Chereads / Pengantin Lima Ratus Juta / Chapter 8 - Janji 500 Juta

Chapter 8 - Janji 500 Juta

Beni berada di rumah Bagas sendirian di saat pemiliknya pergi ke medan pertempuran untuk terakhir kali (akhir semester).

Di dalam rumah minimalis yang sangat ideal itu, Beni jadi teringat rumahnya di jepang.

Beni saat itu sedang tidur-tiduran di lantai dengan kedua tangan sebagai bantal. Melihat ke atap sambil membayangkan masa depan seperti apa yang akan mereka hadapi.

"Huuhhh. Sekarang dia benar-benar mau memulai bisnis. Tapi apa yang pertama harus dilakukan para nooobie (newbie/pemula) seperti kami?"

Beni bergumam dan bertanya pada dirinya sendiri.

Sebagai artis gambar yang bekerja sendirian dia tak pernah atau belum kepikiran untuk melakukan kolaborasi. Apalagi kolaborasi yang akan dia lakukan itu adalah sesuatu yang sangat besar.

Malam sebelum hari itu dia bertanya pada Bagas.

"Memangnya kau udah ada rencana apa aja yang harus kita lakukan, cuk?"

Saat pertanyaan dilayangkan Bagas baru saja ingin berbaring di tempat tidur. Dengan pose yang tidak enak dilihat dan suara yang lemah dia menjawab.

"Besok kujelaskan. Untuk sekarang bisa biarin aku tidur. Kalau aku gak cukup tidur mungkin aja besok aku bisa kena kanker prostat."

"Wa'anjay, kanker prostat, dong."

Buset, pikir Beni. Dengan permintaan kecil itu Beni membiarkan sahabatnya tertidur pulas dalam sekejap.

Keesokan harinya.

Pagi itu Beni mau menanyakan rencana Bagas, tetapi Bagas malah keburu berangkat ke sekolahnya.

Di waktu sekarang jam menunjuk ke arah sepuluh. Masih jam sepuluh pagi di hari sabtu. Di saat jam-jam seperti itu Beni biasanya masih tidur. Namun entah kenapa hari itu dia masih melek dari malam.

Rasa bosan mulai menyerangnya. Dia pun bangkit sambil berkata, "Cari angin segar dulu, ah."

Bagas mengatakan kalau dia bisa keluar rumah dengan membawa kunci. Tetapi dia juga jangan lupa untuk membawa telepon agar bisa dihubungi.

Dengan satu dompet, satu ponsel pintar dan kunci rumah di tangan, Beni berangkat ke luar.

Menurut peta lokasi, rumah Bagas sangat strategis. Karena tak jauh dari pertengahan kota. Beberapa ratus meter dari tempat juga terdapat taman dan di sekitarnya memiliki cukup banyak kios makanan atau cafe. Tempat yang sangat tepat untuk menghabiskan waktu.

Beni yang sudah memutuskan untuk pergi ke mana mulai melangkahkan kaki.

Jarak menuju taman sekitar lima ratus meter. Lima belas menit jika berjalan kaki.

Sesampainya di pinggir taman Beni langsung di hantam dengan angin segar pagi hari.

Tidak ada banyak orang di taman saat jam-jam seperti itu. Suasana yang sangat enak untuk hati Beni yang sedang menginginkan ketenangan.

Dengan menghirup nafas sejenak, Beni mulai berjalan menuju taman.

Hari itu adalah hari sabtu. Yang berarti akhir pekan bagi semua orang. Meskipun tidak banyak, orang-orang yang berada di taman beraktivitas sebagaimana orang-orang kota ingin mencari kesehatan.

Beberapa kelompok melakukan aktivitas olahraga, seperti yoga, jogging, atau hal-hal yang bisa menguras keringat lainnya.

Beni melihat ke arah orang-orang itu dengan senang. Dia memang bukan pemuda yang senang untuk banyak bergerak. Malahan dia benci banyak bergerak. Namun kalau melihat orang lain berekspresi bahagia melakukan apa yang mereka inginkan, itu secara tidak langsung memberikan efek positif padanya.

Beni sedang berada di pinggir jalan sekeliling taman. Melihat keindahan taman dan sekitarnya dengan seksama. Pada saat itu pula seseorang menutup matanya dengan kain dan menariknya ke belakang.

"Eh-eh-eh!"

Seorang yang tak dikenal menariknya sehingga dia tak memiliki pilihan lain selain mengikuti perintah tak langsung dari si penarik.

Beberapa langkah mundur dia lakukan. Walaupun Beni takut dia akan tersandung sesuatu, dia tak memiliki pilihan lain. Sampai di beberapa langkah selanjutnya lututnya menyentuh sesuatu dan membuatnya terjatuh.

Beni terjatuh di atas kursi taman. Sesaat setelahnya si penarik melepas kain yang merupakan selendang berwarna hitam, dan membiarkannya merangkul Beni dari bahu.

Beni merasa tahu dan terkejut dengan perlakuan aneh dan kain sutra yang dia terima. Dengan cepat dia berdiri lagi dan mencari si pelaku. Namun tak ada orang lain yang berada di sekitarnya.

Di saat dia sedang kebingungan seseorang berbicara padanya.

"Mencari siapa?"

Beni mengikuti sumber suara yang berada di sebelahnya. Di situ dia menemukan gadis cantik yang memakai kebaya motif polos berwarna hitam hampir keseluruhan.

Sosok lembut yang duduk dengan anggun itu memandang Beni.

Dilihat dari wajah dia lebih tua dua atau satu tahun dari Beni. Rambut hitam panjangnya terurai sampai punggung. Lemah lembut ekspresinya melihat Beni dengan rasa rindu.

Bulu kuduk Beni tersetrum seketika dia melihat ekspresi rindu dan kasih sayang si gadis. Tangannya yang memegang selendang dia pegang dengan sangat erat. Gigi-gigi di dalam mulutnya menekan satu sama lain dengan sangat kuat.

Dengan perasaan yang bercampur aduk dia kembali duduk ke kursi. Dia menunduk dan menggaruk-garuk kepala. Pikirannya menjadi kacau seketika.

Di saat dia merasa hari itu menjadi hari terburuk di tahun itu, si gadis malah berbicara dan memperburuk perasaannya.

"Sudah dua tahun kita tidak bertemu."

Beni menjambak rambutnya sangat kuat saat masih menggaruk-garuk. Hatinya mulai menjadi panas. Dia bahkan mulai menggeretak giginya.

Si gadis yang melihat ke depan melirik sedikit ke Beni yang kondisinya memburuk. Meskipun begitu dia tak memiliki niatan untuk mundur.

"Bagaimana kabarmu? Apa setahun tinggal di Jepang sedikit menyembuhkan perasaanmu?"

Sesuatu di dalam hati Beni ingin meledak. Tetapi dia berhasil mengendalikan diri. Tekanan dalam pikirannya juga dia hilangkan. Dia menjadi sedikit tenang dan mulai bicara.

"Aku baik-baik aja. Setahun tinggal di Jepang gak gitu aja bisa nyembuhin perasaanku."

Dia berbicara dengan tenang. Namun kepalanya tetap merunduk.

Di sisi lain si gadis merasa sangat senang dan itu bahkan membuatnya mulai tersenyum.

"Begitu ya."

Si gadis menjawab dengan perasaan bahagia. Tetapi, entah kenapa di wajahnya terbenam sebuah perasaan yang sangat rumit.

"Aku dengar kamu kembali ke sini karena Bagas meminta bantuanmu?' tanya si gadis.

"Ya, begitulah."

"Enak ya, rasanya punya sahabat yang bisa mengandalkanmu."

Beni masih menunduk, tetapi dari situ dia bisa merasakan kesedihan di dalam kalimat si gadis. Perasannya menjadi bimbang. Dia masih memiliki rasa amarah terhadap si gadis, namun sesuatu mengatakan padanya untuk berhenti membenci sosok yang rapuh itu.

Perasaan berat membuatnya menghela nafas panjang. Setelahnya dia mengangkat kepala dan melihat orang-orang masih beraktifitas seperti biasa.

Orang-orang sedang melangkah maju. Di sisi lain, mereka terperangkap dalam sebuah kotak perasaan yang tak bisa terhubung.

"Dulu, kamu pernah memberikan warna dalam hidupku."

Di dalam kotak itu si gadis mulai berbicara. Mencoba mengenang kembali ingatan yang mengikat mereka bersama. Walaupun sesaat.

"Padahal pertemuan kita cuma diakibatkan oleh ketidaksengajaan. Tapi kamu memberikan arti yang sangat penting bagiku."

Si gadis terus berbicara. Di setiap paragraf dia terhenti, perasaan yang sangat berat terus berkembang.

"Aku yang saat itu diperintah untuk mempelajari seni dimana aku harus memberikan dan mempelajari setiap warna di dunia, malah tidak pernah merasakan gairah dari seni itu sendiri."

Ingatan mengenai seorang gadis yang tak memiliki warna dalam hidupnya membayangi Beni.

Sosok anggun yang pernah muncul dalam ingatan. Menari dengan sangat indah di tengah pusaran angin yang lembut. Semua orang yang melihatnya merasa sangat kagum. Tetapi Beni tidak. Karena dalam tarian itu dia bisa melihat kekosongan seseorang.

"Kamulah yang pertama menyadari kekosongan itu. Kamu jugalah yang pertama mengisinya."

Suara si gadis terdengar bergetar di akhir kalimat. Terasa dia ingin menangis namun tidak bisa.

Beni terbawa suasana dan mulai merasa berat untuk bernafas. Dia ingin menghentikan si gadis untuk berbicara dan mengganti topik. Tetapi mulutnya tak bisa bergerak. Entah kenapa mengunci dirinya sendiri.

"Sampai hari itu tiba."

Kalimat itu membawa Beni kembali ke masa-masa lampau. Ke tahun dimana dia masih dekat dengan sosok yang sama dengan yang duduk bersama di sampingnya.

Sosok itu dahulu sangat bahagia berada di samping Beni. Setiap kali Beni membicarakan suatu hal yang baru, sosok itu pasti terbawa suasana dan menjadi sangat bersemangat.

Sosok yang juga mengubah cara pandang Beni ke dunia.

Namun hari-hari itu sudah berlalu dan tak bisa kembali. Karena itulah Beni tak ingin terlalu terbawa suasana, dan berusaha sangat keras untuk menahan gejolak dalam hati.

"Tapi andai saja, kamu bertahan dan bersikeras ingin terus bersamaku. Mungkin kita bisa melewati semua rintangan yang ada, bersama."

Beni yang terbawa suasana mengintip wajah si gadis dan menemukan kesedihan yang sangat mendalam di wajahnya. Matanya bahkan mulai meneteskan air mata yang turun dari pipi menuju dagu.

Air mata itu hanya setetes, tetapi memukul batin Beni dengan sangat keras.

-

Di hari setelah kelulusan Beni. Sang kekasih yang keberadaannya tak diketahui siapapun kecuali para sahabatnya, Arisa Santira, datang menemuinya.

Arisa sudah tamat setahun lebih cepat dari Beni. Dia datang untuk melihat kekasihnya yang tersenyum cerah. Bangga dengan ijajah kelulusan yang dia dapat.

"Hehe, aku udah tamat sekarang. Jadi, apa kita bisa meresmikan hubungan kita?"

Beni yang masih muda, bersemangat, dan berperasaan suci sedikit terbawa suasana dengan pertemuan mereka.

Arisa senang akan hal itu. Namun ada satu hal yang membuat dia memperlihatkan ekspresi khawatir. Beni yang bisa membawa perasaan itu ikut terbawa suasana dan bertanya.

"A – ada apa, kak? Bukannya kakak udah janji."

Arisa yang mendengarkan harapan Beni menjadi geram karena dirinya sendiri. Kedua tangannya di kepal dengan sangat kuat. Wajahnya berusaha menahan kesedihan. Tetapi dia tak menyerah.

"Maaf Beni, kakak takut, kita tak bisa bersama."

Satu kalimat itu menciptakan retakan di hati Beni, namun Arisa tak berhenti sampai disitu.

"Keluarga Jawara masih menerapkan kasta sosial sebagai subjek pernikahan. Karena kamu hanyalah pemuda dari kalangan biasa, itu cukup mustahil. Ditambah lagi kamu memiliki darah orang asing. Jadi itu menambah kesulitan kita."

Retakan dalam hati Beni semakin melebar. Seakan dia bisa saja hancur seketika kalau melanjutkan momen yang menyakitkan itu.

"Tapi, tapi – !"

Arisa masih ingin melanjutkan, namun wajah Beni sudah tak ada di hadapannya. Yang menggantikan hal itu adalah punggung dan sosoknya yang mulai berjalan menjauh.

-

Tapi andai saja, kamu bertahan dan bersikeras untuk terus bersamaku. Mungkin kita bisa melewati semua rintangan yang ada, bersama.

Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Beni tanpa henti. Kalimat itu mengingatkannya pada saat-saat terakhir dia tak mengijinkan Arisa untuk menyelesaikan kata-katanya.

Beni pernah berjanji pada dirinya kalau dia takkan pernah membuat seorang wanita menangis. Karena itulah dia takkan sembarangan dalam menjalin hubungan dengan seseorang.

Namun apa yang dia lihat sekarang adalah dia sudah melanggar ideologinya dalam berperasaan. Secara tidak langsung dia telah membuat seorang gadis menangis. Walaupun hanya setetes, hal itu sudah membuat Beni merasa menjadi pria terburuk di dunia.

Beni mengepalkan kedua tangan. Menunduk dan menekan dahi dengan kedua tinju. Perasaan bersalah mengalir sangat deras dalam dirinya.

Di sebelah, Arisa berusaha menahan diri untuk tak menangis lebih lanjut. Meskipun dadanya terasa sangat sesak dan bernafas pun sulit, dia berusaha keras untuk tak menarik perhatian.

Di dalam momen senyap yang tak berujung, seseorang bicara.

"Lima ratus juta."

Itu adalah suara sang mantan kekasih. Arisa menoleh dan melihat Beni menunduk dengan satu tangan diulurkan ke arahnya. Arisa terkejut dan terpaku. Menunggu Beni berkata lebih lanjut.

"Lima ratus juta dan sebuah kesuksesan. Kalau aku mempersembahkan kedua hal itu kepada orang tuamu, apa ada kemungkinan kita bisa bersama?"

Hati Arisa yang sebelumnya penuh dengan kekacauan tiba-tiba menjadi tenang seketika. Angin yang sebelumnya terasa dingin berubah menjadi hangat.

Beni yang masih menunduk memberikan proposal padanya. Proposal untuk merencanakan kebersamaan mereka.

Arisa cukup terkejut dengan proposal itu. Namun itu bukannya mustahil, jadi dia menjawab, "Mungkin."

Sesaat setelah Arisa menjawab, Beni menunjukkan wajahnya. Wajah yang penuh dengan kepercayaan diri. Dia bahkan tersenyum sangat cerah kepada Arisa.

Arisa yang masih tak tahu apa yang sedang terjadi hanya terdiam. Namun Beni tak membiarkan momen itu terdiam begitu saja.

"Kalau begitu raih tanganku."

Arisa melihat ke arah uluran tangan kanan Beni. Tangan itu terlihat besar. Tangan yang sekali pernah menggenggam tangan kecil miliknya. Tangan yang sempat memberikannya kehangatan yang tak terlupakan.

Arisa meraih tangan Beni. Saat raihan tangan menyatu, Beni menariknya menuju mulut. Lalu dengan sangat lembut mencium tangan punggung tangan si gadis.

"Tunggulah dua tahun, enggak, tiga tahun. Dalam waktu sesingkat itu, aku akan kerahkan segala yang kupunya untuk mewujudkan kesempatan agar kita bisa bersama."

Arisa sangat terkejut. Kata-kata Beni seperti listrik tegangan rendah yang menyetrum tubuhnya. Hatinya luluh. Perasaannya bergejolak. Dia berusaha keras, tetapi air mata terus menetes keluar.

Dengan wajah bahagia Arisa terisak-isak. Di hadapannya Beni tersenyum penuh percaya diri. Kedua tangan mereka masih bergenggaman dan tak ingin melepas satu sama lain.

Arisa berusaha mengelap air matanya dengan kain baju tangan kiri. Setelah merasa sedikit segar, dia memperbaiki tatapannya dan menjawab, 'um' , lembut pada Beni.

Beni tersenyum lembut pada jawaban singkat Arisa. Dengan begitu Beni melepaskan genggaman tangan mereka. Bangkit dan berjalan dengan tegak menuju sebuah cahaya.

Dari belakang Arisa melihat kepergian Beni dengan ketulusan. Wajahnya sangat sayu. Merasa bahagia sekaligus sedih saat sang mantan kekasih yang menginginkan kebersamaan mereka kembali menghilang dari pandangan.

-

Setelah bertemu dengan sang mantan kekasih dan membuat janji padanya, Beni berjalan pulang. Di saat itu ponselnya berdering. Dengan cepat dia mengambilnya dari saku dan menemukan kalau sahabatnya memanggil.

Telepon diterima dan suara Bagas terdengar.

"Halo, cuk, dimana lu? Aku ada di rumah nih."

"Lagi jalan pulang."

"Oalah, oke. Cepat kalau gitu."

"Oke..., cuk."

"Ha?"

"Bisa buat target kita jadi satu miliar?"

"Serius?"

"Iya."

"..."

"...."

"...matamu!"