"Jaga rumah ya, cuk."
Bagas berdiri di belakang pintu. Hendak keluar rumah. Menyempatkan untuk memastikan sahabatnya bisa dipercaya. Namun sayang, Beni yang sedang duduk di meja belajar terlihat sangat fokus dengan pekerjaannya.
Bagas hanya tersenyum karena Beni tak membalas. Dia membuka pintu secara perlahan dan pergi keluar dengan senyap.
Hari itu sudah cukup sore. Bagas sebelumnya sudah mengatakan pada Beni kalau dia akan menemui Eruin untuk sebentar. Beni sudah menjawab iya sebelumnya, jadi tak ada yang harus dikhawatirkan, harusnya.
Namun sepuluh menit setelah kepergian Bagas, seseorang menerobos masuk. Dengan sangat senyap membuka pintu dan secara terbuka masuk ke rumah.
Beni yang sangat fokus dengan pekerjaannya tak menyadari kehadiran seseorang itu. Dia berada di mode serius sekitar tiga puluh menit. Setelah melakukan desain pada satu pekerjaan di laptop Bagas, Beni meletakkan pen tablet dan merenggangkan tubuh.
"Waahh, anjer, berat juga ternyata ngedesain tokusatsu," ucap Beni.
Setelah merenggangkan tubuh, Beni melihat lagi ke desain yang telah dia buat. Itu adalah desain baju tempur yang akan digunakan sebagai produk untuk game mereka nanti.
Beni tersenyum dengan pekerjaan bagusnya, yang akan menjadi tiket untuk melamar sang kasih.
"Wah, bagus banget gambaran kamu."
Tiba-tiba seseorang bicara tepat di samping telinga Beni.
Beni menoleh ke arah sumber suara dan menemukan sang kasih – Arisa melihat ke layar laptop dengan rasa kagum.
Karena kedatangan Arisa yang tak terduga Beni sontak terkejut.
"K – kak Arisa!"
Beni dengan cepat menarik tubuhnya ke belakang. Karena wajah sang kasih tiba-tiba saja berada tepat di sampingnya.
"Apa yang kakak lakukan di sini?!"
"Memangnya gak boleh mengunjungi lelaki yang ingin melamarku sesekali?"
Risak memberikan pose lugu yang sangat manis saat bertanya.
Beni yang tak bisa menolak ekspresi itu jadi sangat gugup. Dia bahkan merespon dengan, "Ya, itu, ..., uhhh," dan di ujung dia tak bisa menolak kehadiran Arisa.
Arisa memperbaiki posisinya berdiri dengan berjalan dan jongkok di depan meja. Tubuhnya berada di bawah dan kepala dan bahunya berada di atas.
Ekspresinya masih terlihat sangat biasa walaupun di ruangan hanya ada mereka berdua. Dari posisi seperti itu Arisa menaikkan tangan kanan, mencoba memainkan alat tempur Beni dan berbicara.
"Maaf, tapi saat aku membuka pintu tadi aku langsung merasakan aura keseriusan dari tempatmu duduk. Karena itu aku gak mau mengganggu kamu bekerja."
Beni terkejut karena Arisa bisa masuk begitu saja tanpa dia sadari. Namun dia juga merespon alasan Arisa dengan ekspresi, 'bukannya lebih bagus kalau masuk dengan cara biasa'.
Arisa melirik dan membaca ekspresi Beni. Lalu secara terang-terangan membalas, "Kalau kamu tahu aku datang pekerjaan ini takkan selesai kan."
Arisa menyatakan fakta yang mungkin akan terjadi dengan nada menggoda. Beni tak bisa menolak pernyataan itu.
Beni yang merasa jarak mereka terlalu dekat menarik kursi sedikit ke belakang. Memberikan Arisa ruang yang lebih luas untuk bergerak.
Dari jarak yang aman Beni memulai pembicaraan agar pikirannya tak teralihkan oleh hal-hal lain.
"Jadi, kakak datang cuma karena penasaran dengan apa yang lagi kukerjakan?"
Arisa memberikan ekspresi kesal atas pertanyaan Beni. Kedua pipinya di gembungkan dan dia menatap Beni dengan cukup sinis.
"E-eh, bukan?"
Beni tak tahu apa yang salah, tetapi Arisa marah padanya.
Arisa kembali melihat ke layar laptop dan tangan kanannya memainkan pen tablet. Dengan nada yang terdengar cukup kesal dia bicara.
"Memangnya melihat apa yang sedang dilakukan lelaki yang ingin melamarmu terlihat begitu sepele?"
Arisa tanpa disadari ngambek karena ketidakpekaan Beni.
Beni tersenyum kecut sebagai respon, atas kebodohannya membaca perasaan Arisa. Untuk menghindari kekesalan Arisa semakin besar, Beni mencoba menjelaskan apa yang sedang dia kerjakan.
"Y – ya, beginilah yang lagi kukerjakan. Memang ini masih desain dan belum pas, jadi masih belum pantas untuk dibanggakan."
"Bisa melakukan apa yang tak banyak orang bisa lakukan itu patut dibanggakan."
Beni mencoba menenangkan hati Arisa, namun dia malah dibuat terpojok karena pernyataannya sendiri.
"Eh, yahh, maksudku, desainnya lebih bagus kalau dilihat orang lain sewaktu udah jadi."
Beni mencoba lagi menerangkan apa yang dia maksud, tetapi itu malah mengundang tatapan tidak enak Arisa untuk kedua kalinya. Beni berpikir, 'salah lagi?', saat melihat wajahnya.
Arisa tak ingin merespon pada pernyataan bodoh Beni dan lebih memilih memainkan apa yang sedang Beni kerjakan. Dengan rasa tidak bersalah dia menarik garis di pen tablet dan menciptakan garis di desain yang sedang Beni kerjakan.
Beni hanya bisa melihat tanpa merasa harus menghentikan. Tentu saja, ada rasa khawatir kalau Arisa tak berhenti mencoret hasil kerjanya.
Arisa melirik Beni yang hanya tersenyum kecut padanya. Lalu tanpa berpikir panjang dia memberikan pekerjaan Beni lebih banyak coretan lagi.
Arisa menarik banyak garis di pen tablet. Membuat Beni dengan pesat menghentikan perilakunya.
"Kak, tolong, stop!"
Beni dengan cepat menghentikan tangan kanan Arisa dengan tangan kanannya. Saat kedua tangan mereka bersentuhan, Beni bisa merasakan tangan Arisa sangat lembut. Dia sampai tergoda untuk membiarkan momen indah itu terhenti untuk sesaat, sebelum dia menarik pen digital dari Arisa.
Pen diambil dari Arisa dan diletakkan di ujung meja.
Arisa menyilang kedua tangan di atas meja dan mengubur sebagian wajahnya dengan rasa jengkel.
Dari belakang Beni tersenyum kecut pada dirinya sendiri. Arisa cukup merepotkan dan seperti bukan Arisa yang dia kenal, atau ini adalah Arisa yang hanya dia yang bisa melihatnya. Meskipun merepotkan, Beni cukup senang karena bisa mengenal sisi lain Arisa.
Beni menggelengkan kepala karena sempat berpikiran aneh. Untuk sekarang dia harus menenangkan Arisa lebih dulu.
Dengan mencoba menyentuh bahu Arisa dan menggunakan nada memohon, Beni bicara.
"M-maaf kak, aku gak bisa kakak ajak main kalau masih ada yang harus kukerjakan seperti ini."
"Aku bukan datang untuk bermain."
Beni sudah berusaha sekuat tenaga. Namun Arisa malah membalas dengan rasa jengkel dan mulutnya masih menempel di tangan.
Saat itu juga rasa kesal terhadap diri sendiri semakin membesar di dalam pikiran Beni. Arisa berperilaku seperti anak kecil dan Beni cukup sulit menangani itu.
"K-kalau gitu, mau istirahat sebentar? Minum atau makan?"
Tawaran Beni kali itu membuat Arisa merespon dengan hal lain. Arisa bangkit dengan membawa rasa jengkelnya. Lalu berjalan ke dapur, membuat Beni bertanya-tanya, 'ada apa dengan anak satu ini?'.
"Kamu mau minum apa?"
Di dapur Arisa menawarkan Beni untuk dibuatkan sesuatu.
Beni terdiam sejenak karena perubahan suasana hati Arisa yang begitu cepat. Diamnya itu malah mengundang rasa jengkel lain pada Arisa.
"Kamu mau minum apa?!"
Arisa mengulangi pertanyaannya dengan rasa jengkel yang meningkat.
Beni dibuat salah tingkah sejenak, lalu dengan rasa bersalah meminta pesanan.
"K – kalau gitu, teh angetnya dong, satu."
Arisa menghela nafas sebentar sebelum mulai membuat teh hangat untuk Beni.
Dari jarak yang cukup jauh, Beni bisa melihat seorang gadis membuatkannya teh hangat. Pemandangan yang sangat indah. Seperti dia baru saja pulang bekerja dan langsung dilayani oleh seorang istri yang baik.
Membayangkan hal itu Beni menyembunyikan mukanya dengan kedua tangan. Lalu berbalik ke meja dan menyandarkan tangannya.
Hatinya berdegup kencang mengetahui ada seorang gadis yang membuatkannya teh hangat. Dan dibalik kedua tangan yang menyembunyikan wajah, dia tersenyum senang.
Arisa yang sudah selesai membuatkan teh berjalan ke meja. Menaruh gelas di ujung meja dan melihat Beni bertingkah aneh.
"Kenapa? Apa kamu sakit?"
Beni masih belum bisa menenangkan hatinya. Namun dia mencoba menyingkirkan kedua tangannya dan menjawab.
"Enggak, aku gak kenapa-kenapa, kok. Cuma lagi mau menyegarkan muka aja."
Dengan alasan seperti itu Beni mencoba untuk tenang. Tangan kanannya meraih gelas teh lalu dia minum dengan perlahan.
Dari samping Arisa melihat Beni dengan perasaan yang bahagia. Saat itu juga ada yang mau dia tanyakan, namun entah kenapa dia merasa malu dan ragu.
Beni melirik Arisa setelah menyeruput teh. Arisa terlihat malu dan ingin menanyakan sesuatu padanya.
"Apa kakak pengen sesuatu?" tanya Beni.
"Umm, cuma sebentar aja, apa kakak boleh lihat kamu bekerja?"
Arisa menanyakan sesuatu yang terdengar aneh. Bukan karena permintaannya, namun apa seberat itu untuk meminta sesuatu yang bukan sesuatu yang spesial.
Beni merespon dengan, 'hmm', lalu menaruh kembali gelasnya. Pikirannya kembali tenang dan dia merasa luar biasa untuk melanjutkan pekerjaan.
"Oke, kalau gitu. Ayo lanjut kerjanya."