuh perhatian.]

"Oh, oke, kalau gitu kututup teleponnya, yak. Aku lagi sibuk soalnya."

[Eh! Eh! Cuk! Jangan gitu dong! Padahal sahabatmu ini lagi sendirian di negeri orang! Kasih perhatian sedikit kek!]

"Kalau kau mau minta perhatian, minta sama kekasihmu sana, bangsat. Jangan sama nak stress kaya aku."

[Ha? Kau? Stress? Apa itu bukan tumor yang lagi - ]

"Oke, ku tutup."

[COK! PLEASE! IYA, MAAP, jangan ditutup lah!]

Dani sebenarnya juga satu dari kelompok sahabat yang satu SMA dulu. Namun, tak seperti Rian dan Beni, sosok Dani tak sering aktif beraktivitas bersama karena dia harus menghabiskan banyak waktunya untuk belajar.

Orang tua Dani bukanlah orang tua yang punya seperti Bagas atau Rian. Dia juga bukan anak yang memiliki bakat yang bisa dikembangkan seperti Beni. Yang dia miliki hanyalah kemauan kuat untuk belajar dan meraih setiap beasiswa yang bisa dia raih.

Saat itu juga, dia sedang ada di Jerman. Mengambil studi selama tiga tahun lewat program beasiswa.

Dani bercerita kalau dia tinggal di rumah keluarga angkatnya, namun nampaknya, keluarga itu sedang tak ada di rumah.

"Btw, keluarga angkatmu kemana?"

[Oh, mereka lagi pergi belanja. Karena itu aku lagi sendirian sekarang. Bosen ga ada yang mau dikerjain, jadinya aku nelpon kau. Hehe.]

"Jangan 'hehe' ke aku bangsat, jijik. Hehe sama Rini aja sana."

Penjelasan, kenapa Bagas bisa selepas itu bicara ke Dani, itu karena sikap Dani yang juga bisa sangat lepas ke Bagas sendiri. Karena ikatan yang sudah pasti takkan terputus, membuat salah satu dari mereka bisa bicara selepas itu, dan satunya lagi bisa bersikap selepas itu.

[Jangan marah gitu, dong, kan kita sahabat, vidcall-an sesekali rasa pacaran ga apa-apa, kan.]

"Sumpah, dah. Kalau ada fitur pukul onlen, pasti udah kupencet puluhan kali."

[Awokwokwokwokwok!]

Saat Bagas masih meladeni sikap Dani yang menjijikkan, pintu rumahnya terbuka dan Beni menampakkan wujudnya.

"Woi, cok, kau kok ribut banget, lagi berantem sama siapa sih?"

[OI, Ceng! Lama gak ketemu!"

"Woi, Danicok ternyata! Pantesan Bagas misuh aja daritadi!"

[Awokwokwokwok! Begitulah, dia malu-malu kucing soalnya.]

"Awokwokwokwok!"

"Sumpah, dah. Pen ku pukul aja rasanya kalian berdua."

Dengan bersatunya duo kombo pem-bully Bagas, Bagas tak bisa berkata apa-apa lagi selain pasrah.

Suasana di peron depan rumah kos Bagas jadi ramai seketika. Dua sahabat yang lama tak jumpa menanyakan kabar satu sama lain. Dengan Bagas menggenggam ponselnya dan diarahkan ke Beni.

Saat itu juga, Rian tiba-tiba datang dan berjalan ke arah mereka.

"Woi, itu Riancok!'

[Weeh, Riancok!]

"Hm, dari kejauhan, aku merasa kalo dua perusuh lagi bergabung. Ternyata firasatku benar."

[Awokwokwokwok!] "Awokwokwokwok!"