Setelah menyelesaikan urusan, Rian segera berjalan menuju rumah.
Tak butuh waktu lama dan banyak usaha sebenarnya untuk berbicara dengan Ibu Bagas. Namun entah kenapa Rian merasa sudah cukup lelah.
Di jalan pedesaan yang masih di kelilingi oleh pohon hijau Rian melangkah sekitar puluhan langkah kaki untuk sampai rumah. Rumahnya berada di pinggir desa dan dia berjalan lewat perbatasan desa dengan .
Rian sudah berjalan cukup jauh, dan jarak menuju rumah tinggal setengah lagi.
Tak jauh dari lokasi Rian berada, di depan ada seorang gadis seusia yang sedang berpamitan dengan beberapa anak kecil.
Saat Rian berjalan mendekati si gadis, dia menyadari keberadaan Rian dan terkejut.
"Rian!"
Gadis itu terkejut dalam senang melihat sosok Rian. Senyumnya merekah, matanya sedikit memelotot sembari berjalan mendekati Rian.
"Hai, lama gak jumpa!"
Gadis itu adalah Euis Nur Hasanah. Sahabat kecil sekaligus tetangga Rian.
Gadis yang diberi julukan sebagai kembang desa u-19 karena kecantikan dan karismanya. Memakai rok dan baju lengan panjang model sederhana.
Gadis kelahiran sunda dengan rambut panjang sepunggung. Tubuh yang langsing dan juga wajah yang cantik. Siapapun yang berteman baik dengannya pasti diberikan rasa cemburu yang sangat kuat oleh orang lain. Terutama pada Rian.
Euis adalah guru di taman kanak-kanak desa. Dia pulang dengan membawa tas satu tangan yang di gantung di tangan kanan. Anak-anak sebelumnya adalah anak didiknya.
Euis melambaikan tangan saat Rian masih jauh. Rian tersenyum dibuatnya. Karena mereka sudah cukup lama tidak bertemu.
Saat jarak mereka sudah cukup dekat Euis dengan semangat melempar sapaan.
"Lama gak ketemu! Kamu kok gak kasih kabar kalau mau pulang?!"
Rian menahan luapan semangat dan kesal Euis dengan tangan kanan sambil menjawab.
"Maaf-maaf. Ini mendadak, jadi aku gak ngabarin siapa-siapa. Harusnya aku pulang sama Bagas, sih. Cuma anak itu punya masalah dengan tidurnya, jadi aku cuma sendirian."
"Hmm, begitu, kepentingan mendadak, ya."
Rasa kesal dan semangat Euis berubah menjadi bisa dibilang 'bodo amat', dan Euis mulai berjalan menuju arah rumahnya.
Rian merasa bersalah karena tidak bisa memberitahu sahabatnya itu alasan yang sebenarnya. Karena ketika Rian yang biasanya akan selalu terbuka pada Euis, saat itu dia sedang menyembunyikan sesuatu, membuat Euis kesal dan lebih memilih tak mau peduli.
Rian di belakang sempat membuat pose 'tunggu' untuk menjelaskan lebih lanjut. Tetapi dia lupa kalau proyek yang sedang dia kerjakan bukanlah sesuatu yang bisa dibicarakan begitu saja.
Dengan perasaan bersalah Rian menyusul, berjalan perlahan di belakang, juga mencoba untuk mengembalikan suasana hati sahabat kecilnya.
"Gimana sekolahnya?" tanya Rian.
"Kamu bukan ayahku."
"!"
Pertanyaan Rian ditolak secara frontal.
Euis saat itu menjadi karakter yang cukup angkuh hanya untuk Rian.
Saat itu Rian teringat, kalau pertanyaan yang dia berikan adalah tipe pertanyaan yang diberikan oleh masing-masing orang tua, ketika anaknya baru saja pulang dari sekolah. Rian jadi merasa malu sekaligus kesal pada dirinya sendiri.
"Apa mengajar anak-anak usia dini menyenangkan?"
"Kamu sudah menanyakan hal itu, berulang kali."
Euis dua kali menjawab pertanyaan Rian dengan frontal.
Rian semakin geram pada dirinya sendiri karena tak memberikan pertanyaan yang menarik.
Pada saat itu Rian teringat, kalau dia bukan tipe yang bisa mengembalikan suasana hati seseorang.
Hubungan Rian dengan Euis sebenarnya tak serenggan itu sampai-sampai Euis dengan mudahnya menghiraukan Rian. Hanya saja ketika, sahabat kecil sekaligus tetangga yang sudah bersama semenjak lahir tak mau terbuka, Euis jadi mudah sekali kesal dan berperilaku seperti sekarang.
Rian bahkan ingat satu kejadian yang sama pada saat mereka SMA. Mereka berdua memulai pertengkaran dan suasana berat terus terjadi selama lebih dari seminggu.
Suasana yang sedang terjadi sekarang. Mereka bisa baikan itu karena sahabat-sahabat mereka yang lain ada untuk menolong. Namun dengan berpisahnya mereka setelah SMA, saat itu hanya mereka yang bisa menolong diri mereka sendiri.
Rian mulai berusaha berpikir keras untuk menemukan jalan keluar. Dua tangannya dilipat dan keningnya dikerutkan.
Saat dia masih berpikir, Euis dari depan berhenti berjalan, melirik dan memberikan pertanyaan.
"Itu," Euis melirik ke map berisi dokumen, "dokumen-dokumen tentang apa?"
"Ini?"
Rian mengangkat map berisi dokumen tentang perjanjian hutang dana proyek mereka. Saat itu juga dia mau mulai menjelaskan, tetapi dia teringat kalau dia tak bisa berbicara begitu saja mengenai proyek mereka.
Di waktu sepersekian detik Rian mengambil keputusan untuk tidak membeberkan informasi apapun.
"Ini cuma dokumen penting."
Rian berhasil menjawab dengan ekspresi biasa. Namun dia salah dalam mengambil satu kata.
"Dokumen penting? Seperti apa?"
Skakmat. Dia tak bisa lari untuk memberikan penjelasan.
Euis berputar dan menghadap Rian. Dengan ekspresi yang masih terlihat bodo amat. Tetapi masih ada rasa ingin peduli pada Rian walaupun tak banyak.
Rian mulai gugup. Dia bahkan mengulangi kata 'eh' atau 'itu' untuk beberapa saat. Sampai terbesit dalam otaknya sebuah ide. Yang bisa menjawab rasa penasaran Euis sekaligus membuatnya mengerti tanpa menjelaskan secara detil.
"Oke, aku ingin menanyakan satu hal dulu padamu. Jangan salah paham. Aku bukannya mengelak. Cuma ini agak rumit, jadi aku gak bisa begitu aja jelasin semuanya."
Euis berdehem cukup panjang sebagai respon. Dia juga mulai sedikit memberikan rasa ampun pada Rian.
Menyilangkan tangan dan memberikan persetujuan. Euis berkata, "Silahkan," dan mulai mendengarkan dengan seksama.
"..."
Rian tak langsung berbicara. Dia malah terlihat ragu-ragu untuk mengeluarkan suara.
Euis yang mulai tak sabar bertanya, "Kenapa ragu-ragu? Kamu gak bicara dengan orang asing, kan?"
Kalimat itu memukul Rian cukup kuat. Rian yang kesal karena dirinya sendiri menggaruk-garuk kepala dengan sekuat tenaga. Euis dibuat cukup terkejut karena hal itu, dia ingin membuat Rian berhenti, tetapi suasananya malah jadi kaku nantinya.
Setelah beberapa saat, Rian akhirnya selesai menggaruk kepala. Menarik nafas sejenak lalu berbicara.
"Apa udah ada seseorang yang mencoba melamarmu?"
Euis dibuat terkejut oleh pertanyaan itu. Untuk sejenak dia jadi salah tingkah. Matanya melirik kesana-kemari. Tak lama kemudian dia memperbaiki kondisi hati dan keangkuhannya.
"Ada, memangnya kenapa?"
"S – siapa?! Berapa?!"
Rian jadi kaku dan frontal setelah mendengar kalau ada yang mencoba melamar Euis. Euis merasa kesal karena sahabat kecilnya itu jadi terlalu berlebihan.
Euis geram tetapi tak merasa harus menjawab. "Ada, memangnya kenapa?"
Rian berhenti menjadi frontal karena Euis tak mau menjawab. Itu artinya kalau dia berusaha mencari jawaban lagi, maka keadaannya akan jadi semakin buruk.
"O – oh, gitu ya."
Karena tak bisa melakukan apa-apa, Rian hanya bisa pasrah dan memberikan kesan menyesal entah kenapa.
Euis dibuat bingung karena sikap Rian yang satu itu. Dia juga merespon dengan ekspresi bingung yang sama untuk memperjelas situasi.
"Memang ada yang mencoba melamarku. Tapi bukan berarti aku harus menerima mereka, kan."
"Eh?"
Euis memperjelas statusnya yang masih sendirian. Yang berarti kemungkinan semua lamaran yang dia terima dia tolak.
Rian yang bingung mencoba untuk bertanya.
"Tapi, kenapa?"
"Hm?"
Tak disangka Euis malah memberikan ekspresi menyeramkan sebagai respon dari pertanyaan bodoh Rian.
Rian sempat takut karena terkejut dengan ekspresi Euis yang satu itu.
Di sisi lain, Euis merasa tak harus marah karena dia mengerti, Rian bodoh dalam membaca perasaan orang lain. Karena itu dia mencoba menenangkan diri dengan melemaskan tubuh dan mengambil nafas yang dalam. Setelah itu Euis berpaling dan berdiri di pinggir jalan, batas antara jalan dan parit sawah.
"Kalaupun ada beberapa lamaran yang datang, bukan berarti aku harus menerima mereka, bukan."
Penjelasan singkat Euis membuat Rian akhirnya mengerti kenapa. Namun Euis tak berhenti disitu.
"Walau aku sudah legal untuk dinikahi, bukan berarti aku harus menerima semua tawaran pernikahan itu. Apalagi aku baru aja lulus satu tahun dari SMA. Baru aja memulai karirku sebagai guru bagi anak usia dini di desa. Dan masih ada banyak hal yang ingin aku lakukan. Ditambah lagi, aku masih belum merasakan yang namanya jatuh cinta."
Waktu yang masih pagi. Suasana yang masih segar. Cuaca yang cerah ditambah awan-awan besar yang beterbangan di atas sana. Membuat apa yang dikatakan Euis terasa begitu menyentuh.
Rian yang bodoh dalam membaca perasaan orang lain hanya bisa diam. Mendengarkan dengan tulus isi hati sahabat kecilnya.
"Rian, apa kamu pernah jatuh cinta?"
Tiba-tiba Euis berbalik dan menanyakan hal itu pada Rian.
Rian yang tak siap untuk menjawab hanya bisa berkata jujur, "Enggak.".
"Gitu ya."
Euis lalu berbalik lagi menghadap persawahan.
Nada dari respon terakhir Euis entah kenapa terasa sangat kesepian. Rian bisa merasakannya, dan itu nyata. Entah kenapa Euis terlihat tak ingin lepas dari momen sekarang.
Saat itu pula Rian teringat. Alasan kenapa dia menambah target dan dana proyek mereka jadi tiga kali lipat.
Rian menggenggam map plastik dengan cukup erat sampai menimbulkan suara. Dengan menetapkan hati Rian berbicara.
"Aku gak tahu apa ini cinta atau bukan, tapi..."
Rian melangkah mendekati Euis. Euis yang menyadari itu berbalik dan melihat Rian sudah ada di hadapannya. Sosok Rian yang tinggi membuat Euis harus mendongak sedikit untuk menatap wajahnya.
Ekspresi yang Rian berikan sangat serius. Euis jadi sempat bingung harus merespon dengan apa. Tetapi sebelum Euis bisa mengubah ekspresi, Rian lanjut bicara.
"...aku gak ingin kamu dimiliki oleh orang lain."
Bulu kuduk Euis seketika bergetar. Seperti ada listrik yang tiba-tiba menyetrum tubuhnya. Matanya juga melotot seketika mendengar kalimat terakhir Rian.
Sesaat setelah Rian berhenti bicara, Euis jadi salah tingkah. Dia mundur dua langkah untuk menenangkan diri. Namun jantungnya tak bisa berhenti berdetak kencang.
Euis menyentuh dadanya yang entah kenapa terasa sakit. Rasa sakit itu cukup menderita sampai membuat kepalanya pusing.
"Kau gak apa-apa?"
Rian mencoba mendekat. Namun Euis dengan sigap memberikan tanda berhenti dengan tangan kanan.
Rian berhenti di tempat dengan kedua tangan melebar. Awalnya dia ingin menangkap Euis kalau seandainya dia tak kuat berdiri sendiri. Namun bukan itu masalahnya.
Euis mencoba menenangkan dirinya. Dia menarik nafas dengan hidung dan mengeluarkan lewat mulut. Hal itu diulangi untuk beberapa saat sampai dia akhirnya bisa sedikit tenang.
"A – ap – apa – apa ka – kamu serius soal itu?!"
Euis memang sudah tenang. Namun rasa gugup masih menguasai dirinya.
Rian tak tahu kenapa Euis bersikap seperti tiu. Tetapi dia tak menganggap pernyataannya sebagai candaan.
"Iya, aku serius."
"Gi – gitu ya."
Entah kenapa di mata Rian Euis jadi bersikap malu-malu. Dia bahkan memainkan gagang tas miliknya dengan aneh. Wajahnya berubah merah. Matanya melirik-lirik Rian untuk beberapa saat.
Rian yang bodoh dalam membaca perasaan seseorang malah bertanya, "Kamu bener gak apa-apa?"
Mendengar pertanyaan bodoh Rian, Euis jadi kesal seketika. Dia menarik tasnya ke belakang, lalu dengan berteriak, "Enggak apa-apa, dasar bodoh!", Euis melempar tasnya ke Rian.
Rian dengan mudah menangkis dan menangkap tas yang dilemparkan. Setelah pandangannya teralihkan Euis malah berlari menjauh. Lalu setelah jarak mereka cukup jauh, sekitar 10meter, dia berbalik dan berteriak.
"Sebaiknya kamu cepat mengumpulkan uang lalu lamar aku!"
Rian sempat bingung kenapa dia harus berteriak dengan jarak sejauh itu. Namun yang lebih penting sekarang adalah memastikan perjanjian mereka.
"Kapan deadline-nya?"
"Eh, deadline? Ehhh, sebelum aku menerima lamaran orang lain?!"
"Berapa mahar yang kau minta?"
"Eh, mahar? Ehhh, berapa yang kau punya nanti?!"
Rian dibuat berpikir dengan pertanyaan yang satu itu. Kalau berbicara soal yang dia punya nanti, dia tak bisa memastikan. Tetapi ada satu angka yang terbesit di pikirannya.
"Bagaimana kalau 500 juta?"
"EH! 500 juta!?"
Euis sangat terkejut dengan angka yang disebutkan Rian, sampai-sampai dia tak tahu harus merespon dengan apa.
Euis yang membutuhkan waktu lama untuk berpikir membuat Rian bertanya lagi.
"Bagaimana?!"
"Eh, eehh, yah, terserahlah! Yang penting, cepat!"
Saat Rian diberikan deadline yang tak menentu. Dia menaikkan tiga jarinya ke atas langit. Euis dari jauh menunjukkan ekspresi bertanya.
"Beri aku waktu tiga tahun!"
Euis dibuat terkejut sesaat. Setelahnya dia jadi lebih tenang dan tersenyum cerah pada Rian.
Euis membalas dengan menjawab, "Oke!", dan memberikan tanda ok di tangannya.
Rian tersenyum dengan respon yang diberikan.
Pemesanan tempat untuk pelamar sudah dilakukan. Untuk sekarang mereka berdua berjalan pulang dengan jarak 10meter selama perjalanan.