Chereads / Pengantin Lima Ratus Juta / Chapter 17 - Merencanakan Ulang

Chapter 17 - Merencanakan Ulang

Setengah jam setelah kepulangan Rian, tiga sahabat duduk bersila di tengah ruangan. Dengan ekspresi serius mereka melihat ke arah dokumen yang diletakkan di tengah.

"Jadi, apa aja isi dari dokumen ini?"

"Kau gak perlu tahu."

"Hah?"

Beni yang pertama kali memecah keheningan. Namun pertanyaannya langsung di tepis oleh Bagas.

"Yang jadi masalah bukan apa isi dari dokumen ini, tapi gimana kita dengan bijak menggunakan – apa yang kau lakukan?"

Di tengah kalimat, Bagas ingin menyentuh dokumen, tetapi Rian menghentikannya dengan menggenggam pergelangan tangannya.

Bagas dengan ekspresi terkejut dan curiga mempertanyakan perilaku Rian.

"Kau gak perlu tahu isi dari dokumen ini, tapi masalahnya adalah gimana kita dengan bijak menggunakan nominal dari isinya."

Rian menjawab rasa penasaran Bagas dengan melempar alasan yang sama yang digunakan untuk Beni. Diperlakukan begitu, tentu saja harga diri Bagas sebagai pemimpin proyek keberatan.

"Maksudmu aku gak harus tahu apa-apa aja yang tertera di dalam dokumen penting ini?"

Rian hanya menjawab dengan tatapan serius yang menolak.

Beni sebagai pihak ketiga merasa risih dengan pihak satu dan dua yang berselisih. Lalu dengan topik yang lain dia berinisiatif untuk menenangkan suasana.

"Oi, daripada tengkar, gimana kalau kita pikirin dulu apa-apa aja yang harus kita lakuin dari sekarang?"

"Sebelum memikirkan itu kita perrtama harus tahu seberapa besar kekuatan uang kita. Karena aku takut, kalau teman kita satu ini malah membuat dana kita meningkat."

"Bukannya itu bagus?"

Beni tak mengerti. Karena dia tak diberikan kepercayaan lain selain menggambar, Beni tak bisa mengerti kenapa dua sahabatnya masih berselisih dengan sangat serius.

"Aku gak tahu apa maumu, tapi jangan sekali-sekali untuk menambah beban kita," ucap Bagas.

Bagas mulai berpikir lebih tenang dan menjauhkan tangannya dari dokumen. Rian juga melakukan hal yang sama dan mereka berdamai untuk saat itu.

Karena suasana sudah lebih tenang, Rian angkat bicara.

"Sebelum itu, Gas, apa kau berniat untuk membuat kita mengerjakan proyek di rumah kecilmu ini?"

"Woi, bangs*t, jangan sebut rumah kos yang murah dan berkualitas ini kecil. Ya, kalau kita mau menghemat dana sebaik mungkin sebelum kita menghasilkan prototype untuk proyek kita, kita gak punya pilihan lain."

Mendengar jawaban Bagas, Rian menghela nafas panjang. Hal itu membuat Bagas menunjukkan ekspresi bertanya. Rian mengetahui kalau Bagas akan berekspresi seperti itu dan dia mulai menjelaskan sebuah proposal yang sudah dia pikirkan dengan matang.

"Sebelum itu, aku bukannya menentang rencanamu untuk langsung mengerjakan proyek yang udah kau rancang. Tapi bukannya lebih bagus kalau kau memulai dari hal kecil kaya, mengenalkan cerita dari proyek-mu ini ke orang banyak?"

"Ha?"

Seperti yang diekspektasikan, Bagas terkejut. Di sisi lain, Beni malah tertarik untuk mendengarkan lebih lanjut.

"Seperti yang kubilang, bukannya ini lumayan berat untuk kita langsung memulai membuat program atau hal lain yang berkaitan dengan proyek-nya. Apalagi kita masih amatir dan belum tahu apa-apa soal dunia kreatif."

Bagas tak bisa memungkiri karena apa yang dikatakan Rian itu benar. Selain konsep, yang mereka miliki cuma niat dan modal. Di dalam pikiran dia juga takut untuk memulai langkah yang beresiko itu. Tapi –

"Kita harus secepatnya mengeksekusi proyek ini karena waktu kita gak banyak. Apalagi kita juga dibebankan oleh target yang gak kecil."

"Dengan kata lain, kau mau kita secepatnya menyelesaikan proyek ini, dan secepatnya bisa menjualnya, kan?"

Rian memberikan tatapan serius untuk menanyakan keseriusan Bagas soal rencananya. Jujur, Bagas juga ragu dengan rencananya sendiri.

"Kau gak perlu memberikan pertanyaan itu, dari awal aku udah takut, kau tahu," jawab Bagas.

Bagas menunduk dan terlihat menyesali sesuatu. Dia juga menggenggam erat kedua tangannya dan tersenyum kecut.

"Tapi kalau kita gak melakukannya, terus kapan? Dan aku lebih memilih untuk mengeksekusi rencana bunuh diri ini daripada gak melakukan apa-apa sama sekali."

Bagas terdiam sejenak. Tak mendapatkan respon dari kedua sahabat kepercayaannya. Ekspresinya jadi pahit karena dia pikir dia telah diremehkan.

"Kalian bisa pukul aku atau apapun karena jadi bodoh begini. Tapi percaya, aku gak bisa memikirkan rencana yang lebih bagus dari itu."

Dari samping, Beni memukul kepala Bagas dengan telapak tangan, dia juga berteriak, "Goblok!", sebagai tambahan.

"Kau pikir untuk apa dua otak lagi yang ada di sampingmu ini."

Beni menunjuk-nunjuk kepalanya sewaktu bicara. Bagas seketika terkejut dan akhirnya menyadari, kalau sebenarnya dia tak sendirian.

Saat Bagas akhirnya mengangkat kepalanya, Beni berekspresi menantang dan Rian tersenyum kecut padanya.

"Sorry, aku sempat lupa kalau aku mengumpulkan kita bertiga untuk menyatukan kekuatan, bukannya membuat kalian mengikutiku dari belakang."

Bagas tersenyum pahit pada dirinya sendiri. Dia merasa bersalah karena berpikir itu adalah pertarungannya sendirian.

"Nah, jadi, lek, kau bersikap superior begitu bukan karena kau cuma mau menjatuhkan kepercayaan diri anak ini, kan?" tanya Beni.

Dengan memberikan Rian pertanyaan menantang, Beni sebagai pihak ketiga mencoba meluruskan situasi.

"Baguslah kalau kau jadi pihak ketiga yang tak berkonflik dengan dua sisi, Ceng. Sebagai catatan, aku bukannya mau merombak, tapi aku mau merevisi rencana awal kita."

Rian mulai menjelaskan proposalnya. Dari titik itu dia menghadap ke Bagas, sebagai pemikir utama sekaligus pemimpin dari proyek.

"Daripada menyelesaikan baru menjual, kenapa gak menciptakan sedikit lalu menjual beberapa?"

Bagas tertarik mendengarkan, ekspresinya menjadi lebih tajam. "Jelaskan lebih rinci."

"Sketsa desain yang dalam pengerjaan itu, itu adalah salah satu tokoh penting dalam cerita, kan. Daripada menyelesaikan modelnya hanya untuk dijadikan bagian kecil dari proyek, bukannya lebih bagus kalau dia punya cerita kuat sendiri, yang bisa membuat banyak orang tertarik dengan judul utama proyek-nya. Maksudku punya cerita sendiri, itu bukan berbentuk game atau semacamnya, melainkan cerita sungguhan seperti cerita pendek atau musiman. Tokoh penting yang punya cerita kuat di dalam game kalian ga sedikit, kan."

Setelah mendengarkan proposal Rian, Bagas dan Beni sama-sama menunjukkan ekspresi serius. Seperti mereka siap menang dalam pertarungan, mereka sangat tertarik dengan saran Rian yang terdengar lebih mudah untuk dilakukan.

"Nah, untuk penjelasan menciptakan sedikit lalu menjual beberapa?" tanya Bagas.

"Setelah kalian menyelesaikan satu cerita, dan berharap banyak orang tertarik dengan cerita kalian, saat itu juga kalian memberikan kejutan ke mereka?"

"Kejutan?"

Bagas mencoba menangkap penjelasan Rian yang terdengar rumit. Namun partner bekerjanya tampaknya sangat mengerti maksud tersembunyi Rian.

"Action figure, cok!" ujar Beni.

"Action figure?"

"Ya, kau tahu kan, kalau target kita itu orang-orang dewasa yang berduit. Terus dengan memanfaatkan kemampuan menggambarku dan kemampuan berceritamu, kita mungkin bisa menarik mereka untuk membeli action figure Cain!"

Beni dengan semangat menjelaskan apa yang dia tangkap. Namun Bagas sedikit ragu dengan rencana itu.

"Memangnya mereka mau beli action figure dari karakter yang cuman muncul di cerita musiman?"

"Ini bukan cerita musiman, cok! Ini adalah salah satu langkah dari cerita spektakuler yang nantinya bakal jadi Intelectual Property terkeren sepanjang masa!"

Beni dengan mata berbinar-binar meyakinkan Bagas. Bagas dengan keyakinan diri yang rendah menunjukkan ekspresi ragu. Rian dengan senyuman puas merasa senang karena rencana dari proyek besar mereka berjalan lebih jelas dan perlahan.

Di saat tiga orang pemuda dengan sangat antusias membicarakan rencana dari proyek mereka, sesosok pria dari rumah kos tetangga duduk menyandar di dinding, menguping pembicaraan mereka dengan seksama.