Chereads / Pengantin Lima Ratus Juta / Chapter 16 - Oalah Janc*k

Chapter 16 - Oalah Janc*k

Bagas dalam perjalanan pulang ke rumah. Dengan membawa satu bungkus soto sebagai makan malam Beni.

Waktu menunjuk pada angka enam saat Bagas berjalan pulang. Langit sudah mulai gelap dan lampu-lampu terang mulai menerangi kota.

Hati dan pikiran Bagas yang sebelumnya mumet sudah cukup tersegarkan karena adanya Eruin yang menenangkannya. Dia sangat bersyukur karena Eruin dan dirinya bisa saling mengerti dan mendukung satu sama lain.

Sepanjang jalan pulang dia bahkan suka senyum-senyum sendiri mengetahui dia memiliki kekasih seperti Eruin di sisinya.

Sesampainya di rumah dia membuka pintu dan melihat Beni masih serius dengan pekerjaannya. Dia masuk dengan senyap karena tak mau mengganggu konsentrasi Beni.

Sesampainya di dapur dia meletakkan kresek berisi satu plastik soto. Mengambil satu gelas air lalu pergi berjalan ke meja.

Di meja Bagas bisa melihat ada satu gelas yang masih tersisa beberapa ml air teh. Dia terkejut karena Beni yang terkenal dengan kemalasannya mau membuat segelas air teh.

Dari belakang Bagas memerhatikan Beni yang sedang menggambar sketsa desain lain sebagai salah satu obyek rencana mereka. Saat Bagas sedang meminum air dari gelas Beni tiba-tiba saja berbicara.

"Memang yang bisa kulakukan cuma menggambar, tapi Bagas mau memanfaatkan satu-satunya kemampuanku itu untuk mewujudkan impian kita bersama. Jadi – aw!"

Sebelum Beni bisa menyelesaikan kalimatnya, seseorang memukul kepalanya dengan sesuatu yang keras. Langsung saja dia berbalik dan melihat si pelaku.

Beni berpikir kalau dia masih berdua di ruangan bersama calon pendampingnya. Namun apa yang dia lihat malah sesosok manusia yang memiliki aura hitam di sekitar kepala, lalu dengan mata merahnya menatap ke arah Beni yang diam seribu kata.

"Ho, proyek kita baru aja mulai dan kau udah berpikiran yang macam-macam, huh."

Dari kata-kata yang diberikan itu, Beni bisa merasakan firasat tidak enak. Dia bahkan sampai menelan ludah karena saking takutnya.

"E – ehh, cok, udah balik. Dari mana aja sih, aku nyariin tadi – "

Tepat sebelum Beni bisa menyelesaikan kalimatnya, sebuah gelas yang terbuat dari keramik memukul kepala Beni, membuatnya berteriak, "AaaAaaA!"

Dengan rasa sakit yang menjulur ke seluruh tubuh, Beni berteriak. Bekas tempat yang dipukul diusap-usap sangat kuat menggunakan kedua tangan, berharap sakitnya langsung menghilang.

"Janc*k, cuma karena kita punya semua yang dibutuhkan untuk memulai, jangan pikir kita pasti akan berhasil."

Bagas sempat-sempatnya menceramahi Beni sambil berjalan menuju dapur. Di sisi lain Beni masih mengusap-usap kepala.

Sebenarnya tanpa diberitahu, Beni sudah sangat khawatir apa mereka bisa mencapai target mereka yang nominalnya meningkat sangat tinggi.

Saat bekerja dia bahkan terus membayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka gagal. Itu artinya Beni takkan bisa menepati janjinya, dan karena itu dia mungkin akan memutuskan untuk tidak menikah atau sendirian sampai akhir hayat.

Meskipun begitu, Beni takkan menunjukkan wajah yang memikirkan kalau mereka akan gagal.

Setelah sakitnya mulai menghilang, Beni memperbaiki posisinya dan berbicara pada Bagas.

"Kan udah kubilang, tenang aja, bukannya sewaktu SMA kita bertiga dijuluki sebagai Trio Jenius bukan karena alasan sepele."

Bagas teringat hari-hari dimana mereka memang pernah menyanding julukan itu. Namun dia menunjukkan sedikit ekspresi kekecewaan sambil menjawab. "Tapi itu dulu. Masalah yang kita hadapi di SMA gak sesulit yang kita hadapi sekarang, cuk."

Setelah menjawab Bagas berjalan kembali ke meja. Melihat hasil kerja Beni yang terlihat sangat bagus, namun baru selesai setengah.

"Gimana, hebat kan?"

Yang terpampang di layar laptop adalah gambar sketsa desain zirah bertema sci-fi fantasi. Zirahnya bisa dikatakan diambil dari referensi dewa mesir, Ra. Memilki dua sayap dan kepala burung falcon.

Bagas melihat sketsa desain itu dengan seksama. Tatapannya sangat serius sampai dua alisnya hampir bisa bertemu.

"Apa kau yakin desainnya sedetail ini? Maksudku, kau nanti yang repot untuk menggambar ulangnya."

"Meh, tenang aja. Ga ada yang ga bisa digambar oleh Beni Saiko."

"Hm, dengan kata lain demi kak Arisa kau bakal lakuin apapun."

Beni tersentak saat Bagas menyindirnya tepat sasaran.

"Y – ya, pokoknya kalau aku dalam keadaan optimal, menggambar zirah kaya begini ga jadi masalah besar."

Bagas melirik Beni sejenak lalu kembali melihat ke sketsa desain.

"Ya, bukannya kau bakal gambar ini terus sih. Tapi aku menyarankan kalau medium zirahnya disederhanakan lagi. Apalagi setting cerita kita itu ada di masa depan. Maksudku itu, dibuat lebih berkesan futuristik ketimbang realistik."

Beni merespon dengan ekspresi serius dari saran yang baru saja diberikan. Dia lupa, kalau proyek yang sedang mereka kerjakan bertempat di masa depan, dan dia malah keasikan menciptakan zirah yang berkesan seperti manga jepang terkenal, Saint Seiya.

"Hmm, iya juga. Sorry, aku lupa. Kalau gitu zirah Cain ini tinggal dikikis sedikit terus dibuat lebih futuristik kan?"

Bagas mengangguk puas setelah Beni mengerti.

Beni yang sudah mengerti langsung mengangkat pen di tangan kanan dan memegang tablet di tangan kiri. Namun saat Beni sudah mulai mau bekerja, Bagas langsung menghentikannya.

"Kenapa, cuk?"

"Makan dulu, kau pasti langsung kerja sehabis bangun tidur, kan."

"Uhh, aku sempat sarapan Innergen, sih. Cuma, ya udah lah."

Beni langsung meletakkan senjata tempurnya dan pergi ke dapur. Tempat duduknya di gantikan oleh Bagas yang memeriksa hasil kerjaannya.

Di dapur Beni membuka keresek berisi soto yang dibawa pulang khusus untuknya. Dia langsung ngiler melihat lauk yang cukup menggiurkan itu.

Dengan cepat Beni menuang soto di mangkuk kosong. Dia bergerak terburu-buru dan hampir membuat kuah dari lauk tumpah. Karena tanpa sadar dia belum mengisi perut selama hampir lima jam, pikirannya dipenuhi dengan kata makan.

Di dapur yang memiliki kursi khusus Beni duduk dan sudah memegang sendok. Hendak menyantap makan malamnya. Namun sebelum dia bisa menyantap sesendok, seseorang mengetuk pintu.

"Bisa tolong bukakan, cuk?"

Bagas yang sedang serius meminta Beni untuk membukakan pintu. Nafsu makannya langsung hilang sedikit dan digantikan dengan rasa kesal.

Dengan rasa kesal di wajah, Beni bangkit dan menuju pintu depan. Membukakan pintu untuk tamu yang mengetuk dan mendapati pemandangan sahabat kacamatanya yang meminta datang.

"Janc*k! Kenapa kau gak tinggal masuk aja sih!?"

Beni yang kesal sempat memaki Rian sebelum kembali ke dapur. Rian yang berharap di sambut dengan senyuman dan rasa kagum terheran, kenapa dia yang baru saja melakukan perjalanan jauh menerima perlakuan keji seperti itu.

"Oh, Rian! Kau udah balik? Bukannya rencananya untuk menginap sehari di kampung?"

Bagas menghadap ke belakang, memberi Rian pertanyaan saat Rian berjalan masuk ke dalam.

Rian masuk dengan memegang satu map plastik berisi dokumen dan itu menarik perhatian Bagas.

"Ho, nampaknya berjalan lancar."

"Memangnya apa yang membuatmu berpikir kalau diskusinya gak akan berjalan lancar?"

"Yah, kali aja tiba-tiba di kampung terjadi hujan badai."