Chereads / Pengantin Lima Ratus Juta / Chapter 22 - Dua Perasaan

Chapter 22 - Dua Perasaan

"Hei, Rian!"

Seorang teman menepuk bahu Rian saat dia berusaha mengejarnya barusan.

Saat itu Rian sedang ada di gedung fakultas. Memiliki beberapa kepentingan yang harus dia lakukan.

Meskipun hari itu adalah hari libur, masih ada setidaknya seratus mahasiswa yang ada di kampus. Salah duanya adalah Rian dan teman satu angkatan, namanya adalah. "Oi, Pian."

"Lemes banget nampaknya, slur. Ada apa memangnya?"

Pian sebenarnya bukan seorang yang dekat cukup lama dengan Rian. Hanya saja, karena kemiripan nama membuat mereka bisa dekat begitu saja tanpa harus melalui proses yang panjang.

Saat itu mereka menuju salah satu kelas yang kursinya akan dijadikan logistik suatu acara. Di perjalanan dimana mereka hampir sampai, Rian tak kunjung menjawab. Pian sedikit khawatir karena merasa dia menanyakan hal yang tak seharusnya.

"H – hei, kau gak perlu jawab juga kok. Aku gak mau maksa seseorang buat membicarakan masalah mereka ke orang asing. Cuma, kalau ada sesuatu yang bisa kubantu, bilang aja."

Pian tersenyum ke Rian di akhir kalimat. Menunjukkan ketulusannya untuk menolong.

Senyuman dan aura hangat yang datang dari Pian entah kenapa mengingatkan Rian kepada seseorang.

-

"Hei, Rian, Rian!"

Rian entah kenapa bengong di tengah jalan.

"Ya Gusti, kenapa kamu tiba-tiba bengong begitu sih?"

Yang menyadarkannya adalah gadis jantan dengan mata lembut yang saat itu menatapnya dengan tajam.

Rian dan gadis itu memakai pakaian SMA. Sedang berada di tengah-tengah trotoar jalan yang menuntun mereka ke desa.

Rian melihat ke si gadis dengan ekspresi heran. "Memangnya ada apa?"

"Aku tanya kamu kenapa bengong? Jangan malah balik bertanya!"

Gadis itu sangat tegas padanya. Dia bahkan sampai mendekatkan wajah seriusnya ke Rian yang bingung, membuatnya berpikir, kenapa dia harus sampai semarah itu?

"Aku bengong?"

"Iya, barusan aja kamu melamun, kan?! Kenapa, memangnya ada masalah yang lagi kamu hadapi?"

Karena kejadian langka yang terjadi pada Rian, mereka sampai berhenti di tempat untuk memperjelas keadaan. Meskipun Rian membutuhkan usaha untuk mengingat kenapa dirinya melamun.

"Hmm. Entah kenapa, tadi terbesit di pikiranku, aku mau jadi apa? apa yang mau kulakukan nanti?"

Pertanyaan itu dia lemparkan ke dirinya sendiri, yang bingung karena dia tak bisa menemukan jawabannya.

"Ya ampun, cuma hal sepele begitu kenapa harus dipikirkan sampai pusing sih?"

Sepele. Satu kata yang datang dari si gadis membuat Rian bertanya. Apa memang seremeh itu renungan hatinya?

"Bukannya menganggap remeh sih, tapi, kita baru aja mulai masuk SMA, masih ada banyak hal yang harus kita pelajari. Dan disini, kamu udah mikir jauh sampai situ? Kamu kurang kerjaan atau gimana?"

Kata-kata gadis itu cukup pedas, tapi ada benarnya.

Rian tersadarkan sesuatu karena kata-kata gadis itu. Ekspresi cerah akhirnya kembali ke wajahnya. Di saat itu pula, si gadis menepuk pundaknya, tersenyum dan berkata : "Di saat seperti itu, kamu gak boleh menyimpan beban sendiri. Meskipun cuma hal sepele sekalipun, carilah seseorang yang bisa kamu ajak bicara, agar kecemasanmu gak berlarut-larut tenggelam dalam hati."

-

Sebenarnya, kondisi dimana Rian merasa bimbang karena pilihannya sendiri hanya terjadi beberapa kali dalam hidupnya. Walaupun dia juga cukup jarang menentukan pilihannya sendiri.

Namun saat itu dia benar-benar terjebak dalam kondisi hati yang tak enak. Apa yang terbayang dalam pikirannya hanya satu.

'Apa keputusan untuk melamar Euis dengan mahar sebanyak itu memang tepat?'

Kalimat itu terus muncul berulang-ulang dalam hati. Tanpa bisa mendapatkan jawaban yang tepat, Rian akhirnya terjebak dalam jurang kebimbangan.

"Oh, iya, kita cuma harus ngeluarin ini ke luar ruangan, kan?"

Saat itu mereka sudah sampai di kelas yang di tuju, dan Pian mulai mengangkat kursi yang akan dijadikan logistik acara.

Dia yang mulai bekerja bertanya pada hanya seseorang yang sebenarnya dipilih untuk tugas itu, namun hati nuraninya tergerak untuk membantu.

"Rian?"

Rian tak kunjung memberikan jawaban. Malahan, dia tetap berdiri di depan pintu dalam senyap. Pian yang bertanya-tanya jadi cukup khawatir.

Saat Pian hendak ingin bertanya lagi, Rian segera angkat bicara.

"Sebenarnya, akhir-akhir ini aku sangat bimbang?"

"Bimbang?"

Rian yang tiba-tiba jadi lesu, berjalan masuk dan duduk di kursi. Pian menyingkirkan pekerjaannya sejenak lalu duduk di kursi sebelah Rian, hendak mendengarkan masalah temannya yang sedang kesulitan.

"Beberapa hari yang lalu, kawan – sahabatku mengajakku untuk memulai usaha."

"Hoo, terus, apa masalahnya?"

Atas pertanyaan Pian, Rian mulai mengaruk-garuk kepala, merasa kesal setelah mengingat kembali kesalahan yang dia buat.

"Aku gak bisa bilang itu masalah sih, tapi, rencana yang udah disusun sahabatku untuk mencapai target memiliki peluang yang cukup besar. Dengan dana yang udah dipersiapkan, dan niat yang sangat tinggi. yang kami lakukan tinggal mengeksekusi."

Rian berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Karena itu, Pian hampir saja keceplosan untuk bertanya.

"Tapi, karena kepercayaan diriku yang tinggi, tanpa sepengetahuannya, aku menaikkan target kami jadi 300x lipat."

"Memangnya target seperti apa yang kalian incar? Waktu? Atau jumlah outcome?"

"Keduanya."

Pian terkejut karena fakta yang Rian katakan. Itu berarti waktu mereka terbatas untuk mencapai target uang yang mereka incar. Sebagai sesama mahasiswa akuntansi, Pian khawatir dengan langkah yang dibuat Rian.

"Jadi, sampai sekarang kau belum membicarakan keputusanmu itu dengan si kepala proyek?"

Rian menggeleng atas pertanyaan Pian.

Situasinya cukup gawat. Meskipun Rian mengatakan kepala proyeknya adalah sahabatnya sendiri, dia pasti takkan begitu saja setuju dengan langkah yang Rian ambil. Apalagi Rian melakukannya tanpa diskusi terlebih dahulu.

"Terus, hal itulah yang selama ini membuat kepalamu berat?"

Rian tak menjawab, hanya saja, dia jadi termenung. Sikap itu bisa mudah dimengerti oleh Pian.

Ada setidaknya sedikit rasa kesal yang muncul di hati Pian setelah mendengar keluhan Rian. Dia bahkan sempat berpikir untuk menyudutkan Rian, namun itu takkan menyelesaikan masalah.

"Aku gak bisa berkomentar apapun mengenai masalah itu sih. Tapi, kupikir gak baik untuk kalian semua kalau kau terus menyimpan masalah itu sendiri."

Dengan perasaan tulus, Pian memberikan saran terbaik yang bisa dia berikan. Tanpa mengintimidasi atau menyalahkan.

"Karena ini adalah proyek yang kalian lakukan bersama, untuk menyimpan masalah yang gak bisa kau selesaikan sendiri itu, mungkin akan berujung kacau nanti."

Rian dibuat tersenyum dengan saran Pian. Meskipun dia sempat khawatir Pian akan menyalahkannya, untung saja dia memilih orang yang tepat.

"Oh iya, ini kita gak apa-apa berlama-lama begini?"

"Kau benar juga, ayo mulai kerja."

Setelah merasa baikan, Rian mulai menampakkan semangat kerjanya yang biasa.

"BTW, Pian, makasih."

Di sela-sela pekerjaan, Rian mengejutkan Pian dengan ucapan terima kasihnya. Padahal Pian berpikir kalau Rian tak begitu mudah tergoyahkan, rupanya dia juga manusia biasa.

"Yo, sama-sama. Oh, iya, satu hal lagi. Pastikan kau memperhatikan gerak-gerik kepala proyekmu itu sewaktu kau berbicara jujur padanya. Walaupun dia sahabatmu, dia tetap yang mendapatkan stress paling berat di antara kalian semua."

Rian sedikit tak mengerti maksud Pian di bagian gerak-gerik, meskipun begitu dia tetap berterima kasih. "O – oke."