Di hari terakhir ujian semester genap.
Di gedung fakultas Akuntan keluar seorang pemuda - mahasiswa semester dua.
Pemuda itu memiliki tinggi rata-rata 180cm. Dengan tubuh yang ideal dan gaya rambut pendek yang cocok dengan wajah garangnya. Ditambah kacamata ukuran minus tiga, perkenalkan Riansyah Hasibuan.
Sekilas wajahnya terlihat ingin mengajakmu berantem. Mungkin karena dia terlahir sebagai suku batak yang terkenal memiliki wajah garang dari lahir yang membuatnya seperti itu.
Namun kenyataannya dia pemuda yang cukup baik. Akan membantu kalau ada seseorang yang meminta. Atau menolong walaupun tak ditunjuk.
Saat dia sedang berjalan keluar, ada dua orang kakak kelas – perempuan – yang berlari padanya.
"Rian!" panggil salah satu dari mereka.
Rian menoleh ke belakang dan melihat ada dua orang kakak kelas cantik yang membawa sebuah papan kertas.
Sembari mendekat mereka bertanya sambil menunjukkan papan kertas yang ada di tangan.
"Bisa tolong kamu lihat perhitungan rencana untuk kegiatan musim panas nanti?"
"Baik."
Rian yang dimintai tolong langsung mengecek papan kertas yang ditunjukkan padanya. Matanya melihat dengan seksama di setiap rincian yang ada di kertas.
Di saat Rian sedang fokus, salah satu kakak kelasnya malah mengeluarkan ponsel pintarnya. Lalu menjauhkan sedikit ponselnya dengan maksud untuk mengambil poto mereka bertiga.
Dua orang kakak kelas melakukan pose berpoto di saat Rian sedang fokus ke papan kertas. Sesaat setelahnya Rian melihat ke dua kakak kelasnya dengan wajah bertanya.
"Bagaimana?" tanya kakak kelas.
Rian penasaran apa yang baru saja mereka lakukan. Tetapi dia menyapu pikirannya itu dan kembali ke topik.
"Kupikir ada bagian yang harus dipotong. Dan bisa kubilang kita terlalu boros dalam mengeluarkan dana."
"Kamu juga berpikiran begitu ya?"
"Tapi kami berdua aja agak kesusahan dalam mengerjakan perinciannya. Oh, aku punya ide, kenapa kamu gak ikut membantu kami aja?"
Salah satu kakak kelasnya secara tiba-tiba mengajaknya untuk bergabung membantu mereka.
Rian sudah tahu kalau mereka berdua adalah komite yang mengerjakan bagian perhitungan uang, dalam kata lain mereka berdua adalah bendahara.
Dalam hati Rian ingin membantu. Meskipun dua kakak kelasnya memiliki maksud lain dalam hati. Rian yang bodoh dalam membaca hati orang lain tak memerdulikan itu. Tetapi tetap saja.
"Maaf, kak. Aku udah ada janji lebih dulu dengan temanku."
Dua kakak kelasnya langsung kecewa dengan penolakan Rian.
Padahal selama setahun Rian menjadi mahasiswa baru, dia selalu membantu dan akan mengambil bagian dalam setiap pekerjaan. Namun kali itu pertama kalinya dia menolak. Tentu saja hal itu membuat mereka yang meminta tolong sedikit bingung dan penasaran.
Dua kakak kelasnya tak tahu apa alasan Rian menolak. Apakah sepenting itu urusan temannya dibanding mereka?
"Kalau gitu, aku pamit dulu."
Rian pamit karena dua kakak kelasnya hanya terdiam.
Rian baru saja mau berpaling dari dua kakak kelasnya. Namun tiba-tiba dua kakak kelasnya mendekap dua tangannya di masing-masing tangan mereka.
"Ayolah, Rian, bantu kami."
"Kalau kamu membantu, kami pasti bakal kasih kamu hadiah spesial."
Entah kenapa dua kakak kelasnya bersikeras untuk merekrutnya. Mereka bahkan sampai melengketkan tubuh mereka sampai Rian bisa merasakan bagian empuk yang mereka miliki.
Dua kakak kelasnya mencoba untuk menggodanya. Untuk beberapa detik Rian hanya diam menanggapi sikap aneh mereka. Dia juga tidak tahu kenapa mereka sampai harus melakukan itu untuk membujuknya.
Walaupun begitu, Rian yang bodoh tak bisa tergoyahkan. Dia menyingkirkan dua kakak kelasnya dengan sedikit paksaan. Menggoyangkan dua tangannya yang kuat dan mendorong dua kakak kelasnya menjauh.
Dua kakak kelasnya terkejut karena Rian tak tergoda. Mereka yang juga merasakan kalau Rian itu benar-benar kuat mundur satu langkah.
Rian yang sudah terbebas berdiri tegak dan memberikan pernyataan.
"Maaf, kakak-kakak. Aku udah punya janji lebih dulu untuk melakukan sesuatu. Tapi kalau kakak-kakak memang sedang kesulitan. Kalian bisa aja menghubungiku lewat email dan kirimkan aja softcopy untukku kerjakan atau periksa. Dengan begitu aku bisa membantu kalian dan mengerjakan apa yang udah kujanjikan. Gimana?"
Rian dengan tenang menawarkan pemecahan masalah yang lebih baik dalam kondisi saat itu.
Dua kakak kelasnya yang masih terkejut tak bisa lagi memaksa. Mereka juga tak bisa menawarkan hal lain karena penawaran Rian sudah yang lebih baik untuk kondisi mereka.
"O – oke."
"Kalau gitu, tolong ya."
Dua kakak kelas menjawab dengan positif.
Rian hanya menangguk sebagai balasan. Lalu dengan ekspresi yang tak tergoyahkan berjalan melewati dua kakak kelasnya.
Dua kakak kelasnya hanya bisa melihat Rian dalam diam pergi jauh dari mereka. Di saat sosok besar itu sudah pergi mereka mengeluarkan pendapat atas apa yang baru saja mereka alami.
"Dia memang kuat iman atau..."
"Gak normal sih?"
Pertanyaan si dua penggoda tak pernah terjawab dan masih menjadi sebuah misteri sampai beberapa tahun ke depan.
-
Rian sudah keluar dari lingkungan gedung fakultas dan berjalan keluar universitas.
Namun di saat dia sedang fokus berjalan lagi-lagi seseorang mencoba menghentikannya.
Tangan seorang misterius merangkulnya, dan suara berbicara sangat dekat di telinga.
"Kulihat kau sudah mempersembahkan jiwa dan ragamu padaku. Bagus-bagus."
Suara itu terdengar seperti seorang iblis yang puas. Tetapi Rian yang tak tergoyahkan mencoba melakukan sesuatu pada si iblis.
Dua tangan Rian di angkat ke belakang. Memegang kerah baju si iblis. Lalu dengan kekuatan yang cukup Rian mengangkat si iblis. Menjungkir balikkannya dengan punggung di bungkukkan dan kedua tangan menarik si iblis ke depan.
"Eh – eeh- eeehhh -!"
Si iblis dihempaskan ke depan. Dengan suara 'buk', tubuh si iblis dan permukaan bertabrakan.
Si iblis yang ternyata lemah langsung tepar setelah di hempaskan sekali.
Saat itu sedang siang hari dan Rian dan seorang misterius berada tepat di bawah sinar matahari. Dari situ, Rian bisa melihat seorang misterius yang tergeletak di permukaan memiliki wajah yang familiar.
Wajah seorang sahabat lama namun dengan warna rambut yang berbeda. Itu adalah Iblis Bara Merah.
Iblis Bara Merah. Julukan bagi Bagas sebagai seorang jenius sekaligus petarung yang sangat beringas dalam sebuah pertandingan apapun.
Namun sama seperti julukannya, Iblis Bara Merah, Bagas seperti seorang iblis yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi tetapi memiliki stamina yang sangat terbatas. Seperti bara yang di menit-menit awal terbakar panas namun dalam waktu dekat panasnya akan meredup.
Rian melihat ke Iblis Bara Merah yang meringik kesakitan di permukaan itu dengan wajah datar.
Bagas yang baru saja terhempas ke permukaan tak bisa melakukan banyak hal. Namun dia berusaha membuka mata untuk melihat sahabatnya hanya memandanginya dari atas.
"Padahal tadi cuma bercanda. Tapi apa kau sampe marah segitunya?" tanya Bagas.
"Enggak juga sih. Cuma ya, kalau tiba-tiba aja seseorang meneleponku dan menyuruhku untuk membuat rincian rencana untuk menuju 500 juta. Siapa yang gak kesel."
"Kan."
Sama seperti kasus Beni, Rian juga kesal dengan Bagas. Tiba-tiba saja menghubungi mereka lalu menyuruh mereka untuk menjadi bagian dari rencananya menuju lima ratus juta.
Bagas masih kesakitan di sekujur tubuh. Dia berusaha keras untuk bangkit, di saat itu juga seorang sahabat mengulurkan tangannya untuk membantu.
Bagas tersenyum kecut sebelum menerima bantuan. Berpikir kalau perlakuan yang dia terima barusan tak begitu buruk amat.
Rian menarik Bagas yang meraih uluran tangannya. Saat itu juga mereka berdiri tegak. Menatap satu sama lain dengan penuh percaya diri.
-
Rian dan Bagas berada dalam perjalanan pulang. Namun sebelum ke rumah mereka mampir terlebih dahulu ke minimarket langganan. Di situ mereka mencari berbagai cemilan untuk dibawa pulang.
Bagas sedang berada di depan beberapa kulkas minuman. Saat membuka kulkas dia teringat sesuatu dan bertanya pada Rian yang ada di belakangnya.
"Oh iya, lek, kau tadi emang gak sagne lihat dua kakak kelasmu? Apalagi mereka sampai dengketin es degan mereka ke tanganmu."
Bagas memeragakan seolah dia sedang meraba sesuatu sambil bertanya. Wajahnya juga berubah menjadi mesum di depan kulkas yang terbuka.
Meskipun di belakang Rian, sahabatnya sedang mempertanyakan kewarasannya sebagai lelaki. Rian masih tak tergoyahkan. Dengan ekspresi datar dia menjawab.
"Kenapa harus?"
"Njir, kau normal ga sih?!"
Bagas yang sudah mengambil beberapa botol minuman berbalik lalu menaruh minumannya di keranjang belanja yang sudah terisi banyak cemilan. Di saat itu juga dia menghadap ke Rian yang menaruh beberapa biskuit kemasan ke dalam keranjang belanja.
Dalam momen senyap dua orang pemuda yang memiliki perbedaan pandangan hidup menatap satu sama lain. Salah satunya mempertanyakan kewarasan satunya lagi. Di sisi lain yang dipertanyakan kewarasannya memberikan pernyataan dan pertanyaan lain kepada salah satunya.
"Pandangan mengenai pria yang bisa digoda dengan perlakuan mesum kaum perempuan, kau pikir itu absolut?"
"Apa?"
(Catatan Author : Kalian bisa skip bagian ini kalau merasa pembicaraan mereka gak guna atau gak ada manfaat. Tapi kalau kalian enjoy, silahkan dilanjutkan. Saya harap kalian bisa ketawa tanpa tersinggung, atau mempermasalahkan sesuatu. Karena ini hanya untuk hiburan.)
Sebuah adegan antara dua orang pemuda yang memulai berargumen dengan sangat epik sepertinya akan segera terjadi.
"Coba pikirkan lagi. Setiap manusia dilahirkan berbeda. Setiap manusia memiliki keunikan sendiri. Begitu pula setiap laki-laki yang terlahir ke dunia ini," ucap Rian.
"Maksudmu, di luar sana ada kelompok laki-laki yang takkan tergoda oleh tete wanita seperti dirimu, begitu?"
"Kenapa kau berpikir gak ada?"
"Itu mustahil."
Suasana menjadi lebih panas antara dua pemuda yang memperdebatkan esensi dari bagian tubuh seorang wanita. Di saat itu pula, seorang pegawai perempuan minimarket menguping pembicaraan mereka.
"Kenapa pembicaraan mereka ngawur gitu sih?"
Pegawai itu jongkok di salah satu rak dekat dengan dua pemuda. Mendengarkan dengan seksama argumentasi mana yang akan menang. Si pemuda berkacamata dengan kepercayaannya, atau si pemuda berambut merah dengan ideologinya.
Meskipun si pegawai merasa mereka salah memperdebatkan hal itu di tempat umum, dia tetap penasaran siapa yang akan menang.
"Kenapa kau berpikiran seperti itu?"
"Maksudku, tete adalah simbol kedewasaan. Tanpa tete, seorang perempuan tak bisa dikategorikan sebagai wanita dewasa. Dan itu adalah tugas para pria sejati untuk mengapresiasi mereka."
"Kalau gitu, apa kau tidak menganggap seorang mbak-mbak yang udah berumuran 30 tapi tak memiliki 'itu' yang besar?"
Si pemuda berkacamata tiba-tiba saja menyinggung sosok wanita yang mungkin saja ada di dunia ini.
Di saat itu pula, pegawai perempuan yang menguping mengingat, kalau dia sudah berumur tiga puluh, ditambah dia tak memiliki 'bagian yang sedang diperdebatkan' yang besar. Di saat itu juga kemarahan meluap di hatinya.
Di pikirannya dia mendukung si pemuda berkacamata untuk terus maju dan mengalahkan si pemuda berambut merah.
"Ternyata kau masih senaif itu, sahabatku," ucap si pemuda berambut merah.
"Apa?"
"Di zaman yang serba guna sekarang ini, banyak hal yang tak mungkin bisa menjadi mungkin. Contohnya saja dalam kehidupan, kita lahir sebagai individu yang kecil, namun seiring waktu kita tumbuh dewasa. Begitu pula dengan wanita yang 'itu'nya enggak gede."
"Apa yang sedang ingin kau bicarakan?"
Apa yang sedang ingin kau bicarakan, pikir pegawai perempuan.
Si pemuda berkacamata menunggu lanjutan dari pemuda berambut merah dengan tenang. Di sisi lain mbak-mbak pegawai menunggu dengan rasa kesal.
Si pemuda berambut merah dengan percaya diri melempar pertanyaan ke sahabatnya.
"Apa yang akan terjadi pada 'itu' seorang ibu yang baru saja melahirkan?"
"Itu seorang ibu yang baru saja melahirkan?"
"Ya, kau pikir seorang perempuan akan menjadi wanita muda selamanya. Tentu saja tidak, bukan."
Si pemuda berambut merah membuat lawan bicaranya berpikir, terjadi begitu pula dengan mbak-mbak pegawai.
"Seorang wanita yang apik walaupun 'itu'nya gak besar, suatu hari pasti akan menjadi seorang ibu. Dan saat menjadi seorang ibu, dia akan menjalankan sebuah tugas yang sangat penting dalam hidupnya, yaitu?"
"Memberikan asi kepada anaknya."
"Benar sekali. Itu adalah salah satu contoh sederhana dengan proses alami yang sangat indah. Tapi jangan lupa, kalau di dunia yang modern sekarang ini, banyak metode sudah dicoba dan diterapkan untuk memperbesar 'itu' mereka. Karena itu, aku takkan membedakan perempuan yang 'itu'nya besar atau kecil dalam kategori. Karena kalau mereka perempuan, mereka sudah pasti memiliki kesempatan untuk berubah."
Si pemuda berambut merah memberikan senyum percaya diri dalam pernyataannya.
Si pemuda berkacamata akhirnya tahu maksud dari lawan bicaranya. Ditambah lawan bicaranya bukanlah seorang fanatik ideologi yang akan memaksakan ideologinya terhadap yang lain.
Dalam momen itu, sebuah pikiran yang memiliki sudut pandang berbeda telah menyatukan tangan mereka untuk bersatu. Mereka juga memberikan satu sama lain senyum ramah sebagai seorang rival perbedaan sudut pandang.
Di dalam momen aneh namun membanggakan itu, beberapa orang selain mbak-mbak pegawai merasa mereka telah tercerahkan oleh dua orang pemuda random.
Terutama untuk mbak-mbak pegawai yang mendengarkan dari awal, dia merasa kepercayaan dirinya telah tumbuh besar di dalam hati. Dengan begitu dia berterima kasih secara tidak langsung kepada dua pemuda random yang baru saja berargumen tersebut.
"Eh, cok, kita udah kelamaan disini. Skuy pulang."
"Bukannya kau yang bikin kita lama disini."
"Eh, kampang, itu karena aku mempertanyakan kenormalanmu, dan ujung-ujungnya malah ngebicarain hal ngawur kaya tadi."