"....matamu!"
Di depan mata Rian, dia melihat dua sahabatnya seperti bertengkar karena sesuatu.
Saat itu mereka sudah sampai di depan rumah kos Bagas. Lalu Bagas menggunakan ponselnya untuk memanggil Beni. Namun entah bagaimana Beni meminta sesuatu yang membuat Bagas marah.
"Eh, cok, kau pikir butuh berapa lama aku ngerencanain yang cuma 500 juta. Lah sekarang kau malah minta naikin target kita, jangan bercanda!"
Bagas berteriak pada Beni. Teriakannya cukup keras sampai menarik perhatian para tetangga. Dari tempatnya berdiri, Rian bisa merasakan tetangga kanan Bagas menguping pembicaraan mereka.
Di samping Rian, Bagas terlihat masih mendapatkan balasan dari Beni yang membuatnya semakin kesal. Sebelum Bagas melanjutkan kemarahannya, Rian menepuk bahunya dan berkata.
"Coi, kau terlalu berisik. Ini lagi siang, orang-orang pada tidur. Lebih baik suruh dia pulang aja dulu."
Bujukan Rian berhasil menenangkan Bagas. Bagas yang sebelumnya membungkuk, melakukan pose bertarung, saat itu segera menegakkan tubuhnya lalu berbicara ke ponsel.
"Ya udah, pokoknya kau pulang aja dulu, cepetan."
[K.]
Telepon dimatikan dengan balasan singkat dari Beni.
Setelah komunikasi terhenti Bagas langsung menghela nafas panjang. Merasa lega karena Rian sudah menghentikannya dari kemarahan.
"Makasih, lek, aku sempet gak bisa kendaliin emosiku tadi," ucap Bagas.
"Memangnya dia serius mau naikin target kita jadi 1M?"
Bagas menggaruk-garuk kepalanya saat Rian mengingatkan pembicaraannya dengan Beni barusan.
"Iya, gitulah. Aku gak marah sih kalau dia punya alasan yang bagus. Tapi kalau dia cuma mau ikut-ikutan."
Sebuah aura membunuh mulai keluar dari tubuh Bagas. Di dalam kepala dia merasa harus melakukan sesuatu yang sangat kejam pada sahabatnya itu. Tetapi kalau dia benar-benar hanya mau ikutan, beda cerita kalau dia punya alasan kuat untuk meminta permintaan yang sangat berat itu.
"Huhhh, jancoklah."
Bagas menyentuh kepalanya sembari memikirkan kemungkinan apa yang membuat Beni memutuskan untuk menambah target mereka. Dia yang awalnya menyandar di pagar peron, saat itu membalikkan tubuhnya dan bersandar lagi di peron dengan kedua tangan.
Dari samping Rian hanya melihat sahabatnya satu itu berpikir. Karena saat itu juga, Bagas sedang mengerutkan dahi. Tangan kanannya juga menyentuh tengah dahinya. Dalam pose seperti itu, Bagas sedang masuk ke mode berpikir serius, dan kemungkinan masalah yang tak bisa dia selesaikan berada di angka 5persen.
Bagas berada dalam mode berpikir seriusnya dalam semenit. Semenit setelahnya dia menyadari sesuatu. Setelahnya dia segera menggunakan ponselnya sekali lagi untuk menelepon seseorang.
Ponsel Bagas berdering. Sekitar lima detik setelahnya telepon di angkat dan Bagas mulai bicara.
"Halo, Kak Arisa." "Kabarku baik, kakak sendiri?" "Oh, baguslah. Oh iya, aku mau tanya, sekarang kakak ada dimana?" "Taman Nyai Anggrek? Ngapain?" "Cuma nyari angin segar, ooh." "Aku lagi ada di rumah ini." "Beni?" "Oh, iya, untuk sekarang dia tinggal di rumahku." "Oke." "Iya-iya, memangnya sebelum ketemu kakak dia udah sahabatan sama siapa?" "Haha, ya gitulah." "Um.' "Oke. Bye."
Kedengarannya telepon di tutup. Sesaat setelahnya Bagas bersujud pasrah. Ekspresinya sangat menderita karena suatu hal.
"Harusnya aku bilang sama si kucuk itu untuk diam di rumah," ucap Bagas.
Setelah mendengarkan seluruh perbincangan dan hasil dari perbincangan itu sendiri dari Bagas, Rian bisa menarik kesimpulan. Kalau keputusan Beni untuk menaikkan target mereka ada hubungannya dengan pertemuan Beni dengan Arisa, mantan kekasihnya.
Bagas hanya bisa pasrah. Saking kesalnya dia tidur di lantai peron dengan tanpa peduli siapa yang akan menginjaknya.
Di saat itu Rian terpikirkan sesuatu dan bertanya pada sahabatnya.
"Memangnya rencana yang kau buat itu udah sempurna?"
"Belum sih. Cuma aku udah memperhitungkan semua aspek kemampuan yang bisa kita lakukan untuk menjalankan rencananya. Dan persen kemungkinan kita berhasil itu cukup besar."
"Seberapa besar?"
"Sekitar 95persen."
"Bukannya itu udah bagus. Kalaupun target kita ditingkatkan sebanyak 100persen, bukannya persen kemungkinan berhasil gak akan terlalu turun jauh."
Rian berusaha untuk berpikiran positif dan mengajak sahabatnya untuk berpikir begitu.
Bagas yang sudah merasa jernih pikirannya bangkit dan duduk di tempat. Lalu melihat Rian dengan wajah menantang.
"Apa kau pikir untuk memulai usaha yang kita butuhkan cuma niat dan kemampuan?"
Rian tersadar akan sesuatu dalam pertanyaan Bagas. Hal itu juga membuatnya masuk ke dalam mode berpikir. Dua orang terpintar dalam grup pun memulai diskusi mereka mengenai relevansi rencana ke depannya.
"Memangnya kau udah dapat dana untuk mengeksekusi rencana kita?" tanya Rian.
Bagas sudah menduga Rian akan menanyakan hal itu. Namun karena dia tak perlu berpikir keras lagi, dia jadi tiduran di lantai lagi.
"Ya, begitulah. Dan dana nya udah sesuai dengan rencana dan target."
Rian tak membalas langsung setelah mendengarkan jawaban dari si perancang rencana yang sudah dia akui kemampuannya. Tetapi masih ada beberapa hal yang perlu dia tanyakan.
"Apa rencana itu cuma kita bertiga yang bakal mengeksekusi?"
Bagas melirik sejenak sahabatnya. Lalu dengan nada malas dia melihat ke atap dan menjawab.
"Untuk setengah tahun ke depan, iya."
"Setengah tahun ke depan? Memangnya apa yang mau kita lakuin setelah itu?"
"Romusha."
Rian melotot sejenak mendengar satu kata itu.
Romusha adalah sebutan yang digunakan kepada pekerja yang dipaksa bekerja tanpa upah pada zaman penjajahan dahulu. Sekarang Bagas menggunakan kata itu untuk mereka bertiga.
Rian terkejut karena dia bisa mengerti apa yang Bagas maksud. Dana mereka terbatas dan hanya bisa bertahan selama enam bulan. Target mereka adalah 500 juta, ditambah 500 juta lagi karena Beni menambah target mereka.
Di saat Rian mulai ingin berpikir keras, Bagas menyela prosesnya.
"Tapi kau jangan khawatir. Kita baru aja selesai di semester genap. Kita punya waktu sekitar tiga bulan lebih untuk bekerja. Di situ kita bakal bekerja keras, dua kali, enggak, lima kali lebih keras untuk menghasilkan profit," kata Bagas
Bagas menyatakan sesuatu yang sudah jelas tujuannya. Walaupun dia mengatakan hal itu dengan nada dan pose yang sangat santai, itu adalah langkah terbaik yang mereka miliki sekarang.
"Sekarang dimana si jancok ini!?"
Bagas berteriak lagi sambil mengangkat kedua tangan. Kesal karena Beni masih belum kelihatan batang hidungnya.
-
Beni baru saja mulai berjalan pulang. Dia membutuhkan waktu satu jam lebih di luar. Pertemuannya dengan Arisa hanya membutuhkan waktu yang sebentar. Namun setengah dari waktunya diluar dihabiskan untuk berjalan pergi dan pulang.
Setelah bertemu dengan Arisa, Bagas langsung meneleponnya. Lalu setelah ditelepon Bagas, dia ingat kalau dia belum sarapan. Jadi dia mencuri waktu sebentar untuk mengisi perut.
Di saat perut sudah terisi, barulah Beni berjalan pulang. Dengan pikiran yang tenang dan perasaan yang bergejolak.
Bangunan rumah kos sudah mulai kelihatan dan Beni bisa lihat satu sahabatnya berdiri di peron, dan satunya lagi entah kenapa tergeletak di lantai.
Beni yang tidak sabar untuk bertemu mempercepat langkahnya. Lalu saat sosoknya sudah mulai terlihat, sahabat kacamata menyadari kedatangannya dan memberikan senyuman.
Beni juga tersenyum karena sudah satu tahun dia tak bertemu dengan sahabat kacamata itu.
"Oi, Rian, lama gak jumpa."
"Oi, Ceng, kau makin kurus aja."
Rian dan Beni memiliki hubungan yang lebih baik dan sedikit kaku bisa dibilang. Tak seperti mereka berdua ke Bagas yang terlalu dekat sampai-sampai salah satu bisa membanting atau misuh ke satunya lagi.
Beni datang ke Rian dengan mengulurkan tangan, berniat ingin berjabat tangan dengan Rian. Namun sebelum mereka bisa melakukannya, Bagas datang lebih dulu pada Beni dengan memberikannya sebuah tinju ke perut.
Tinju itu memang tak memberikan rasa sakit, tetapi untuk Beni yang baru saja selesai sarapan, ada efek samping lain yang sangat menyakitkan yang sedang terjadi di perutnya.
Dengan merintih, 'uugghhh', Beni mulai bersujud dengan memegangi perutnya.
"Jancok! Seenaknya aja mutusin keputusan sendirian."
Bagas mencerca Beni yang bersujud tepat di hadapannya. Dari belakang, Rian tak bisa melakukan apapun untuk membantu Beni karena dia tahu sendiri, seperti apa rasanya kalau kau sudah merancang rencana yang matang, tetapi salah satu anggotamu malah membuat keadaan semakin buruk.
"Ugh, tapi, cuk, tenang aja, aku bakal kerja sepuluh kali lipat lebih keras. Jadi..."
Beni yang berusaha membela diri tak bisa menyelesaikan kata-katanya. Karena saat itu sebuah fenomena yang sangat menyakitkan terjadi dalam perutnya.
Beni mengeluarkan kunci dari saku celananya. Memberikan kunci itu pada Bagas dan meminta permohonan.
"Untuk sekarang, tolong bukain pintunya lebih dulu."
Beni memberikan kunci dengan tangan bergetar. Bagas menyambet kunci dan langsung membuka pintu. Rian yang merasa kasihan membantu Beni untuk berdiri.
"Kau gak apa-apa, Ceng?"
"Enggak, aku cuma butuh b.a.b sebentar."
Rian membantu Beni untuk berdiri. Saat Beni sudah berdiri dengan pesat dia berlari ke kamar mandi. Rian masuk ke dalam setelahnya.
Di dalam rumah yang hanya cukup untuk satu orang, tiga orang pemuda akan mendiskusikan rencana masa depan mereka.
Saat itu waktu menunjuk pada angka sebelas. Satu jam sebelum tengah hari.
Bagas yang masuk lebih dahulu membereskan barang belanjaan. Rian yang masih memegang plastik belanjaan menyerahkan belanjaan mereka pada Bagas lalu bertanya.
"Terus, apa yang mau kita lakuin sekarang?"
"Istirahat aja dah dulu, ngemil, atau apa kek. Pusing aku dibikin ujian ini, ditambah si kucuk malah nambah masalah."
Bagas masih terdengar kesal. Rian hanya mengikuti instruksinya dan pergi bersantai. Mengambil satu buku komik milik Bagas untuk dia baca dan satu jajanan keripik kentang yang baru saja mereka beli.
Bagas yang selesai membereskan barang belanjaan keluar dari dapur dengan membawa satu biskuit kemasan.
Dia teringat kalau ada Beni di toilet. Menggedor pintu kamar mandi sekali, Bagas memanggil orang yang ada di dalam.
"Cok, sampai kapan kau mau di dalam sana?"
"Diam, bangsat! Kalau kau gak mukul perutku, mungkin gak bakal selama ini."
Beni terdengar marah karena Bagas memukul perutnya.
Bagas merasa bersalah namun tak berniat untuk minta maaf. Jadi dia meninggalkan Beni dengan urusannya dan pergi duduk di kursi belajar.
Rian hanya melihat kejadian canggung itu dalam senyap. Ketika dia melihat Bagas sedang membuka dokumen-dokumen di laptop, ketertarikan membuat Rian mendekat ke Bagas.
"Data-data apa aja yang udah kau siapin?"
Rian bertanya sambil melihat ke semua data dokumen yang Bagas buka.
Bagas menggeser kursi untuk membiarkan Rian melihat lebih jelas. Wajahnya penuh percaya diri saat sahabatnya yang sangat pintar dalam merancang dan membuat rencana sedang mengobservasi rencana yang dia buat.
"Hehe, ini semua adalah rencana untuk enam bulan ke depan. Sudah diperhitungkan dengan sangat baik dan siap untuk dieksekusi."
Bagas seperti anak sd yang memamerkan layangan buatannya sendiri pada sahabatnya.
Di sisi lain Rian masih mengobservasi. Satu tangannya juga bergerak untuk menggeser kursor dan mengganti fokus dokumen yang dia baca. Wajahnya sangat serius sampai Bagas dibuat gugup.
.
Setelah sepuluh menit berada di kamar mandi Beni akhirnya keluar. Kondisi wajahnya cukup kacau. Dia bahkan masih memegang perutnya dengan satu tangan. Untuk selendang, dia mengikatnya di bahu kanan untuk menghindari terkena kotoran.
Saat Beni keluar dari kamar mandi dia merasakan ada dua hawa mengerikan yang sedang bersatu.
Tak jauh dari tempat Beni berdiri, di depan meja belajar terdapat dua sosok mengerikan yang sedang bergumam satu sama lain. Di sekitar mereka tercipta kabut hitam yang membuat merinding siapapun yang melihat.
Mata mereka bersinar merah. Mulut yang penuh dengan rasa rakus bergumam dan gumaman mereka terdengar seperti mantra untuk memanggil sosok yang lebih mengerikan.
Beni punya firasat yang sangat buruk kalau mereka menyadari kehadirannya.
Dengan sangat hati-hati Beni melangkah mundur. Langkah demi langkah. Dia berusaha untuk keluar. Namun sial, sosok mengerikan yang mengenakan kacamata menyadari keberadaannya dan langsung melirik.
Beni merinding seketika. Dia ingin kabur. Tetapi sebelum dia bisa melakukannya, sosok berkacamata tiba-tiba menghilang.
"Mau kemana?"
Lalu tiba-tiba saja berpindah tempat ke belakang Beni.
"Hyaaaa!"
Beni berteriak sejadinya, namun sayang, sosok itu sudah menangkapnya.
Rian merangkul Beni lewat tangan. Tanpa menghilangkah hawa mengerikannya dia berbicara pada Bagas.
"Memang rencanamu punya kemungkinan 80% berhasil untuk dilaksanakan."
"Ya, kalau target kita gak berubah. Tapi sayangnya bespren kita malah melakukan perjanjian sepihak."
Bagas dan Rian mengeluarkan tekanan yang sama, untuk Beni dan diri mereka sendiri.
Di satu sisi Beni merasa sangat tertekan. Dengan masih berada di rangkulan Rian dia mencoba untuk menenangkan mereka.
"Y – ya, memangnya apa masalahnya nambah target kita jadi dua kali lipat? Maksudku, rencananya bergantung padaku, kan? Jadi tinggal buat aja aku kerja dua kali lebih lipat."
"Kau gak salah disitu sih, cuk. Cuma..."
Setelah merespon Beni, Bagas berdiri dan berjalan ke tengah kamar. Rian juga berjalan ke tengah dengan menyeret Beni yang masih panik.
Saat sudah berada di tengah Rian melepaskan Beni dan menepuk kepalanya sekali.
"Goblok, kau pikir untuk membuka usaha cuma dibutuhkan satu orang aja?"
"?"
Beni teringat, kalau Bagas mengumpulkan mereka untuk bekerja sama menciptakan bidang usaha yang sudah direncanakan. Dia lupa akan hal itu karena terlena dengan kemampuannya sendiri yang sudah bisa menciptakan uang.
Tetapi yang dia butuhkan untuk mencapai tujuannya bukan hanya uang. Yang paling dia butuhkan adalah bukti nyata. Dan untuk mendapatkan hal itu dia tak bisa bekerja sendirian.
Setelah menyadari hal itu Beni melihat ke arah dua sahabatnya. Mereka berdua tersenyum puas pada Beni.
Beni yang akhirnya mengerti tujuan sebenarnya Bagas mengumpulkan mereka bertiga tersenyum puas dan juga menantang.
"Tapi tujuan kita pasti bakal lebih mudah kalau gak ada seseorang yang seenaknya nambah target yang mau dicapai," ujar Bagas
"Geh!"
Meskipun mereka sudah berada di atas kapal yang sama, Bagas masih kesal dengan keputusan sepihak Beni.
Bagas mulai menunjuk-nunjuk Beni dengan jari sambil mengucapkan rasa kesalnya.
"Kau pikir gak berat untukku ngerencanain semua hal itu, hah?! Ditambah aku harus terpaksa ngelakuin itu semua di saat aku masih ujian?! Kau pikir berapa jam yang kukorbankan untuk merancang semua itu, hah?!"
"Ah, iya-iya, maaf! Aku bakal kerja dua kali lebih keras! Jadi berhenti nunjuk-nunjuk begitu!
Beni yang tak punya tempat untuk kabur hanya bisa melindungi dirinya sendiri dengan kedua tangan.
Seseorang yang tak ikut bertengkar hanya melihat dengan tenang. Merasa nostalgia karena mereka bisa berada di waktu-waktu seperti itu lagi.
-
Esok harinya. Di waktu pagi sebelum jam tujuh pagi.
"Kau yakin mau pergi sendirian?"
Bagas yang masih mengantuk karena kurang tidur melihat Rian yang sedang memakai sepatu.
Rencana hari itu harusnya Rian dan Bagas pergi ke kampung dimana ibu Bagas berada. Dimana mereka harus membicarakan sesuatu yang sangat penting mengenai dana yang akan mereka pakai yang sejatinya menggunakan uang pribadi keluarga Bagas, sebagai dana pinjaman.
"Lebih bagus kalau aku pergi sendirian. Kalaupun kau mau pulang lebih baik kita bereskan satu hal yang lebih penting sebelum ninggalin Beni sendirian."
Rian yang sudah siap pergi segera membuka pintu. Pintu terbuka dan angin dingin di pagi hari memasuki ruangan. Bagas yang masih dalam kondisi lemah menggigil karenanya.
Rian membiarkan kondisi itu untuk sementara karena ada sesuatu hal yang ingin dia bicarakan pada Bagas sebelum pergi.
"Lagipula ibumu ga kaya agensi bank yang menyeramkan."
"Iya, sih. Tapi pastiin kau hubungi aku kalau ada sesuatu hal yang tak terduga terjadi dalam kesepakatannya."
"Iya-iya. Lebih baik kalian selesain konsep cerita itu dalam waktu yang singkat ini."
"Kau gak perlu memerintah kami pasti akan buat itu terdengar sangat menakjubkan."