Jam 03.45.
Di hari yang sama Rian sudah berada di halte bis yang sama. Menunggu bis yang akan datang ke desa dan membawanya kembali ke kota.
Dari awal rencana pulang dia sudah berniat untuk menginap satu malam di rumah. Namun perasaan tidak enak mengatakan padanya kalau dia harus kembali ke dua sahabat yang punya gaya hidup yang tak sehat.
Menunggu bis yang harusnya datang di jam 4 tepat, Rian tak sendirian. Di sebelahnya duduk seorang gadis seumuran. Dengan rambut pendek seleher dan wajah cantik yang terkesan jantan.
Gadis itu mengenakan pakaian seorang pemuda yang kalau dibandingkan Rian saja kalah darinya. Jaket dengan kaus oblong, dan jeans panjang ketat sampai ke kaki.
Saat berbicara selalu terlihat dua taring yang tumbuh di rahang atas.
"Hei, Rian, apa tinggal di kota semenyenangkan itu sampai kau gak bisa menginap di kampung untuk sehari?"
Nada suaranya manis, namun cara bicaranya benar-benar membuatnya cocok dijuluki sebagai tomboi.
"Aku bukannya gak bisa menginap, cuma kau udah tahu kan kalau Beni dan Bagas tinggal di rumah sendirian di sana."
Namanya adalah Rini Jasmine. Salah satu anggota dari kelompok persahabatan.
"Mereka kan udah dewasa. Memangnya gak bisa mengurus diri mereka sendiri?"
"Bukannya itu yang kukhawatirkan, tapi saat ini mereka lagi mengerjakan satu proyek yang cukup besar dan itu membuat mereka jadi sangat fokus."
Rini adalah salah satu dari dua anggota yang tetap tinggal di desa. Bersama dengan Euis, dia yang bertugas untuk menjemput dan mengantar sahabat-sahabatnya kalau mereka pergi atau pulang.
"Bukannya itu bagus, fokus dalam pekerjaan kan memang udah keahlian mereka."
Ngomong-ngomong saat itu Rini sedang berusaha meyakinkan Rian kalau dia harus tinggal di kampung sebelum kembali ke kota.
Namun Rian tetap merasa tak bisa meninggalkan dua sahabat laki-lakinya sendirian. Mengingat kalau mereka tak ada tidur semalaman mengerjakan proyek besar mereka.
"Ya, itu memang bagus. Tapi coba bayangkan, dua orang yang fokus bekerja terus fokus selama seharian tanpa makan dan tidur."
Rian berbicara seolah dia sedang menceritakan cerita seram. Aura di sekelilingnya mulai jadi gelap dan Rini bisa merasakan hal itu.
"Mereka melakukan itu terus-menerus tanpa henti. Sampai suatu hari mereka terkena serangan jantung karena ketidakpedulian terhadap diri mereka sendiri. Apa kau mau itu terjadi pada mereka?"
"Eh! Eehhh?"
Rini yang tak biasa menganggap setiap hal dengan serius memutar otaknya untuk mencari jawaban. Namun gadis yang sebenarnya tak terlalu pintar dalam menggunakan otak itu pasti akan selalu mencari jawaban paling sederhana yang bisa dia gunakan.
"Ingatkan aja mereka pakai telepon!"
Rini memberikan jawaban terlogis dan termudah yang bisa dia gunakan. Di sebelah, Rian malah menatapnya dengan ekspresi datar. Mengundang pertanyaan pada Rini.
"Kenapa, kau punya ponsel, kan?"
Rian mengangguk. Namun ada suatu hal yang membuatnya tak ingin merespon lebih jauh.
"Jangan bilang, kau gak punya nomor telepon mereka?!"
Rian tak menjawab. Dia malah melihat ke arah langit luas yang sedang cerah, menghindari tembakan rasa penasaran Rini.
Rini yang tak pintar dalam menggunakan otaknya sendiri, sebenarnya cukup pintar untuk membaca pikiran dan perasaan orang lain. Lalu dengan menghempaskan kekuatan dia memukul bahu Rian dan berteriak.
"Dasar bodoh! Mereka itu sahabatmu loh! Kenapa bisa kau gak punya nomor telepon yang bisa menghubungi mereka?!"
Rini sangat kesal. Saking kesalnya dia sampai ikut menyesali kebodohan Rian.
"Ya, karena aku bisa dengan mudah menemui Bagas, jadi kupikir aku gak perlu nomor teleponnya. Dan untuk Beni, aku biasa berkomunikasi dengannya kalau ada Bagas, jadi..."
Rian mencari-cari alasan untuk menghindari rasa kesal yang ditujukan padanya. Namun Rini tak bisa menerima alasan murahan itu dan tetap memarahinya.
"Memangnya apa salahnya kalau kau punya?! Gimana kalau terjadi sesuatu yang buruk padamu?! Orang pertama yang harus tahu dan bisa menolong itu Bagas, kan! Di tambah bakal jadi lebih mudah kalau kalian mau bertemu satu sama lain kalau kalian bisa berkomunikasi satu sama lain dari jarak yang jauh!"
Kalau sudah urusan yang berkaitan dengan sahabatnya, Rini takkan main-main. Dia bahkan akan memukul rata semua sahabatnya kalau itu perlu. Seperti yang terjadi saat itu, Rian tak bisa berkata banyak untuk membela dirinya sendiri.
"Aku serius dengan kalau sesuatu terjadi apa-apa pada kalian. Apalagi kalian sekarang tinggal di kota. Gak semua orang kenal dengan orang lain. Karena itu kalian harus selalu bisa berkomunikasi dengan seseorang yang bisa menolong."
Rini yang sudah sedikit tenang berusaha meyakinkan Rian, betapa pentingnya untuk selalu bisa berkomunikasi dengan orang terdekat di tempat yang bukan rumah.
Di dalam kalimatnya, Rian bisa merasakan rasa sesal yang nyata. Rian jadi merasa bersalah karena ketidakpeduliannya yang membuat Rini sedih.
"Maaf, lain kali aku akan hati-hati."
Dengan permintaan maaf itu, Rian benar-benar menyesali ketidakpeduliannya. Rini menerima permintaan maaf itu dengan mudah, dan dengan segera senyum tampil di wajahnya.
"Nah, gitu dong!"
Rini memukul bahu Rian sekali lagi dengan rasa persahabatan. Keduanya tersenyum dalam suasana yang lebih baik dari sebelumnya.
Jujur, Rini takut untuk pergi jauh dari rumah. Namun dia lebih takut lagi kalau sahabatnya menghilang dan mereka tak bisa bertemu lagi.
Rian bisa melihat perasaan seperti itu di wajah Rini yang memandang jauh ke depan. ekspresinya seperti merindukan sesuatu yang takkan bisa kembali.
"Kau tahu, aku berharap kita bisa berkumpul kembali seperti dulu. Tapi kayanya itu lumayan berat, jadi aku akan terus tinggal di sini dan jadi gurdien untuk tempat kalian kembali."
Rini mengucapkan sesuatu yang terdengar sangat manis. Rian sampai tak bisa menyembunyikan senyuman yang tak cocok di wajahnya.
"Yang benar itu, guardian."
"Ya, itulah pokoknya."
Keduanya saling melempar senyum geli bersamaan.
Di saat yang sama, dari jauh mereka bisa melihat bis yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Rian langsung berdiri untuk bersiap pergi. Rini juga ikut berdiri di tempat yang sama.
"Kapan kau balik lagi?" tanya Rini.
"Hmm, mungkin tahun baru."
"Eh, lama banget! Bukannya kalian lagi libur sekarang?!"
"Ya, begitulah. Tapi ada banyak pekerjaan yang harus kami kerjakan. Jadi, tolong bersabar, duduk manis dan tunggu kepulangan kami."
Sesaat setelah Rian selesai bicara, bis sudah berhenti di depan halte. Rini sangat menyayangkan mendengar kalau dia takkan bertemu dengan sahabat-sahabat kotanya dalam waktu dekat.
Berpikir kalau Rini akan mengantar Rian dengan senyum di wajah, namun yang terjadi malah sebaliknya.
Rian melirik senyum kecut Rini saat menaiki bis. Saat itu juga dia berhenti dan berpesan, "Saat kami kembali, kupastikan kita semua bisa berkumpul."
Rini langsung terkejut mendengar janji Rian. Selanjutnya senyum lebar langsung muncul di wajah. Niatnya untuk mengantar Rian dengan senyum terpenuhi.
"Oke kalau gitu, kutunggu kepulangan kalian!"
Rini memberikan jempol dan semangat tepat di saat pintu bis menutup.
Bis mulai berjalan kembali dan membawa Rian pergi. Tak jauh dari belakang Rini melihat kepergian Rian dengan senyum di wajah.
"Dia udah pergi?!"
Dari belakang Rini mendengar suara yang akrab. Dia berputar dan melihar Euis berekspresi sedih karena terlambat untuk mengantar kepergian Rian.
"Kamu terlambat satu menit, Euis."
Euis mendekat ke Rini dengan rasa sesal di wajah. Namun matanya tetap memandang ke bis yang sudah pergi sangat jauh dari mereka. Dengan perasaan yang sulit untuk diungkapkan, dan membuat Rini tersenyum sendiri dibuatnya.
"Nampaknya kalian juga udah melakukan janji, ya."